MUTIARA WEDA: Yadnya dan Kesombongan
Sreyān dravya-mayād yajñāj jñāna-yajñah parantapa, Sarvam karmākhilam pārtha jñane parisamāpyate. (Bhagavad-gita IV.33)
Wahai Parantapa, melakukan jnana yadnya lebih baik daripada yadnya dengan harta benda. Wahai Arjuna, ketahuilah bahwa seluruh perbuatan memuncak pada jnana.
MENGAPA Krishna mengatakan hal seperti ini? Tidakkah Dia sadar kalau hal ini akan memunculkan pergolakan? Pikiran manusia yang sering disabotase oleh instingnya selalu diarahkan untuk menjadi yang terbaik, yang terhebat, yang tertinggi. Jika kebetulan ada orang yang telah merasa melakukan jnana yadnya dan kemudian dijustifikasi oleh teks ini, tidakkah dia akan menjadi sombong? Mengapa sombong? Karena telah melakukan yadnya terbaik dari semua jenis yadnya yang ada. Tidakkah lalu dia akan mengejek jenis yadnya yang lain? Tidakkah dia akan memprovokasi orang-orang untuk mengikuti hanya jenis yadnya ini saja, sebab ini adalah puncaknya. Jika telah berada di puncak, untuk apa lagi melakukan hal yang ada di bawahnya? Tidakkah saat ini telah terjadi model propaganda sejenis ini, dengan analogi seperti ini: ‘cukup dengan menyiram akarnya saja, seluruh bagian pohon akan mendapatkan airnya’.
Krishna dipastikan memahami betul psikologi orang-orang. Hal ini selamanya terjadi sepanjang kesadaran orang belum mengalami perkembangan yang signifikan. Pertentangan akan terjadi dan kesombongan bisa saja tersulut dengan pernyataan ini. Namun, oleh karena nature bahasa selalu berada dalam dualitas, sehebat-hebatnya orang menyampaikan akan tetap bisa dimanipulasi. Itu memang salah satu bentuk kecenderungan dan sebagian besar orang berada pada kecenderungan ini. Tetapi, jika membaca utuh Bhagavad-gita dengan sedikit saja berbekal kecerdasan, maka tendensi orang tidak akan seperti itu, melainkan mengarah ke arah lain. Jnana dikatakan berada pada puncak karena ini berhubungan langsung dengan kesadaran. Korban atau yadnya yang dilakukan dengan jalan menyulut kesadaran orang lain sehingga memiliki jnana yang sama adalah puncak dari segala jenis yadnya. Fungsi lilin yang telah tersulut adalah melakukan tindakan untuk menyulut lilin yang lain agar memiliki api yang sama. Ini adalah yadnya tertinggi, dan ini disebut dengan jnana yadnya.
Masalahnya bagaimana melakukan jnana yadnya ini? Orang mengartikan bahwa yang dimaksudkan dengan jnana yadnya adalah dengan memberikan ceramah, memberikan pengetahuan teks kepada orang lain dan yang sejenisnya. Jika kita telah banyak membaca teks suci dan hafal, lalu kita menceramahkannya kepada orang lain, kemudian ini disebut sebagai jnana yadnya, mungkin perlu diperdebatkan. Secara praktis mungkin bentuknya sama seperti ceramah dan yang sejenisnya, tetapi jika teks di atas sebagai acuan, maka dipastikan tidak semua orang mampu melakukan jnana yadnya secara langsung. Mengapa? Logikanya, hanya ketika lilin yang telah tersulut api lah yang mampu menyulut lilin yang lain. Pertanyaannya, apakah hanya dengan hafal kitab suci kemudian sudah dikatakan telah memiliki jnana sehingga diri kita bisa mengklaim bahwa kita telah melakukan jnana yadnya dengan memberikan ceramah agama?
Kalau digali dari teks lain mengenai pengertian tentang jnana, tentu kesimpulan kita tidak seperti itu. Jika jnana diterjemahkan sebagai pengetahuan, dan yang disebut ‘mengetahui’ adalah ‘menjadi’ dengan objek yang diketahui, maka hafal kitab suci belum disebut mengetahui, itu baru kitab suci yang pindah ke kepala, hanya berupa informasi. Teks upanisad menyebut ‘Dia yang mengetahui Brahman menjadi Brahman’. Maka, jika kita hanya baru hafal teks suci saja, itu ibarat baru seperti lilin dan korek api berada di satu tempat. Lilinnya belum terbakar. Jnana yadnya artinya pengorbanan yang dilakukan dengan jalan menyulut lilin yang lainnya (kesadaran orang lain). Jika lilin kita belum tersulut, lalu bagaimana kita mampu menyulut lilin orang lain? Sehingga dengan demikian, jnana yadnya yang dimaksudkan oleh teks di atas adalah spesifik dan rahasia, sementara yadnya yang bisa dilakukan adalah tetap hal-hal yang berhubungan dengan material. Pola pemikiran ini bisa dirujuk dari bagaimana Krishna menjawab pertanyaan Arjuna ini: “Jika jalan jnana lebih tinggi dibandingkan jalan karma, lalu mengapa Engkau menyuruhku untuk melakukan perang ini, wahai Krishna?” Apa jawaban Krishna? “Karena kita terjebak dalam karma.” Inilah pola pemikiran yang harus dipahami sehingga kesombongan laten kita tidak mudah diinduksi oleh teks seperti di atas. *
I Gede Suwantana
1
Komentar