Kanwil Kemenkum HAM Bali Klarifikasi Prajuru Desa Adat Taro Kelod
Terkait Kasus Jro Mangku Ketut Warka, yang Kena Sanksi Adat Setelah Dua Kali Menangkan Perkara Tanahnya
Kepala Bidang HAM Kanwil Kemenkum HAM Bali, Rita Rusmarti, mengatakan Jro Mangku Ketut Warka sempat datang mengadu ke kantornya, 6 Januari 2022 lalu. Intinya, mantan pamangku Pura Puseh, Desa Adat Taro Kelod, Kecamatan Tegallalang, Gianyar itu merasa didiskriminasi
GIANYAR, NusaBali
Kisah pamangku Pura Puseh, Desa Adat Taro Kelod, Desa Taro, Kecamatan Tegallalang, Gianyar, Jro Mangku I Ketut Warka, yang diberhentikan sebagai pamangku dan dikenai sanksi adat setelah dua kali memenangkan perkara tanahnya di pengadilan, mendapat atensi dari Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM) Provinsi Bali. Jajaran Kanwil Kemenkum HAM Bali secara khusus meminta klarifikasi dari prajuru adat dan pihak terkait dalam pertemuan di Aula Kantor Desa Taro, Rabu (19/1) pagi.
Rombongan yang terjun minta klarifikasi ke prajuru Desa Adat Taro Kelod, Rabu pagi pukul 10.56 Wita, dipimpin Kepala Bidang HAM Kanwil Kemenkum HAM Bali, Rita Rusmarti. Menurut Rita Rusmarti, kedatangannya ke Desa Taro khusus untuk meminta penjelasan dari pihak prajuru Desa Adat Taro Kelod. Pasalnya, keluarga Jro Mangku Ketut Warka sebelumnya sempat mendatangi Kantor Pelayanan Komunikasi Masyarakat (Yankomas) Kemenkum HAM Bali di Denpasar, 6 Januari 2022 lalu.
"Kami punya Yankomas, siapa pun yang merasa terindikasi haknya terlanggar, boleh mengadukan ke kami. Nah, warga Desa Adat Taro Kelod ini (Jro Mangku Warka, Red) datang ke Yankomas tanggal 6 Januari 2022. Dia merasa didiskriminasi," jelas Rita Rusmarti.
Dugaan diskriminasi yang dimaksud, kata Rita, adalah dibebaskannya Jro Mangku Warka dari hak dan kewajiban sebagai krama adat, diberhentikan sebagai pamangku, diputus sambungan air swadaya, diputus saluran irigasi sawahnya, hingga pelarangan membuat sumur bor. "Kami juga menerima informasi bahwa yang bersangkutan terpaksa minum dan mandi memanfaatkan air tadah hujan. Hal ini yang ingin kami pastikan ke prajuru desa adat, agar bisa kami mediasi dan kemudian memberikan rekomendasi," tandas Rita.
Rita sendiri memastikan Kanwil Kemenkum HAM Bali tidak memihak siapa pun dalam kasus ini. "Kami bukan memutuskan salah benar. Kami memediasi. Kami punya kewajiban selaku tim Yankomas tidak boleh memihak," jelasnya.
Menurut Rita, setelah mendapatkan penjelasan dari prajuru Desa Adat Taro Kelod, pihaknya belum bisa memutuskan. Pihaknya sudah mencatat beberapa keinginan dari pihak desa adat. “Ini harus kita koordinasikan lagi dengan yang mengeluh didiskriminasi (Jro Mangku Warka). Harapan kami tetap mengupayakan damai," terang Rita.
Sementara itu, Bendesa Adat Taro Kelod, I Ketut Subawa, meluruskan bahwa berhentinya Jro Mangku Warka sebagai pamangku Pura Puseh adalah keinginan yang bersangkutan. Jadi, Jro Mangku Warka bukanh diberhentikan sebagai pamangku. "Dia yang mohon berhenti per tanggal 6 Desember 2016 lalu. Permintaan itu diajukan saat paruman sakral di Pura Puseh Bale Agung Desa Adat Taro Kelod,” ungkap Ketut Subawa seusai pertemuan dengan jajaran Kanwil Kemenkum HAM Bali di Kantor Desa Taro, Rabu siang.
Sedangkan terkait sanski adat, kata Ketut Subawa, tidak seseram yang dibayangkan. Jro Mangku Warka dan keluarganya hanya dibebaskan dari hak dan kewajibannya sejak tahun 2019. “Kami harap sejak saat itu mereka menyadari kesalahan. Tetapi, setelah 2 tahun, justru kembali berulah," jelas Subawa.
Namun demikian, Subawa membenarkan desa adat telah memutus saluran air swadaya dan aliran air irigasi Jro Mangku Warka. "Sebenarnya, 2 tahun ini kami sudah toleransi. Air itu dipakai, tapi tidak pernah kami tagih kewajiban pembayarannya. Namun, karena belum ada niat mematuhi awig-awig dan perarem, maka desa adat sepakat menutup itu (putus aliran air, Red)," katanya.
Subawa juga menyayangkan adanya pengakuan Jro Mangku Warka pasca pemutusan air swadaya, yang menyebut sekeluarga harus minum dan mandi dengan air tadah hujan. Subawa memastikan hal itu tidak benar. "Tidak benar itu. Tidak mungkin juga, karena mereka sudah punya sumur bor di warungnya," tandas Subawa.
Polemik ini diakui Subawa sudah membuat situasi di Desa Adat Taro Kelod kurang nyaman. Terlebih, di Desa Taro yang sudah cukup dikenal dengan beragam prestasi bidang lingkungan. Subawa pun berharap Jro Mangku Warka mau mengakui kesalahannya dan bergabung kembali dengan masyarakat.
Jro Mangku Warka sendiri sebelumnya mengakui keluarganya kena sanksi adat, gara-gara memperjuangkan kepemilikan tanahnya hingga dua kali menang perkara di pengadilan. Menurut Jro Mangku Warka, semua berawal ketika dia hendak memperjuangkan tanah leluhur seluas 21 are.
Jro Mangku Warka memiliki bukti kuat kepemilikan tanah. Selama ini, tanah tersebut ditempati oleh seorang warga. “Awalnya, masalah perkara pribadi dengan I Sabit cs. Setelah di ranah pengadilan, kami selaku penggugat pada tahun 2017 memenangkan perkara. Kami atas nama I Ketut Warka,” ujar Jro Mangku Warka di rumahnya kawasan Desa Adat Taro Kelod, Selasa (11/1) lalu.
Menurut Jro Mangku Warka, saat hendak mengeksekusi tanah tersebut, I Sabit melakukan upaya perlawanan di tingkat banding Pengadilan Tinggi (PT) Denpasar hingga kasasi di Mahkamah Agung (MA). “Di tingkat PT dan MA, kami kembali menang,” katanya.
Disebutkan, saat hendak mengeksekusi tanah tersebut, pihak Desa Adat Taro Kelod masuk. Konon, desa adat mengklaim bahwa dari 21 are tanah tersebut, 8 are di antaranya merupakan Pekarangan Desa (PKD). “Sampai di sana, desa adat menggugat kami di pengadilan. Saat sidang di PN Gianyar, kami kembali memenangkan perkara dengan putusan NO,” kenang Jro Mangku Warka.
Setelah menang pengadilan buat kedua kalinya itulah, kata Jro Mangku Warka, keluarganya dikenakan sanksi adat sejak tahun 2019. “Semua kewajiban saya, termasuk urunan, arah-arahan, dan apa pun bentuknya diskup desa adat. Intinya, kami dibebaskan.”
Saat sanksi adat sudah dijatuhkan, kata Jro Mangku Warka, Desa Adat Taro Kelod kembali menggugat dengan bukti baru. “Lagi-lagi, perkara itu dimenangkan saya dengan putusan NO,” jelas putra Jro Mangku Warka, Wayan Gede Kartika. Kemudian, per 10 Desember 2021 lalu, saluran air bersih ke rumah keluarga Jro Mangku Warka juga diputus. Ini masih disusul dengan disumbatnya saluran air irigasi yang mengaliri sawah keluarga Jro Mangku Warka. *nvi
Rombongan yang terjun minta klarifikasi ke prajuru Desa Adat Taro Kelod, Rabu pagi pukul 10.56 Wita, dipimpin Kepala Bidang HAM Kanwil Kemenkum HAM Bali, Rita Rusmarti. Menurut Rita Rusmarti, kedatangannya ke Desa Taro khusus untuk meminta penjelasan dari pihak prajuru Desa Adat Taro Kelod. Pasalnya, keluarga Jro Mangku Ketut Warka sebelumnya sempat mendatangi Kantor Pelayanan Komunikasi Masyarakat (Yankomas) Kemenkum HAM Bali di Denpasar, 6 Januari 2022 lalu.
"Kami punya Yankomas, siapa pun yang merasa terindikasi haknya terlanggar, boleh mengadukan ke kami. Nah, warga Desa Adat Taro Kelod ini (Jro Mangku Warka, Red) datang ke Yankomas tanggal 6 Januari 2022. Dia merasa didiskriminasi," jelas Rita Rusmarti.
Dugaan diskriminasi yang dimaksud, kata Rita, adalah dibebaskannya Jro Mangku Warka dari hak dan kewajiban sebagai krama adat, diberhentikan sebagai pamangku, diputus sambungan air swadaya, diputus saluran irigasi sawahnya, hingga pelarangan membuat sumur bor. "Kami juga menerima informasi bahwa yang bersangkutan terpaksa minum dan mandi memanfaatkan air tadah hujan. Hal ini yang ingin kami pastikan ke prajuru desa adat, agar bisa kami mediasi dan kemudian memberikan rekomendasi," tandas Rita.
Rita sendiri memastikan Kanwil Kemenkum HAM Bali tidak memihak siapa pun dalam kasus ini. "Kami bukan memutuskan salah benar. Kami memediasi. Kami punya kewajiban selaku tim Yankomas tidak boleh memihak," jelasnya.
Menurut Rita, setelah mendapatkan penjelasan dari prajuru Desa Adat Taro Kelod, pihaknya belum bisa memutuskan. Pihaknya sudah mencatat beberapa keinginan dari pihak desa adat. “Ini harus kita koordinasikan lagi dengan yang mengeluh didiskriminasi (Jro Mangku Warka). Harapan kami tetap mengupayakan damai," terang Rita.
Sementara itu, Bendesa Adat Taro Kelod, I Ketut Subawa, meluruskan bahwa berhentinya Jro Mangku Warka sebagai pamangku Pura Puseh adalah keinginan yang bersangkutan. Jadi, Jro Mangku Warka bukanh diberhentikan sebagai pamangku. "Dia yang mohon berhenti per tanggal 6 Desember 2016 lalu. Permintaan itu diajukan saat paruman sakral di Pura Puseh Bale Agung Desa Adat Taro Kelod,” ungkap Ketut Subawa seusai pertemuan dengan jajaran Kanwil Kemenkum HAM Bali di Kantor Desa Taro, Rabu siang.
Sedangkan terkait sanski adat, kata Ketut Subawa, tidak seseram yang dibayangkan. Jro Mangku Warka dan keluarganya hanya dibebaskan dari hak dan kewajibannya sejak tahun 2019. “Kami harap sejak saat itu mereka menyadari kesalahan. Tetapi, setelah 2 tahun, justru kembali berulah," jelas Subawa.
Namun demikian, Subawa membenarkan desa adat telah memutus saluran air swadaya dan aliran air irigasi Jro Mangku Warka. "Sebenarnya, 2 tahun ini kami sudah toleransi. Air itu dipakai, tapi tidak pernah kami tagih kewajiban pembayarannya. Namun, karena belum ada niat mematuhi awig-awig dan perarem, maka desa adat sepakat menutup itu (putus aliran air, Red)," katanya.
Subawa juga menyayangkan adanya pengakuan Jro Mangku Warka pasca pemutusan air swadaya, yang menyebut sekeluarga harus minum dan mandi dengan air tadah hujan. Subawa memastikan hal itu tidak benar. "Tidak benar itu. Tidak mungkin juga, karena mereka sudah punya sumur bor di warungnya," tandas Subawa.
Polemik ini diakui Subawa sudah membuat situasi di Desa Adat Taro Kelod kurang nyaman. Terlebih, di Desa Taro yang sudah cukup dikenal dengan beragam prestasi bidang lingkungan. Subawa pun berharap Jro Mangku Warka mau mengakui kesalahannya dan bergabung kembali dengan masyarakat.
Jro Mangku Warka sendiri sebelumnya mengakui keluarganya kena sanksi adat, gara-gara memperjuangkan kepemilikan tanahnya hingga dua kali menang perkara di pengadilan. Menurut Jro Mangku Warka, semua berawal ketika dia hendak memperjuangkan tanah leluhur seluas 21 are.
Jro Mangku Warka memiliki bukti kuat kepemilikan tanah. Selama ini, tanah tersebut ditempati oleh seorang warga. “Awalnya, masalah perkara pribadi dengan I Sabit cs. Setelah di ranah pengadilan, kami selaku penggugat pada tahun 2017 memenangkan perkara. Kami atas nama I Ketut Warka,” ujar Jro Mangku Warka di rumahnya kawasan Desa Adat Taro Kelod, Selasa (11/1) lalu.
Menurut Jro Mangku Warka, saat hendak mengeksekusi tanah tersebut, I Sabit melakukan upaya perlawanan di tingkat banding Pengadilan Tinggi (PT) Denpasar hingga kasasi di Mahkamah Agung (MA). “Di tingkat PT dan MA, kami kembali menang,” katanya.
Disebutkan, saat hendak mengeksekusi tanah tersebut, pihak Desa Adat Taro Kelod masuk. Konon, desa adat mengklaim bahwa dari 21 are tanah tersebut, 8 are di antaranya merupakan Pekarangan Desa (PKD). “Sampai di sana, desa adat menggugat kami di pengadilan. Saat sidang di PN Gianyar, kami kembali memenangkan perkara dengan putusan NO,” kenang Jro Mangku Warka.
Setelah menang pengadilan buat kedua kalinya itulah, kata Jro Mangku Warka, keluarganya dikenakan sanksi adat sejak tahun 2019. “Semua kewajiban saya, termasuk urunan, arah-arahan, dan apa pun bentuknya diskup desa adat. Intinya, kami dibebaskan.”
Saat sanksi adat sudah dijatuhkan, kata Jro Mangku Warka, Desa Adat Taro Kelod kembali menggugat dengan bukti baru. “Lagi-lagi, perkara itu dimenangkan saya dengan putusan NO,” jelas putra Jro Mangku Warka, Wayan Gede Kartika. Kemudian, per 10 Desember 2021 lalu, saluran air bersih ke rumah keluarga Jro Mangku Warka juga diputus. Ini masih disusul dengan disumbatnya saluran air irigasi yang mengaliri sawah keluarga Jro Mangku Warka. *nvi
1
Komentar