MUTIARA WEDA: Jalan Inklusif
Tad eva agnis tad vayus tad u candramah Tad eva surya tad brahma tad apah ca sa prajapatih. (Yajurveda: XXXII. 1)
Agni, vayu, candra, hanyalah Itu. Demikian juga surya brahma, apah, dan prajapatih hanyalah Itu.
JIKA semuanya adalah ‘Itu’, lalu mengapa mesti memberikan narasi yang panjang terhadap nama dan rupa yang berbeda? Jika semua yang berbeda-beda adalah yang tunggal ‘Itu’, lalu mengapa lagi kita berurusan dengan yang bagian-bagian? Artinya dengan hanya menyebut yang ‘Itu’ saja, semua yang berbeda-beda tersebut secara otomatis akan terakomodasi. Sebaliknya, jika kita bicara bagian-bagiannya saja, keseluruhannya tidak akan terakomodasi. Bahkan Krishna juga dengan tegas menyatakan bahwa dia yang memuja dewa akan mencapai dewa, tetapi dia yang langsung memuja Yang Tertinggi akan langsung mencapai Yang Tertinggi itu. Jika kita sudah memuja Yang Tertingi, tentu yang di bawahnya akan dipuja secara otomatis, sementara jika kita hanya memuja yang di bawahnya, maka yang tertinggi dipastikan tidak akan dicapai.
Seperti itulah perdebatan kita selama ini dan bahkan perdebatan itu memunculkan darsana atau cara pandang yang baku. Mungkin, diskusi terhadap teks ini melahirkan paham monoteisme. Jika semua itu satu, maka hanya yang satu saja yang dijadikan acuan. Begitu sederhananya. Bahkan paham monotheist telah mem-final-kannya. Tidak perlu ada diskusi lagi. Namun, jika kita melanggar dan diskusi dilanjutkan, sepertinya teks seperti di atas masih menyisakan beberapa perspektif di luar monoteis yang sudah mapan itu. Seperti apa? Jika agni, vayu candra, dan yang lainnya ‘hanyalah Itu’, lalu mengapa kita hanya fokus pada “Itu”-nya saja dan mengabaikan agni, vayu, candra, dan yang lainnya? Tidakkah teks di atas justru meninggikan agni, vayu, candra, dan yang lainnya? Artinya, jika seseorang memuja Agni, maka sesungguhnya yang dipuja adalah ‘Itu’, karena Agni sendiri adalah ‘Itu’. Sehingga, meskipun kita di hadapan agni, sesungguhnya kita memuja ‘Itu’, demikian juga yang lainnya. Tidakkah ini lebih sederhana dibandingkan cara berpikir monoteis? Karena mereka mesti harus memformat kembali tentang siapa yang ‘Itu’ tersebut. Karena hanya ketika yang ‘Itu’ telah memiliki format, maka yang bagian-bagian seperti agni, vayu, candra, dan yang lainnya bisa ditinggalkan.
Dalam kasus seperti teks di atas, sepertinya kita tidak perlu lagi memformat siapa ‘Itu’ tersebut, karena di mana pun kita berada, sedang berhadapan dengan siapa saja, apakah agni, vayu, candra, dan yang lainnya, maka kita tidak pernah di hadapan siapapun selain yang ‘Itu’. Tidakkah ini merupakan cara berpikir inklusif? Mengapa inklusif? Karena kita tidak lagi mempertentangkan siapa memuja apa. Apapun nama dan rupa yang dipuja, apakah itu agni, vayu, candra atau yang lainnya, secara prinsip mereka memuja yang ‘Itu’, dan hanya yang ‘Itu’ saja. Jadi, kita tidak memiliki kesempatan untuk mencela orang dengan keyakinan yang berbeda-beda, karena yang berbeda-beda tersebut adalah satu, yang ‘Itu’. Teks di atas mengajak kita untuk berpikir sederhana, inklusif, dan selaras dengan kebenaran. Dunia yang beragam harus dihormati, inilah dharma, dan tidak ada alasan untuk tidak menghormati. Jika atas nama ajaran kita harus membenci, dipastikan itu adharma (sebagaimana implikasi dari pemahaman atas teks di atas).
Makanya, secara teologis, teks seperti di atas telah selesai dengan sendirinya. masalah teologi dan keyakinan sudah final. Masalah yang tersisa hanyalah bagaimana kita mengupayakan agar teks seperti di atas bisa hidup di dalam diri kita. Teks seperti di atas diupayakan dapat mengantarkan kesadaran kita semakin meluas sehingga sampai pada terminal akhirnya, yakni ‘Itu’ sendiri. Fakta menyatakan bahwa, jika teks di atas dibawa ke cara berpikir yang ‘Itu’ dengan format baru, maka dipastikan kita harus terus berjuang agar cara berpikir seperti itu terus terawat. Banyak tenaga dan upaya hanya untuk itu. Namun, jika kita berpikir bahwa yang berbeda-beda tersebut adalah ‘Itu’, maka kita tidak perlu merawatnya lagi. Mengapa? Karena semua itu telah dirawat oleh semesta dan kita hanya memanfaatkannya saja untuk kepentingan sadhana spiritual. Segala yang ada kemudian bisa kita gunakan secara maksimal untuk kepentingan peningkatan kesadaran diri. *
I Gede Suwantana
1
Komentar