Jaksa Tolak Memori PK Raja Denpasar
Setelah hadir pada, Senin (30/11) lalu untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK), Tjokorda Samirana alias Ida Tjokorda Ngurah Jambe Pemecutan alias Ida Tjokorda Raja Denpasar IX yang menjadi terpidana 2,5 tahun penjara dalam kasus penipuan kembali mangkir di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar pada, Senin (7/12).
DENPASAR, NusaBali
Dalam sidang, jaksa menolak seluruh memori PK yang diajukan Cok Samirana.
Jaksa Penuntut Umum (JPU), Luga Herlianto mengatakan dalam sidang lanjutan pengajuan PK terpidana 2,5 tahun kasus penipuan Cok Samirana, tetap dilanjutkan majelis hakim pimpinan Achmad Peten Silli meski tanpa kehadirian pemohon. “Tadi hanya penyerahan tanggapan jaksa soal PK yang sudah diajukan terpidana pekan lalu,” terangnya.
Dalam tanggapan jaksa menolak seluruh permohonan PK yang diajukan oleh terpidana Cok Samirana. Pasalnya, dalam memori PK tersebut hanya memasukkan sebagian putusan perdata kasus yang sama. “Dalam putusan tersebut ada dua poin. Yaitu wanprestasi dan perbuatan melawan hukum. Tapi yang dipakai pertimbangan dalam PK tersebut hanya soal wanprestasi saja. Sedangkan yang perbuatan melawan hukum tidak dipakai. Padahal di sana poin pentingnya,” jelas Luga.
Setelah penyerahan tanggapan jaksa, sidang akan dilanjutkan kembali pada, Senin (14/12) dengan agenda penandatanganan berkas yang harus ditandatangani oleh Cok Samirana sebagai pemohon. “Untuk tandatangan ini pemohon harus datang sendiri dan tidak boleh diwakilkan,” tegas Luga.
Sementara itu, Kasi Pidum Kejari Denpasar, Ketut Maha Agung mengatakan rencananya akan melakukan eksekusi penahanan terhadap Cok Samirana pada, Senin (7/12) sesuai putusan MA. Namun pihaknya dibantu aparat kepolisian gagal melakukan penahanan karena Cok Samirana tidak berada di rumahnya di Jalan Veteran, Denpasar. “Tadi sudah kami cari ke sana. Tapi tidak ada di tempat. Informasinya sedang pengobatan di Jakarta,” ujar Maha Agung tanpa mau merinci kapan akan melakukan eksekusi selanjutnya. Seperti diketahui, kasus dugaan penipuan dan penggelapan tersebut berawal pada tahun 2006 silam.
Ketika itu, korban Lely berniat membeli tanah dan akhirnya diperkenalkan dengan Cok Samirana yang berniat menjual tanah seluas sekitar 10 hektare di Jalan Badak Agung, Renon. Harga tanah yang ditawarkan oleh Cok Samirana adalah Rp 75 juta per are.
Kemudian, Lely pun sepakat untuk membeli tanah tersebut sesuai dengan harga yang ditetapkan tadi, Rp 75 juta per are. Uang muka yang akan dibayarkan Lely sebesar Rp15 miliar dan pembayaran dilakukan dalam tiga tahap. Saat Lely akan melakukan pembayaran tahap kedua sebesar Rp 7,6 miliar, Lely minta kepada Cok Samirana agar diperlihatkan sertifikat tanah yang asli.
Saat itu, Cok Samirana berjanji akan segera menunjukkan sertifikat tanah tersebut. Lantas, Lely pun datang ke notaris Gusti Ngurah Oka untuk melunasi uang muka sebesar Rp 15 miliar. Namun dari pihak penjual (Samirana) tidak bisa memperlihatkan sertifikat tanah yang asli dan hanya memperlihatkan foto copy saja.
Pada November 2006, justru muncul surat pemblokiran tanah dari keluarga Puri Satria. Inti surat tersebut adalah tanah di Badak Agung tersebut adalah tanah Puri Satria dan jangan sampai dipindahtangankan. Setelah mendapatkan surat tersebut, Lely langsung bertemu dengan Cok Samirana dan yang bersangkutan bersikeras bahwa tanah tersebut sudah miliknya karena dia adalah raja.
Kemudian, pada Januari 2009 silam, Lely melaporkan Cok Samirana ke Polda Bali. Menurut pengakuannya, dia sudah dirugikan secara materi sampai Rp 7,6 miliar. Oleh jaksa, Cok Samirana dijerat dengan pasal 372 tentang penggelapan dan 378 KUHP tentang penipuan. 7 rez
1
Komentar