Akademisi FP Unwar Raih Paten dari Kemenkumham
Berkat Penelitan 'Komposisi Dekomposer Lokal Bali Perombak Jerami'
DENPASAR, NusaBali
Akademisi Fakultas Pertanian Universitas Warmadewa (Unwar) Denpasar, Dr I Nengah Muliarta SSi MSi berhasil mendapatkan sertifikat pengakuan paten dari Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Kemenkumham RI) Tahun 2021.
Paten ini diraih berkat penelitian berjudul ‘Komposisi Dekomposer Lokal Bali Perombak Jerami’. Dihubungi Sabtu (25/12), Muliarta mengatakan penelitian komposisi mikroba perombak jerami ini merupakan hasil disertasinya yang kemudian mendapatkan hibah penelitian dari Kemenristekdikti tahun 2018. Setelah penelitian tersebut dipresentasikan, tak lama kemudian Muliarta juga dihubungi untuk mengikuti pelatihan penyusunan paten. Dari sana kemudian dia mengajukan hasil penelitian tersebut untuk dipatenkan pada tahun 2019. Pada saat itu, dirinya masih bertugas sebagai akademisi di Universitas Mahendradatta. Lalu pada Bulan Februari 2021, Muliarta pindah bertugas di Universitas Warmadewa.
“Paten ini saya ajukan 30 Juli 2019, dan akhirnya sertifikat paten dengan nomor IDP000078474 saya dapatkan pada 12 Agustus 2021. Namun sertifikat tersebut baru saya terima kemarin karena harus melalui berbagai proses penerbitan sertifikat,” ujarnya.
Muliarta menjelaskan, penelitian ‘Komposisi Mikroba Lokal Bali Perombak Jerami’ ini berawal dari melihat banyaknya petani yang membakar jerami padi usai panen. Jerami padi menjadi terbuang sia-sia, padahal jerami padi mengandung unsur hara yang banyak. Unsur hara sendiri merupakan salah satu mineral yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman. Dengan dibakarnya jerami padi, maka unsur hara ini banyak hilang.
“Dari penelitian pendahuluan yang saya lakukan, tidak ada petani yang mengkomposkan jerami. Yang saya dapatkan ternyata kebiasaan membakar jerami itu adalah praktek pertanian organik yang diterapkan secara turun temurun. Petani tidak tahu dalam jerami ada unsur hara. Yang mereka tahu, dengan membakar jerami akan mempercepat jadi lemekan (terurai jadi pupuk),” terang Muliarta.
“Padahal dari literatur serta uji jerami yang saya temukan, jerami ternyata mengandung unsur hara yang banyak. Hampir 60-70 persen pupuk yang dbutuhkan tanah unsurnya ada di jerami. Nah, kalau jerami dibakar, unsur haranya ikut hilang terbuang percuma. Memang masih ada unsur yang tersisa, seperti unsur K (Kalium) dan Si (Silikon). Tapi itu pun sisa sedikit,” jelas akademisi asal Banjar Kayehan, Desa Dawan Kaler, Kecamatan Dawan, Klungkung ini.
Lanjutnya, setelah mengetahui unsur-unsur dalam jerami, selanjutnya ditemukan permasalahan untuk mengkomposisi jerami menjadi kompos membutuhkan waktu yang lama. Bahkan bisa mencapai waktu enam bulan. Dari situ kemudian Muliarta timbul ide bagaimana agar jerami menjadi kompos yang matang lebih cepat. Jawabannya adalah menggunakan decomposer, yakni mikroba berupa bakteri dan jamur yang merupakan hasil isolasi mikroba di wilayah Bali. Dekomposer ini berfungsi untuk mendekomposisi atau menguraikan jerami.
“Karena membutuhkan waktu yang singkat, kita perlu tahu dekomposer apa yang paling tepat. Jadi untuk bakteri dan jamurnya saya meminta ke Lab Hama dan Penyakit di Unud terdiri dari Pseudomonas flourescens, Trichoderma hazianum. Sedangkan Aspergilus niger saya dapatkan di BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi),” kata akademisi kelahiran 21 Januari 1979 tersebut.
Dikatakan, Dekomposer Pseudomonas flourescens diisolasi dari rhizosphere bawang merah yang ditanam di Bali. Sedangkan Trichoderma hazianum diisolasi dari kotoran sapi Bali dan Aspergilus niger diisolasi dari kotoran ayam Bali. Pembuatan komposisi dekomposer diawali dengan melakukan seleksi terhadap enam komposisi dekomposer lokal. Komposisi dekomposer lokal yang memiliki laju pengomposan paling tinggi dipilih untuk digunakan sebagai bahan penelitian dan untuk dibandingkan kemampuan dekomposisinya dengan dekomposer komersial.
“Dari sekian dekomposer yang saya coba kombinasikan, pada akhirnya komposisi Pseudomonas flourescens, Tricodema hazianum dan Aspergilus niger menjadi salah satu mikroba perombak dengan laju pengomposan tertinggi,” kata anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan I Nengah Muja dan Ni Wayan Wati ini.
Dalam kondisi pengomposan yang optimal, kombinasi mikroba perombak ini mampu mendekomposisi jerami padi dalam kondisi aerob dan mampu menghasilkan kompos matang berkualitas dalam waktu 35 hari dengan pembalikan 7 hari sekali. Komposisi mikroba perombak lokal Bali ini masing-masing memiliki rasio perbandingan 1/3 dari total mikroba yang ditambahkan.
“Hasil uji eksperimen komposisi dekomposer lokal Bali pada jerami padi yang dicacah menghasilkan kompos jerami padi dengan kualitas sesuai standar SNI. Komposisi mikroba ini memberikan kematangan kompos dengan rasio C/N mencapai 14,80,” tambah Muliarta.
Setelah paten, Muliarta berharap hasil penelitiannya bisa menjadi salah satu solusi dalam penanganan limbah jerami padi di Bali. Namun dia menyadari bahwa penelitian ini masih memerlukan proses yang panjang. Menurut Muliarta, perlu kerjasama pihak ketiga (industrial) sehingga bisa menjadi sebuah produk. “Kombinasi ini kan baru prototipe sehingga masih perlu proses panjang lagi agar dapat dimanfaatkan oleh petani. Perlu pengujian panjang hingga pengemasan menjadi sebuah produk” kata lulusan S3 Ilmu Pertanian Unud tersebut.
Ditambahkan, kombinasi mikroba yang ditemukan juga diharapkan dapat membantu mewujudkan pertanian organik di Bali. Hanya saja, untuk penggunaan kompos secara total memerlukan waktu bagi tanah dan tumbuhan. “Kalau kita menggunakan 100 persen anorganik, memang langsung diserap oleh tumbuhan. Tetapi mikrobanya jadi tidak berkembang dan unsur hara di tanah menjadi hilang. Kalau dikasi kompos, perlahan unsur haranya akan bertahan. Jadi tumbuhan itu bukan memerlukan jumlah pupuk yang banyak, namun perlu unsur hara yang seimbang. Jadi untuk beralih lebih banyak ke pupuk organik itu perlu waktu yang lama,” katanya sembari berpesan jangan antipati terhadap anorganik, jangan juga terlalu membanggakan organik. *ind
Komentar