Negarawan, Tebar Seni, Penjaga Hindu Bali
Biografi ‘Laksana Manut Sasana’ Tjokorde Gde Rake Sukawati
Mossie Soekawati, demikian tuntutan itu dikenal, menuntut pemerintah kolonial agar melarang missie dan zending bekerja di Bali.
GIANYAR, NusaBali
Masyarakat Bali, apalagi kaum milenial, tak banyak yang tahu kalau Bali pernah punya krama menjadi presiden. Krama dimaksud yakni Tjokorde Gde Rake Soekawati (TGRS), meskipun bukan Presiden RI, tetapi Presiden Negara Indonesia Timur (NIT), 27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950. Putra Puri Agung Ubud ini tak hanya mahir di bidang pemerintahan kala itu, namun juga sangat dikenal sebagai peletak dasar pengenalan seni budaya Bali hingga terkenal di manca negara.
Tak kalah penting, TGRS juga salah seorang tokoh Bali yang menolak keras operasi missie (penyebaran agama Kristen Katolik) dan zending (penyebaran agama Kristen) di Bali. Bagian-bagian penting itu terungkap dalam buku ‘Laksana Manut Sasana (LMS)’ biografi Tjokorde Gde Rake Soekawati, Presiden NIT (Negara Indonesia Timur). Buku LMS diterbitkan Puri Agung Ubud melalui Yayasan Janahita Mandala Ubud, dan diluncurkan di Pura Saren Agung Ubud, Kelurahan/Kecamatan Ubud, Gianyar, Minggu (15/1) malam. Penulis buku Arya Suharja, I Gusti Agung Paramita, dan Cokorda Gde Bayu Putra.
TGRS lahir di Ubud pada Minggu Umanis Wuku Menail, tanggal 15 Januari 1899. Dia adalah putra kedua dari punggawa Ubud Tjokorde Gde Sukawati. Buku ini diterbitkan berangkat dari fenomena setiap kisah pergerakan nasional bahkan revolusi Indonesia, sadar atau tidak, hanya berkilas pada corak peristiwa simbolik yang seakan-akan diwakili oleh Batavia/Jakarta (Pergerakan Nasional Merdeka dan Proklamasi), Surabaya (simbol kepahlawanan) dan Yogyakarta (Ibu Kota Revolusi). Sesekali ada kisah tentang peristiwa di Medan (Revolusi Nasional) dan Bukittinggi (Pemerintah Darurat Republik Indonesia). Artinya, hanya Jawa dan sekadar tentang Sumatera yang menjadi perhatian. Kisah serupa yang lahir dari pergolakan di lain tempat, nyaris terlenyapkan.
Prof Dr AA Bagus Wirawan SU, guru besar Sejarah Universitas Udayana, dalam pengantar buku, menyebut fenomena itu dengan nada heran, ‘betapa ironis dan ketimpangan yang terjadi’. Akademisi asal Desa Gelgel,
Kecamatan Klungkung, Klungkung, menyatakan para penulis buku ini telah mewakili generasi kini. ‘’Artinya, buku ini tidak sekadar upaya memperkaya khasanah kesejarahan Tanah Air, tetapi juga mengisi ketimpangan yang serius dalam historiografi sosial,’’ tegasnya.
Menurutnya, buku LMS menggambarkan dua hal, pertama, penulis berusaha mengatasi kesusahan untuk memaknai sosok aktor yang pernah berperan dalam panggung sejarah Indonesia modern. Kedua, historiografi biografis ini menggugah kesadaran sejarah di kalangan generasi muda yang berpikiran jernih, ingin mengungkap kembali cerita yang masih ada celah-celahnya pada periode pergerakan Nasional dan revolusi Indonesia, sekaligus
ajakan untuk mengerti lagi aktor TGRS.
Dalam kajian Bagus Wirawan, TGRS adalah seorang diplomat, negarawan yang besar, seorang bangsawan ningrat yang merakyat. Dia mengambil peranan dalam sejarah Indonesia pada periode Pergerakan Nasional Modern dan periode Revolusi Indonesia. Dia berjuang dengan cara
diplomasi dalam bidang politik dan kebudayaan. Kemahiran dan kepiawaian berdiplomasi di bidang kebudayaan, melahirkan konsep diplomasi kebudayaan antar negara di tingkat dunia. TGRS ikut menguji dan memberi warna gambaran perjuangan bangsa ini serta ikut mempengaruhidialektika sejarah seperti yang dinamakan Indonesia ini.
Tokoh ini mungkin lebih dikenal sebagai seorang Presiden NIT, sebuah negara federal bentukan Belanda. Namun faktanya, pada masanya telah menjadi mitra seperjuangan dengan RI untuk memperoleh kedaulatan.
Fakta juga menunjukkan bahwa di saat-saat kritis, gagasan, kata dan lakunya ikut mempengaruhi jalannya sejarah perjuangan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sedangkan penulis menyepakati ‘Laksana Manut Sasana’ sebagaimana judul buku, adalah nilai anutan yang memuat nilai moral dan norma yang berlaku sebagai hukum bahwa pikiran, perkataan, perbuatan, dan sikap. Capaian ini pada diri seseorang mesti sesuai dengan predikat, jabatan,
ukuran dan norma-norma yang melekat pada pilihan profesi atau jabatan dalam tatanan masyarakat yang diamanatkan padanya. Nilai anutan kedua adalah hukum besi bahwa sejarah akan menilai apakah segala pemikiran,
perkataan, perbuatan, kedewasaan sikap dan capaian-capaiannya sesuai dengan amanat atau predikat yang disandang seseorang.
Catatan-catatan biografis dalam buku ini disusun dari hasil penelitian kepustakaan dan wawancara dari beberapa informan yang hidup sezaman. Selain itu, informan yang menyaksikan atau mendengar kisah tentang kiprah dan kehidupan sehari-hari TGRS. Ada juga keturunannya dan kesan dari tokoh-tokoh yang menyaksikan hasil perjuangannya yang dinikmati oleh generasi penerus.
Dalam kaitan Hindu Bali dan perkembangan industri pariwisata, setidaknya ada dua hal penting yang menjadi tonggak sejarah ketokohan TGRS. Pertama, misi kesenian Bali yang disponsori pemerintah kolonial dalam Expo Internasional Negeri-negeri jajahan di Paris 1931 (L'Exposition Internationale Coloniale de Paris 1931). Misi ini dipimpin salah satu peserta Kongres Pemoeda 1 1928 dan anggota Volksraad dari Bali, TGRS, sekaligus muhibah tim kesenian Bali pertama ke luar negeri. Muhibah ini bukan saja berhasil membentuk citra awal Bali sebagai destinasi pariwisata budaya yang tersohor di manca negara, melainkan juga berpengaruh besar berupa apresiasi masyarakat
dunia pada keunikan karakter arsitektur dan teater tradisional Bali.
Jejak pengaruhnya pada perkembangan teater klasik Barat dan perdebatan filsafat, khususnya pengaruh seni pertunjukan Calon Arang terhadap teater kontemporer Barat, dapat diikuti dari karya-karya Antonin Artaud dan para pendukungnya. Apresiasi masyarakat dunia, khususnya orang Eropa terhadap sukses misi kesenian Bali dan tampilan spektakuler anjungan Negeri Belanda menjadi milestone (tonggak pencapaian) penting bagi perkembangan pariwisata dan kebudayaan Bali di Abad XX.
Kedua, tujuh tahun sebelum Paris Expo, 24 Juli 1924 dalam sidang volksraad, parlemen Hindia Belanda, TGRS didukung kalangan orientalis, akademis, indolog dan seniman yang mencintai kebudayaan Bali, serta kalangan Bumiputera, mengajukan mossie menolak Evangelisasi terhadap masyarakat Bali. Mossie Soekawati, demikian tuntutan itu dikenal, menuntut pemerintah kolonial agar melarang missie dan zending bekerja di Bali.
TGRS terlibat polemik dengan Ketua Katholijke Volksraad Fractie (Fraksi Katolik di Volksraad) Van Helsdingen dan Pimpinan Christelijk-Ethische Partij PG Groenen dan misionaris Kristen, Hendrik Kraemer. TGRS membuka mata sidang volksraad dan pemerintah kolonial terhadap karakter, keluhuran budaya aksara dan capaian kebudayaan Bali yang luhur. Semua itu layak dilindungi dari usaha-usaha yang dapat membahayakan sendi-sendi dasar keberadaannya, yaitu nilai-nilai kebudayaan Bali yang berdasarkan agama Hindu. Mossie ini berhasil memperoleh dukungan mayoritas dalam sidang volksraad, dan memaksa pemerintah kolonial menerbitkan kebijakan Baliseering, yakni mengembangkan badan perlindungan kebudayaan Bali. *lsa
Masyarakat Bali, apalagi kaum milenial, tak banyak yang tahu kalau Bali pernah punya krama menjadi presiden. Krama dimaksud yakni Tjokorde Gde Rake Soekawati (TGRS), meskipun bukan Presiden RI, tetapi Presiden Negara Indonesia Timur (NIT), 27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950. Putra Puri Agung Ubud ini tak hanya mahir di bidang pemerintahan kala itu, namun juga sangat dikenal sebagai peletak dasar pengenalan seni budaya Bali hingga terkenal di manca negara.
Tak kalah penting, TGRS juga salah seorang tokoh Bali yang menolak keras operasi missie (penyebaran agama Kristen Katolik) dan zending (penyebaran agama Kristen) di Bali. Bagian-bagian penting itu terungkap dalam buku ‘Laksana Manut Sasana (LMS)’ biografi Tjokorde Gde Rake Soekawati, Presiden NIT (Negara Indonesia Timur). Buku LMS diterbitkan Puri Agung Ubud melalui Yayasan Janahita Mandala Ubud, dan diluncurkan di Pura Saren Agung Ubud, Kelurahan/Kecamatan Ubud, Gianyar, Minggu (15/1) malam. Penulis buku Arya Suharja, I Gusti Agung Paramita, dan Cokorda Gde Bayu Putra.
TGRS lahir di Ubud pada Minggu Umanis Wuku Menail, tanggal 15 Januari 1899. Dia adalah putra kedua dari punggawa Ubud Tjokorde Gde Sukawati. Buku ini diterbitkan berangkat dari fenomena setiap kisah pergerakan nasional bahkan revolusi Indonesia, sadar atau tidak, hanya berkilas pada corak peristiwa simbolik yang seakan-akan diwakili oleh Batavia/Jakarta (Pergerakan Nasional Merdeka dan Proklamasi), Surabaya (simbol kepahlawanan) dan Yogyakarta (Ibu Kota Revolusi). Sesekali ada kisah tentang peristiwa di Medan (Revolusi Nasional) dan Bukittinggi (Pemerintah Darurat Republik Indonesia). Artinya, hanya Jawa dan sekadar tentang Sumatera yang menjadi perhatian. Kisah serupa yang lahir dari pergolakan di lain tempat, nyaris terlenyapkan.
Prof Dr AA Bagus Wirawan SU, guru besar Sejarah Universitas Udayana, dalam pengantar buku, menyebut fenomena itu dengan nada heran, ‘betapa ironis dan ketimpangan yang terjadi’. Akademisi asal Desa Gelgel,
Kecamatan Klungkung, Klungkung, menyatakan para penulis buku ini telah mewakili generasi kini. ‘’Artinya, buku ini tidak sekadar upaya memperkaya khasanah kesejarahan Tanah Air, tetapi juga mengisi ketimpangan yang serius dalam historiografi sosial,’’ tegasnya.
Menurutnya, buku LMS menggambarkan dua hal, pertama, penulis berusaha mengatasi kesusahan untuk memaknai sosok aktor yang pernah berperan dalam panggung sejarah Indonesia modern. Kedua, historiografi biografis ini menggugah kesadaran sejarah di kalangan generasi muda yang berpikiran jernih, ingin mengungkap kembali cerita yang masih ada celah-celahnya pada periode pergerakan Nasional dan revolusi Indonesia, sekaligus
ajakan untuk mengerti lagi aktor TGRS.
Dalam kajian Bagus Wirawan, TGRS adalah seorang diplomat, negarawan yang besar, seorang bangsawan ningrat yang merakyat. Dia mengambil peranan dalam sejarah Indonesia pada periode Pergerakan Nasional Modern dan periode Revolusi Indonesia. Dia berjuang dengan cara
diplomasi dalam bidang politik dan kebudayaan. Kemahiran dan kepiawaian berdiplomasi di bidang kebudayaan, melahirkan konsep diplomasi kebudayaan antar negara di tingkat dunia. TGRS ikut menguji dan memberi warna gambaran perjuangan bangsa ini serta ikut mempengaruhidialektika sejarah seperti yang dinamakan Indonesia ini.
Tokoh ini mungkin lebih dikenal sebagai seorang Presiden NIT, sebuah negara federal bentukan Belanda. Namun faktanya, pada masanya telah menjadi mitra seperjuangan dengan RI untuk memperoleh kedaulatan.
Fakta juga menunjukkan bahwa di saat-saat kritis, gagasan, kata dan lakunya ikut mempengaruhi jalannya sejarah perjuangan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sedangkan penulis menyepakati ‘Laksana Manut Sasana’ sebagaimana judul buku, adalah nilai anutan yang memuat nilai moral dan norma yang berlaku sebagai hukum bahwa pikiran, perkataan, perbuatan, dan sikap. Capaian ini pada diri seseorang mesti sesuai dengan predikat, jabatan,
ukuran dan norma-norma yang melekat pada pilihan profesi atau jabatan dalam tatanan masyarakat yang diamanatkan padanya. Nilai anutan kedua adalah hukum besi bahwa sejarah akan menilai apakah segala pemikiran,
perkataan, perbuatan, kedewasaan sikap dan capaian-capaiannya sesuai dengan amanat atau predikat yang disandang seseorang.
Catatan-catatan biografis dalam buku ini disusun dari hasil penelitian kepustakaan dan wawancara dari beberapa informan yang hidup sezaman. Selain itu, informan yang menyaksikan atau mendengar kisah tentang kiprah dan kehidupan sehari-hari TGRS. Ada juga keturunannya dan kesan dari tokoh-tokoh yang menyaksikan hasil perjuangannya yang dinikmati oleh generasi penerus.
Dalam kaitan Hindu Bali dan perkembangan industri pariwisata, setidaknya ada dua hal penting yang menjadi tonggak sejarah ketokohan TGRS. Pertama, misi kesenian Bali yang disponsori pemerintah kolonial dalam Expo Internasional Negeri-negeri jajahan di Paris 1931 (L'Exposition Internationale Coloniale de Paris 1931). Misi ini dipimpin salah satu peserta Kongres Pemoeda 1 1928 dan anggota Volksraad dari Bali, TGRS, sekaligus muhibah tim kesenian Bali pertama ke luar negeri. Muhibah ini bukan saja berhasil membentuk citra awal Bali sebagai destinasi pariwisata budaya yang tersohor di manca negara, melainkan juga berpengaruh besar berupa apresiasi masyarakat
dunia pada keunikan karakter arsitektur dan teater tradisional Bali.
Jejak pengaruhnya pada perkembangan teater klasik Barat dan perdebatan filsafat, khususnya pengaruh seni pertunjukan Calon Arang terhadap teater kontemporer Barat, dapat diikuti dari karya-karya Antonin Artaud dan para pendukungnya. Apresiasi masyarakat dunia, khususnya orang Eropa terhadap sukses misi kesenian Bali dan tampilan spektakuler anjungan Negeri Belanda menjadi milestone (tonggak pencapaian) penting bagi perkembangan pariwisata dan kebudayaan Bali di Abad XX.
Kedua, tujuh tahun sebelum Paris Expo, 24 Juli 1924 dalam sidang volksraad, parlemen Hindia Belanda, TGRS didukung kalangan orientalis, akademis, indolog dan seniman yang mencintai kebudayaan Bali, serta kalangan Bumiputera, mengajukan mossie menolak Evangelisasi terhadap masyarakat Bali. Mossie Soekawati, demikian tuntutan itu dikenal, menuntut pemerintah kolonial agar melarang missie dan zending bekerja di Bali.
TGRS terlibat polemik dengan Ketua Katholijke Volksraad Fractie (Fraksi Katolik di Volksraad) Van Helsdingen dan Pimpinan Christelijk-Ethische Partij PG Groenen dan misionaris Kristen, Hendrik Kraemer. TGRS membuka mata sidang volksraad dan pemerintah kolonial terhadap karakter, keluhuran budaya aksara dan capaian kebudayaan Bali yang luhur. Semua itu layak dilindungi dari usaha-usaha yang dapat membahayakan sendi-sendi dasar keberadaannya, yaitu nilai-nilai kebudayaan Bali yang berdasarkan agama Hindu. Mossie ini berhasil memperoleh dukungan mayoritas dalam sidang volksraad, dan memaksa pemerintah kolonial menerbitkan kebijakan Baliseering, yakni mengembangkan badan perlindungan kebudayaan Bali. *lsa
Komentar