Abdi Seni Menginspirasi Kaum Pragina
Jejak Maestro Topeng Tugek Carangsari IGN Windia
Dirinya (almarhum) sama sekali tidak ada meninggalkan harta benda untuk anak, istri, dan cucu.
MANGUPURA, NusaBali
Kepergian maestro Topeng Tugek Carangsari, I Gusti Ngurah Windia,75, menyisakan kenangan mendalam bagi keluarga, masyarakat, dan para seniman terdekat. Sepanjang hayatnya, almarhum dikenal total dalam pengabdian di bidang seni. Totalitas itu menjadikan dirinya inspirator di kalangan pragina (seniman) lain.
Bahkan almarhum masih sempat ngayah pentas topeng pada 3 Desember 2021 lalu untuk terakhir kalinya. Atas dedikasinya terhadap kesenian tradisional, pada saat upacara palebon almarhum yang dilangsungkan pada Wraspati Pon Krulut, Kamis (23/12) lalu, almarhum diantar ke peristirahatan terakhir dengan diiringi pementasan tari baris, tari topeng, dan tabuh baleganjur. Para seniman, terutama seniman topeng dengan niat sendiri melakukan hal tersebut. Anak bungsu almarhum, I Gusti Ngurah Artawan pun mengaku niat seniman untuk melaksanakan pentas massal membuatnya terharu. Ini seperti mengingatkan pada betapa besar dedikasi sang ayah selama ini untuk kesenian tradisional. “Yang paling berkesan adalah adanya apresiasi para seniman dari Badung maupun seluruh Bali. Mereka menari topeng, menggunakan seperangkat pakaian topeng dan sama-sama memberikan doa terbaik untuk ayah kami,” ujar Ngurah Artawan saat ditemui selama pengabenan almarhum, beberapa waktu lalu.
Bagi Ngurah Artawan sendiri, ayahnya adalah sosok yang istimewa dan terbaik. Sosok IGN Windia juga menjadi inspirasi bagi para seniman lainnya. Menurut Artawan, almarhum merupakan sosok yang totalitas dalam pengabdian di bidang seni. Menurutnya, memang tak ada pesan khusus yang ditinggalkan almarhum. “Menjelang wafat, beliau berkata bahwa dirinya (almarhum) sama sekali tidak ada meninggalkan harta benda untuk anak, istri, dan cucu. Namun yang saya bisa simpulkan dari perkataan itu, bukan harta benda yang ditinggalkan oleh Ajik. Tapi warisan seni yang tak ternilai dan sikap totalitas dalam pengabdian,” ungkap Ngurah Artawan.
Warisan seni yang tak ternilai tersebut tiada lain Topeng Tugek Carangsari. Ngurah Artawan sebagai salah satu anak yang meneruskan dedikasi almarhum dalam berkesenian akan berupaya melestarikan Topeng Tugek Carangsari yang namanya sudah melegenda. Namun menariknya, Artawan mengaku belum pernah sama sekali memerankan Topeng Tugek Carangsari, karena dia amat menghormati kebesaran sang ayah. Sehingga tidak berani melangkahi untuk mempelajari karakter topeng yang sudah menjadi taksu ayahnya.
Karakter Topeng Tugek Carangsari sendiri menggambarkan karakter seorang wanita biasa yang diberi panggilan Tugek. Perangainya lucu dan memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Biasanya, Tugek tampil bersama dua karakter lainnya yakni si gigi sumbing dan si bongol (tuli). Kemudian, yang khas dari pentas Topeng Tugek Carangsari adalah tembang yang diciptakan oleh almarhum sendiri, “Manyelonte tindakane tayung-tayung. Nilotama peliatne tunjung biru”. Tembang ini terkenal mengiringi Topeng Tugek Carangsari di setiap pentas.
“Sepanjang beliau masih hidup dan sepanjang saya menjadi penari, satu-satunya karakter topeng yang belum pernah saya perankan adalah Topeng Tugek Carangsari ini. Karena menurut saya, jika itu saya ambil, taksunya masih beliau yang pegang. Sekarang beliau sudah tiada, mungkin saya akan coba belajar memerankan Topeng Tugek ini agar tetap lestari,” janjinya.
Kepergian almarhum meninggalkan warisan barang-barang kesenian berupa seperangkat topeng, wayang, gamelan, dan sejenisnya. Sementara itu, terkait Sanggar Tugek Carangsari sejatinya didirikan oleh Ngurah Artawan sendiri pada tahun 1998. Konon sanggar tersebut berawal dari Sekaa Topeng yang dibentuk oleh almarhum. Jadi sekitar tahun 1966, ayahnya membentuk sekaa topeng yang anggotanya sekitar 6-7 orang dan pentas kemana-mana. Namanya melengenda dan kemudian masyarakat Bali lah yang memberikan sebutan Topeng Tugek Carangsari. “Terkait sanggar saat ini masih eksis. Kebetulan saya yang mendirikan tahun 1998, yang sebetulnya berawal dari Sekaa Topeng Tugek Carangsari yang dibentuk oleh Ajik. Sanggar ini membina dua kategori yakni senior dan junior. Untuk saat ini, yang senior ada sekitar 40 orang. Yang junior lebih banyak sekitar 50 orang,” tandasnya.7ind
1
Komentar