Menaklukkan Corona, Bali Butuhkan Perlakuan Beda
PROYEKSI 2022 Bidang EKONOMI
DENPASAR, NusaBali
ISTILAH Pandemi sejak dua
tahun belakangan ini menjadi kata yang paling sering dipakai di media
massa, bahkan media sosial. Ini setelah virus bernama Covid-19 menyerang
berbagai belahan dunia di muka bumi ini.
Meski kemunculannya tak pernah diharapkan, virus Corona yang berawal dari Wuhan, China, seolah ingin bersikap adil. Mau negara kaya, negara miskin, negara maju, maupun negara terbelakang tak luput dari cengkeramannya.
Gema lockdown terdengar di seantero dunia. Imbauan memakai masker, rajin cuci tangan, jaga jarak, dan larangan berkerumun menjadi habit baru yang harus dilakukan demi bertahan hidup dari virus yang sangat mematikan ini.
Perekonomian dunia pada negara-negara tertentu seperti Amerika Serikat, Jepang, Korea Selatan, Hong Kong, Uni Eropa, dan Singapura menjadi ‘oleng’ karena mengalami pertumbuhan ekonomi negatif pada pada Triwulan I dan II tahun 2020.
Bagaimana dengan Indonesia? Sebagai negara yang masuk dalam negara berkembang, hantaman virus Corona jelas dirasakan sebagai pukulan telak. Ajaibnya, dilihat dari pertumbuhan ekonominya, Negeri Khatulistiwa ini harus bersyukur karena seperti yang disampaikan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani, dampak pandemi terhadap ekonomi Tanah Air masih lebih moderat jika dibandingkan dengan negara-negara anggota Grpup of Twenty (G-20) dan ASEAN.
"Kita dengan (pertumbuhan) -2,07 persen tahun lalu dan sekarang sudah recovery di 7,07 persen (kuartal II) dan 3,51 persen (kuartal III), adalah negara yang relatively moderate dalam menangani dampak ekonominya," jelas Sri Mulyani dikutip dari Bisnis Indonesia.
Padahal, beberapa negara mengalami kontraksi yang lebih dalam dari Indonesia, seperti Thailand dan Malaysia yang mencatat pertumbuhan negatif pada kuartal III tahun 2021 akibat varian Delta, setelah sebelumnya sempat pulih pada kuartal II tahan 2021.
Bali Paling Terpukul
Bali menjadi daerah yang paling terpukul akibat pandemi Covid-19. Lihat saja pada kondisi normal, pertumbuhan ekonomi Bali berada di angka 5,3 persen. Tetapi, ketika dihajar virus Corona, pertumbuhan ekonomi Bali jatuh terkontraksi menjadi -9,43 persen.
Angka tersebut menunjukkan Bali mengalami kontraksi atau pertumbuhan minus paling dalam dibandingkan provinsi-provinsi lain. Hal ini karena pariwisata yang jadi andalan ekonomi Bali adalah sektor paling awal terimbas dan paling belakang untuk pulih akibat pandemi Covid-19.
Dalam kondisi seperti itu, Bali baru tersadar bahwa selama ini pulau yang dikenal dengan keindahan pemandangan dan keunikan adat budayanya hanya bertumpu pada satu sektor yakni pariwisata. Maka, ketika sektor andalan ini ambruk, Bali kehilangan kekuatannya untuk bangkit.
Menurut Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki, Bali harus berpikir ulang untuk mendongkrak perekonomian. Salah satu caranya adalah dengan mendorong peran ekonomi kreatif di Bali. "Strategi Bali harus diubah. Kita maksimalkan peran ekonomi kreatif dan digitalisasi produk UMKM. Banyak yang rindu Bali. Kita kirim produk Bali. Tidak hanya produk makanan, bisa saja seperti cerita rakyat Bali kita ubah menjadi gim yang akan menghasilkan bagi perekonomian," jelas Teten dalam Rangkaian Kunjungan Kerja ke Bali, belum lama ini.
Teten menambahkan, Bali merupakan sebuah brand dari Indonesia. Layaknya Swiss yang dikenal dengan jam tangan R0lex, Indonesia juga dikenal baik oleh wisatawan asing karena Bali.
Bali perlahan bangkit, salah satunya melalui potensi pertanian yang dinilai sebagai kekuatan baru. Sayur mayur, porang, dan jagung hibrida disadari sebagai potensi ke depan yang bisa digarap lebih serius.
Namun, bagaimana pun, Bali sebagai brand Indonesia tak mungkin meninggalkan pariwisata. Trend rural tourism seolah menjadi amunisi bagi Bali untuk kembali bersaing.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno, mengatakan bahwa rural tourism yang tengah naik daun saat ini mengarahkan wisatawan ke desa wisata (Dewi). Sebab, rural tourism mencakup alam dan budaya yang dimiliki oleh banyak desa wisata di Indonesia. Bali boleh dikata punya sejumlah desa wisata yang bisa menjadi andalan agar dilirik wisatawan domestik maupun mancanegara. Di antaranya, Desa Penglipur-an (Bangli), Desa Tenganan Pagringsingan (Karangasem), dan Desa Jatiluwih (Tabanan).
Namun, bicara soal membangkitkan perekonomian khususnya pariwisata, Bali memang membutuhkan treatment (perlakuan) khusus. Bali tak cukup hanya mengikuti kebijakan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang selama ini menjadi jurus pemerintah untuk menekan penularan Covid-19. Bali juga tak bisa hanya mengikuti SOP standar seperti pakai masker, cuci tangan, jaga jarak, dan larangan berkerumun.
Selain itu, harus ada langkah strategis nasional yakni vaksinasi (dan sebentar lagi booster). Bali butuh kebijakan-kebijakan yang ‘ramah wisatawan’ agar mereka bisa kembali mengunjungi dan menikmati keindahan Pulau Dewata.
Sebagaimana disorot oleh Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kabupaten Badung, Bali butuh regulasi-regulasi yang tidak menghambat khususnya wisman untuk masuk Bali, sepertu poin karantina, visa, dan policy flight. Masa karantina yang dinilai terlalu lama, menjadikan Bali sulit bersaing dengan kompetitor, dalam hal ini negara lain yang rata-rata memberlakukan masa karantina yang singkat hanya sehari.
Kemudian, soal visa yang sangat memberatkan calon wisatawan asing. Hal ini itu karena adanya pembatasan atau kuota, yakni hanya 1.500 per hari secara online. Itu pun harus ada penjamin atau sponsor. Hambatan ketiga adalah flight policy. “Yang ini harus direvisi juga. Jangan memberatkan (karena), hanya bisa direct fliht dari negara origin country,” ujar Ketua PHRI Badung, I Gusti Ngurah Agung Rai Suryawijaya.
Singkat kata, untuk membangkitkan perekonomian khususnya sektor pariwisata, Bali membutuhkan support pemerintah pusat, berupa regulasi-regulasi yang ramah wisatawan mancanegara. *
Hardinah Sistriani
Wartawan NusaBali
Wartawan NusaBali
Komentar