Produk Ikan ‘Merajai’ Ekspor BaliProduk Ikan 'Merajai' Ekspor Bali
Dari 10 jenis ekspor ikan, nilai ekspor ikan tuna tercatat paling besar
DENPASAR,NusaBali
Produk komoditas perikanan tetap menjadi andalan dan primadona ekspor Bali. Meskipun dalam masa pandemi, ekspor perikanan masih yang tertinggi dibanding sektor-sektor lainnya.
Dari 279.960.424,46 dollar AS (Rp 3,9 triliun) nilai ekspor Bali pada Januari-November, ekspor produk perikanan yang masuk dalam kelompok pertanian berkontribusi 42,04 persen atau dengan nilai 117.690.081,84 dollar (Rp 1,6 triliun).
Dari 10 jenis ekspor ikan, ekspor tuna dengan volume dan nilai terbesar yakni 1.313.769,43 kilogram dengan nilai 68.638.609,51 dollar AS. Walaupun dibanding periode sama, Januari-November 2020, volume ekspor tuna mengalami penurunan cukup yakni -97,91 persen. Sebaliknya nilainya ekspor naik 11,08 persen.
Adapun 10 produk perikanan tersebut ikan hias hidup, ikan kakap, kepiting, kerapu, ikan, nener,tuna, lobster dan rumput lain serta ikan lainnya.
Kepala Bidang Perdagagan Luar Negeri (PLN) Dinas Perdagangan dan dan Perindustrian (Disdagprin) Provinsi Bali Ni Wayan Lestari, mengatakan produk perikanan dan juga handicraft memang merupakan yang mendominasi ekspor Bali.
“Walaupun pandemi, namun ekspor masih tetap jalan,” jelasnya, Rabu (23/12). Kata Lestari itu menandakan potensi pasar dan permintaan produk perikanan Bali di luar negeri cukup tinggi.
Namun beberapa persoalan menjadi tantangan dalam peningkatan ekspor perikanan di masa pandemi. Salah satunya masalah keterbatasan transportasi, khususnya angkutan udara dan juga angkutan laut. Karena itu ada ekspor produk Bali melalui luar daerah, seperti lewat Surabaya dan Jakarta.
Terpisah Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) I Made Sudarsana menyatakan ekspor ikan dari luar daerah menimbulkan sejumlah dampak. Pertama bisa jadi ekspor tersebut tidak tercatat di Bali. Kedua dari sisi branding Bali. Contohnya nener kerapu yang banyak diproduksi di Bali, namun ekspornya melalui luar Bali.
“Sehingga daerah luar yang akhirnya punya nama,” ujar Sudarsana. Keterbatasan transportasi juga sudah pernah dikomunikasikan dengan pihak Pelindo, sehingga ekspor bisa langsung dilakukan melalui Pelabuhan Benoa. Terutama untuk ekspor produk ikan beku, seperti tuna dan lainnya. Malah sudah pernah dicoba.
Namun karena antara kontainer yang keluar dan yang masuk tidak seimbang akhirnya tidak berlanjut. “Tak mungkin mendatangkan kontainer kosong dari Surabaya,” jelas Sudarsana. Dia berharap dengan adanya perbaikan Pelabuhan Benoa, keterbatasan transportasi angkutan laut untuk ekspor dari Bali bisa teratasi.
Demikian juga dengan kerjasama dengan maskapai Garuda Indonesia, Sudarsana menyatakan sudah mengkomunikasikan agar bisa dibantu ekspor langsung produk perikanan Bali khususnya yang fresh. Namun karena memang faktor pandemi, hal itu belum mungkin dilakukan. *K17
Dari 279.960.424,46 dollar AS (Rp 3,9 triliun) nilai ekspor Bali pada Januari-November, ekspor produk perikanan yang masuk dalam kelompok pertanian berkontribusi 42,04 persen atau dengan nilai 117.690.081,84 dollar (Rp 1,6 triliun).
Dari 10 jenis ekspor ikan, ekspor tuna dengan volume dan nilai terbesar yakni 1.313.769,43 kilogram dengan nilai 68.638.609,51 dollar AS. Walaupun dibanding periode sama, Januari-November 2020, volume ekspor tuna mengalami penurunan cukup yakni -97,91 persen. Sebaliknya nilainya ekspor naik 11,08 persen.
Adapun 10 produk perikanan tersebut ikan hias hidup, ikan kakap, kepiting, kerapu, ikan, nener,tuna, lobster dan rumput lain serta ikan lainnya.
Kepala Bidang Perdagagan Luar Negeri (PLN) Dinas Perdagangan dan dan Perindustrian (Disdagprin) Provinsi Bali Ni Wayan Lestari, mengatakan produk perikanan dan juga handicraft memang merupakan yang mendominasi ekspor Bali.
“Walaupun pandemi, namun ekspor masih tetap jalan,” jelasnya, Rabu (23/12). Kata Lestari itu menandakan potensi pasar dan permintaan produk perikanan Bali di luar negeri cukup tinggi.
Namun beberapa persoalan menjadi tantangan dalam peningkatan ekspor perikanan di masa pandemi. Salah satunya masalah keterbatasan transportasi, khususnya angkutan udara dan juga angkutan laut. Karena itu ada ekspor produk Bali melalui luar daerah, seperti lewat Surabaya dan Jakarta.
Terpisah Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) I Made Sudarsana menyatakan ekspor ikan dari luar daerah menimbulkan sejumlah dampak. Pertama bisa jadi ekspor tersebut tidak tercatat di Bali. Kedua dari sisi branding Bali. Contohnya nener kerapu yang banyak diproduksi di Bali, namun ekspornya melalui luar Bali.
“Sehingga daerah luar yang akhirnya punya nama,” ujar Sudarsana. Keterbatasan transportasi juga sudah pernah dikomunikasikan dengan pihak Pelindo, sehingga ekspor bisa langsung dilakukan melalui Pelabuhan Benoa. Terutama untuk ekspor produk ikan beku, seperti tuna dan lainnya. Malah sudah pernah dicoba.
Namun karena antara kontainer yang keluar dan yang masuk tidak seimbang akhirnya tidak berlanjut. “Tak mungkin mendatangkan kontainer kosong dari Surabaya,” jelas Sudarsana. Dia berharap dengan adanya perbaikan Pelabuhan Benoa, keterbatasan transportasi angkutan laut untuk ekspor dari Bali bisa teratasi.
Demikian juga dengan kerjasama dengan maskapai Garuda Indonesia, Sudarsana menyatakan sudah mengkomunikasikan agar bisa dibantu ekspor langsung produk perikanan Bali khususnya yang fresh. Namun karena memang faktor pandemi, hal itu belum mungkin dilakukan. *K17
Komentar