Guru Penggerak di Denpasar Curhat ke DPR RI
DENPASAR, NusaBali
Beberapa kendala dalam seleksi Guru Penggerak terungkap saat kunjungan DPR RI ke beberapa sekolah di Denpasar, Selasa (21/12) lalu.
Salah satunya banyaknya guru yang sulit lolos persentase nilai kelulusan (passing grade). Bertempat di Aula SMPN 3 Denpasar, anggota DPR RI yang diwakili Dede Yusuf dan rombongan berkesempatan berbincang dengan guru yang lolos dan tidak lolos seleksi guru ASN PPPK. Empat orang guru yang hadir, menceritakan suka dukanya menjalani proses seleksi.
Adalah Puput Sri Utama Dewi, Pengajar IPA yang lolos sebagai Guru Penggerak Angkatan 1. Ia menjelaskan tentang soal ujian yang panjang dan waktu yang terbatas untuk menjawab soal-soal tersebut. Namun, ia merasakan manfaat setelah melewati pelatihan dan ujiannya. Banyak pembelajaran dan pengalaman berharga yang menjadi masukan positif bagi metode mengajarnya.
Puput mengaku, dirinya bisa menerapkan ilmu dari Pendidikan Guru Penggerak di ekskul Karya Ilmiah Remaja (KIR) yang ia bina. Puput menyentuh anak-anak didiknya dari hati ke hati, mulai dari mengidentifikasi karakter mereka dan menyesuaikan dengan model belajar yang mampu meningkatkan minat belajar anak.
“Kami harus melihat setiap anak unik dan semua pelajaran berdiferensiasi. Kita lebih banyak harus menjadi pendengar yang baik, memfasilitasi dan menjadi teman yang mendampingi proses belajar mereka,” ucapnya yang juga mengungkapkan metode ini belum bisa ia lakukan di kelas dengan jumlah murid yang jauh lebih banyak dan karena metode belajar di kelas masih klasikal.
Berikutnya, Ni Kusuma Dewi, guru yang lulus sebagai Guru Penggerak tanpa ‘bantuan’ afirmasi maupun sertifikasi pendidik menceritakan pengalamanya mengikuti seleksi yang ia rasakan tanpa kendala berarti. Beruntung, ia rajin melahap berbagai soal ujian untuk keperluan seleksi lain sebelumnya seperti Pendidikan Profesi Guru (PPG) dan sertifkasi pendidik. “Seringnya saya berlatih menjawab soal dan menempuh berbagai ujian lain sebelumnya itu yang mengasah kemampuan saya,” kisah Ni Kusuma Dewi.
“Di manajerial dan sosial budaya (sosial culture), relevan ilmunya (dengan soal yang keluar). Dari pembelajaran saat PPG tentang pedagogik juga memberi gambaran ke saya (tentang model-model soal yang mungkin keluar). Motivasi saya belajar sangat besar karena malam sebelum saya ujian, saya meyakinkan diri bahwa besok adalah hari penentuan nasib saya. Maka saya harus bersungguh-sungguh,” lanjutnya.
Akan tetapi, di balik itu semua, ia tak memungkiri kendala soal yang panjang sebanyak 100 butir dan waktu yang tersedia yakni 120 menit, membuat peserta harus cepat bernalar dan memilih jawaban yang tepat. “Harus latihan soal terus. Dilihat dari guru-guru yang usianya senior ditambah kemampuan IT mereka kurang menjadikan mereka kesulitan,” tutur Ni Kusuma Dewi.
Keluhan tentang bentuk soal yang panjang juga diutarakan oleh Normaliani, pengajar seni budaya. Meskipun ia lulus sebagai Guru Penggerak tahap 1 dengan afirmasi 15 persen, namun waktu yang tersedia ia rasakan terlalu sempit. “Kami harus menjawab soal panjang, saking panjangnya memenuhi satu layar komputer, kami harus menatap layar itu berjam-jam dan tetap harus fokus,” keluhnya.
Berbeda dengan kisah-kisah sebelumnya, Ni Nyoman Lestari Dewi tak semujur teman-temannya yang lain. Walaupun ia berhasil lulus passing grade di seleksi tahap 1 dan 2, kenyataannya ia tidak lolos seleksi karena ketidaktersediaan formasi. “Untuk tahap ketiga hanya ada formasi untuk guru SD sementara nilai saya di SMP tidak bisa dikonversikan,” ucapnya penuh emosional seraya mengusap air matanya.
Menjawab permasalahan ini, Dede Yusuf berkomitmen untuk tetap membuka seleksi guru ASN PPPK karena mendesaknya kebutuhan guru dan adanya kuota yang melimpah. “Kami dorong agar Pemda membuka formasi (sesuai kebutuhan daerahnya), total lowongan yang dibuka 1 juta guru, pasti bisa masuk, asal lolos,” tegas Dede. *
Komentar