Undagi Layang-Layang Ungkap Perkembangan Rare Angon di Bali
DENPASAR, NusaBali.com - Keberadaan layang-layang di Bali tidak hanya sebagai sebuah hobi yang menyenangkan, namun menyatu dengan budaya serta tradisi yang ada di Bali.
Penilaian ini diungkapkan oleh salah satu undagi (arsitek) layang-layang terkenal di Bali, I Gede Agus Suprapta, 49, dalam sebuah lokakarya di Wantilan Desa Adat Renon, Denpasar, Sabtu (18/12/2021), serangkaian acara Denpasar Festival ke-14.
I Gede Agus Suprapta atau kerap disapa Gusta, menekuni dunia layang-layang sejak tahun 1992,menyatakan bahwa keberadaan layang-layang di Bali sangat erat kaitannya dengan budaya dan tradisi yang ada.
Seperti keberadaan sekaa rare angon (julukan pemain layang-layang) di setiap banjar yang ada di Bali, secara rutin berkumpul dan membuat layangan bersama yang biasanya berlangsung selama lima bulan dari bulan Mei hingga September di setiap tahunnya.
"Beberapa banjar di Bali seperti beberapa banjar yang ada di daerah Sanur membuat layangannya dengan melibatkan sebuah ritual dan menggunakan bahan-bahan yang sakral. Seperti kayu dari pohon pule untuk membuat tapel (topeng) layangan janggan. Dengan tujuan layangan yang dibuat memiliki taksu (kharisma)," ujarnya.
Melihat perkembangan layangan dari tahun ke tahun Gusta menyatakan senang dikarenakan layangan di Bali selalu menghiasi langit dan tidak pernah redup, dengan berbagai bentuk ciri khas layangan Bali seperti janggan (burung atau naga), bebean (ikan), dan celepuk (burung hantu).
"Di tahun 2020 layangan celepuk itu menjadi tren di masyarakat. Dan sempat viral di media sosial berbagai layangan celepuk dengan variasi lukisannya menghiasi langit Bali pada saat itu," ucap Gusta.
Bukan hanya antusiasme masyarakat yang semakin berkembang, namun kerangka layangan di Bali juga mengalami perkembangan. Dari awalnya berbentuk baku atau tidak bisa dilepas pasang, kini layang-layang telah menerapkan sistem knock down (bongkar pasang) guna mengefisiensi pencinta layangan saat membawa layangan berukuran besar ke tempat yang jauh.
"Dulu sebelum tahun 2009, pergelaran lomba layangan terkesan arogan karena banyak memakan ruas jalan pada saat membawa ke lokasi lomba. Kalau sekarang sudah praktis. Tidak perlu menggunakan mobil pick up, cukup dengan sepeda motor sudah bisa membawa layangan berukuran besar," jelas Gusta.
Gusta mengungkapkan tidak ada pakem yang baku dalam setiap bentuk dan warna layangan di Bali. Setiap daerah berhak mengembangkan kreativitasnya dalam membuat layangan, serta bebas memainkan warna sesuai keinginan masing-masing sekaa rare angon.
"Itu yang membuat layangan di Bali sangat menarik untuk diamati, karena selalu mengalami perkembangan," tambah pria asal Banjar Pekandelan, Pemecutan Klod, Denpasar Barat tersebut.
Selain aspek tradisi dan budaya, keberadaan layangan di Bali juga turut menggerakkan perekonomian para undagi layangan. Terbukti pada setiap musim layangan, Gusta yang juga menyediakan jasa pembuatan layangan tersebut dapat meraup hasil hingga Rp 40 juta.
"Saya sebenarnya ingin keberadaan layangan ke depannya menjadi satu kesatuan dalam sebuah paket wisata kepada wisatawan yang berkunjung ke Bali di waktu musim layangan tersebut, agar layangan khas Bali ini juga dapat menjadi ikon pariwisata Bali dan salah satu daya tarik wisata di Bali," terangnya.
Gusta pun berharap agar keberadaan layangan di Bali tetap eksis dari waktu ke waktu, dan para sekaa rare angon selain intens melakukan kegiatan bermain layangan juga dapat melakukan aktivitas yang positif atau bersifat sosial kepada masyarakat luas.
"Khusus di Kota Denpasar saya ingin lahan bermain layangan itu ditambahkan. Sejauh ini hanya ada dua lokasi bermain layangan, satu di Pantai Mertasari dan yang kedua di Padanggalak. Lebih bagus ditambah lagi lahannya, mengingat penggemar layangan di Bali khususnya di Denpasar lumayan banyak," harap Gusta.
Komentar