Kiprah Sampradaya dan Perpecahan PHDI Kita
PROYEKSI 2022 Bidang ADAT
DENPASAR, NusaBali
KIPRAH Sampradaya Hare Krishna di bawah naungan International Society for Krishna Consciousness (ISKCON) Indonesia, telah menimbulkan gerah dan marah mayoritas umat Hindu di Bali.
Hindu Dresta Bali Seirama dengan itu, Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat yang sangat dihormati umat Hindu Bali dan Nusantara, didera perpecahan karena lahir PHDI Pusat versi Musyawarah Luar Biasa (MLB).
Sebagaimana terkuak, para penganut sampradaya dengan lugas mempraktekkan ritual non dresta Hindu Bali di Bali. Ritual dimaksud tidak sebagaimana lazimnya dilakoni umat Hindu Dresta Bali yang memakai sarana kurban hewan dan banten atau upakara. Kegerahan umat Hindu Dresta Bali bercampur aduk jadi kekecewaan. Lebih-lebih, mereka punya cara pandang tersendiri dalam hal menafsirkan isi dan makna Weda, terutama Bagawadgita, khususnya pemanfaatan hewan untuk kurban upacara Hindu di Bali.
Simpang tafsir dan makna buku suci ini diperparah lagi dengan kemunculan ucapan-ucapan mengejutkan yang viral di dunia maya. Antara lain, ‘Hare Krishna bukan Hindu’, ‘Sameton lain belum mengerti ajaran Bagawadgita’, dan hal-hal lainnya.
Dampaknya, rasa kesal berbuah marah kebanyakan umat Hindu Dresta Bali tak terbendung. Sejumlah papan nama komunitas Hare Krishna dicabut oleh krama Bali. PHDI Pusat mencium hal ini sebagai kondisi tidak kondusif di bawah, khususnya di Bali. Sebab, kekecewaan dan kemarahan krama Bali akan dapat memancing gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat lebih luas.
PHDI Pusat pun mengambil langkah bijak dengan mencabut pengayoman kepada Sampradaya Hare Krishna Indonesia, melalui Surat Nomor: 374/PHDI Pusat/VII/2021 tertanggal 30 Juli 2021. Surat ini ditandatangani Ketua Umum Pengurus Ha-rian PHDI Pusat, Mayjen TNI (Purn) Wisnu Bawa Tenaya.
Namun, pengikut ISKCON Nusantara tak menyerah. Mereka bersurat kepada Ketua Umum Pengurus Harian PHDI Pusat, terkait penarikan permohonan pengayoman ISKCON sebelumnya. Ketua Umum Yayasan ISKCON Indonesia, Dewa Darmayasa SPd atau Sri Sriman Ida Waisnawa Pandita Damodara Pandit Dasa, dan Sekjen Yayasan ISKCON Indonesia Drs Putu Wijaya menarik surat permohonan pengayoman kepada PHDI,Nomor: 02/Iskcon-Ind/VIII/2009 tertanggal 20 Agustus 2009. Mereka menyatakan sejak Sabtu, 31 Juli 2021 Yayasan ISKCON Indonesia tidak lagi berada di bawah pengayoman PHDI Pusat. Selanjutnya, yayasan ini bera-da di bawah pengayoman negara dalam kedudukan sebagai badan hukum yayasan.
Sementara itu, keputusan pencabutan pengayoman terhadap sampradaya tersebut ditindaklanjuti PHDI Kabupaten/Kota se-Bali, dan pula diamankan penuh oleh umat Hindu Dresta Bali. Kegiatan sampradaya di Bali terus dipantau PHDI Pusat, bahkan didukung DPRD Bali dan Pemkab/Pemkot di Bali.
Namun, sejumlah tokoh dan kaum intelektual Hindu Dresta Bali dan Nusantara, mencium pencabutan pengayoman itu tidak disertai mensterilkan kepengurusan PHDI Pusat dari sampradaya, terutama Hare Krishna dan Saibaba. Mereka menghimpun diri dan membentuk Forum Komunikasi (Forkom) PHDI Provinsi Se-Indonesia. Forkom menilai kepengurusan PHDI Pusat masih dalam bayang-bayang, bahkan dikooptasi oleh tokoh-tokoh sampradaya.
Puncaknya, Forkom menggelar MLB (Musyawarah Luar Biasa) PHDI Pusat di Wantilan Pura Samuan Tiga, Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar, 18-19 September 2021 lalu. Tujuan inti dari MLB, tiada lain memurnikan hakikat kepengu-rusan PHDI dan menjauhkan Hindu Dresta Bali dan Nusantara dari praktek-praktek sampradaya asing. MLB memilih Marsekal TNI (Purn) Ida Bagus Putu Dunia menjadi Ketua Pengurus Harian PHDI Pusat 2021-2026, dengan Sekretaris Komang Priambada. MLB ini tak luput dari pro-kontra. Pihak kontra menuding MLB sebagai musyawarah abal-abal dan hasil kepengurusan PHDI Pusat yang tak sah.
Sementara, PHDI Pusat di bawah kepemimpinan Wisnu Bawa Tenaya juga menggelar Mahasabha XII PHDI Pusat sesuai agenda yang ditetapkan sejak awal, 30 Oktober 2021, di Hotel Sultan Jakarta. Dalam Mahasabha tersebut, Wisnu Bawa Tenaya terpilih kembali sebagai Ketua Umum Pengurus Harian PHDI Pusat 2021-2026. Maka, umat Hindu Bali dan Nusantara kini dipimpin oleh dualisme kepengurusan PHDI Pusat, yang kedua-duanya mengklaim sebagai lembaga sah.
Kiprah sampradaya dan riuh perpecahan PHDI, menandakan Bali salah satu dari belasan ribu gugusan pulau di Indonesia yang tak henti dari gunjangan budaya. Kian terasa keras dan membatin ke ubun-ubun orang Bali tatkala gunjangan itu dapat melapukkan akar kokoh peradaban Bali, yakni tradisi, adat, budaya, dan Agama Hindu Bali.
Pada kondisi seperti ini, orang tentu sadar bahwa cara hidup termasuk keyakinan beragama, amat baik bagi penganutnya, namun belum tentu bagi yang lain. Perbedaan cara pandang itu kerap diselipi dengan kekeliruan tafsir yang diumbar sebagai kebenaran umum. Lebih-lebih, cara melekatkan kebenaran dan kebaikan sebuah keyakinan, ditingkahi dengan hasrat untuk berkuasa. Dampaknya, meniadakan yang lain, tak terkecuali tradisi luhur yang dihormati sejak nenek moyang.
Berangkat dari hasrat tersebut, Bali adalah pulau seksi untuk jadi sasaran kuasa. Maka, penguasaan itu dapat dilakukan melalui mengubah pondasi tradisi, adat, budaya, bahkan Agama Hindu Bali. Terkait ini, mungkin orang Bali kini penting belajar dari kehancuran Majapahit, yang bermula dari penghancuran keyakinan.
Sejalan dengan itu, hasrat kuasa bahkan untuk saling menghabisi satu sama lain, tak selalu kasat mata, apalagi dalam bentuk kekerasan. Karena hasrat seperti ini kerap beroperasi halus, dengan cara menawarkan kasih sayang, tepa salira, bahkan bhakti marga, dan cara-cara termuliakan lainnya. Padahal, semua bisa terkuak. Sebab, proses untuk berkuasa yang rapi dan senyap berselubung gestur dan wejangan bijak, lambat laun bisa kentara. *
I Nyoman Wilasa
Wartawan NusaBali
Wartawan NusaBali
1
Komentar