Anggap Boneka Sosok Nyata, Hati-Hati Gangguan Jiwa
DENPASAR, NusaBali.com - Ada tren yang bikin heboh dilakukan beberapa selebritis nasional belakangan ini. Mereka dengan bangga pamerkan boneka arwah (spirit doll) yang mereka adopsi kepada khalayak.
Tidak hanya di kalangan selebritas ibukota, seorang warga di Bali, Queen Athena, juga dikenal mengasuh puluhan spirit doll. Baginya, boneka arwah merupakan sarana untuk melindungi dan merawat arwah anak-anak yang belum menemukan kedamaian di ‘alam sana’. Dengan begitu, arwah anak-anak tersebut diharapkan bisa segera beristirahat dalam damai (rest in peace).
Di sisi lain, tidak sedikit kalangan yang melihat kesenangan memelihara boneka arwah sebagai sebuah gejala gangguan jiwa.
Psikiater Klinik Utama Sudirman Medical Centre (SMC) Denpasar, dr I Gusti Rai Wiguna SpKJ, buru-buru mengatakan bukanlah perkara mudah untuk memvonis para pengadopsi boneka arwah sebagai seorang dengan gangguan jiwa, apalagi hanya dengan pandangan sesaat.
“Kalau seseorang bisa membedakan antara dunia imajinasi dengan dunia nyata, bahwa boneka hanya sebuah pengalihan dari kehidupan sehari-hari atau sebagai media latihan bagi mereka untuk berkomunikasi di dunia nyata yang dimulai dengan berlatih berkomunikasi dengan boneka, tentu hal tersebut masih merupakan hal yang wajar,” kata dr Rai, Kamis (13/1/2022).
Hal yang patut diwaspadai adalah, sebut dr Rai, jika seseorang sudah sulit membedakan antara dunia imajinasi dengan dunia nyata, merasa bonekanya adalah seseorang yang nyata dalam kehidupannya.
“Tentu kita harus berhati-hati dan mengkonsultasikan apabila ada keluarga dekat kita mengalami hal-hal semacam itu,” ujarnya.
Lebih jauh dr Rai mengatakan, dalam bidang psikologi, boneka sudah biasa dijadikan sebagai media terapi. Boneka, ujarnya, menjadi loncatan awal bagaimana kita bisa berlatih mengasah perasaan kita hingga empati kita.
“Bagaimana kita bisa memperlakukan dia dengan baik, dengan apa yang bisa kita lakukan, apa yang kita ingin katakan, menghayalkan bagaimana mereka bisa merasakan perlakuan yang baik dari diri kita,” sebut salah satu pendiri Rumah Berdaya Denpasar tersebut.
Ia menjelaskan, boneka juga sering digunakan pada terapi Gestalt (Gestalt Theraphy). Terapi Gestalt ini pada awalnya menggunakan kursi kosong sebagai medianya. Pasien yang diterapi merupakan seseorang yang mempunyai unfinished bussiness atau urusan yang belum selesai dengan seseorang yang mungkin sulit ditemui, sulit diajak berkomunikasi, atau bahkan telah tiada.
Dalam prosesnya, hal-hal yang belum sempat disampaikan, hal-hal yang masih terpendam dalam hati pasien, bisa disampaikan pada kursi kosong tersebut. Selanjutnya, pasien akan duduk di kursi kosong itu dan membalasnya, seakan-akan pasien adalah diri seseorang yang mempunyai unfinished bussines tersebut.
“Seringkali, saya mengganti kursi kosong dengan boneka atau gambar yang dibuat tentang figur seseorang yang masih bermasalah dalam hidup pasien. Jadi, boneka juga bisa menjadi sebuah terapi,” ujar dr Rai.
“Bagi saya, ini bukan soal ‘boneka’ atau ‘bukan boneka’, tetapi bagaimana kita menggunakan objek itu untuk kepentingan yang ada di dalam diri kita,” sambung dr Rai.
Demikian pula, kata dr Rai, apabila boneka hanya dilihat sebagai sekadar boneka, sebagai sebuah objek yang indah, visual yang menarik, menjadi benda koleksi untuk sebuah kesenangan pribadi.
“Jadi memang tidak semua hal mesti kita tanggapi dengan serius. Hal terpenting, bagaimana kita tetap mempunyai kendali dalam hidup kita dan tidak menjadi boneka bagi orang lain,” pungkas dr Rai.
Komentar