Terakhir Dipentaskan Tahun 1950, Nyaris Punah, Lalu Direkonstruksi pada 2014
Kesenian Sakral Joged Nini dari Desa Adat Buruan, Kecamatan Penebel yang Baru Ditetapkan Jadi WBTB Nasional
Jumlah penari Joged Nini mencapai 11 orang, dibatasi hanya kaum deha sari (gadis perawan yang belum menstruasi. Mereka akan mengenakan tapih (selendang) putih-kuning, sementara di bagian kepala disumpangkan sehelai padi
TABANAN, NusaBali
Di Kabupaten Tabanan terdapat sejumlah tradisi ritual dan kesenian sakral, yang diwarisi secara turun temurun. Salah satunya, kesenian Joged Nini (Rejang Nini), tarian sakral pengiring upacara di Desa Adat Buruan, Desa Buruan, Kecamatan Penebel, Tabanan. Kesenian sakral Joged Nini ini sempat punah setelah terakhir kali digelar secara utuh tahun 1950, sebelum kemudian direkontruksi kembali oleh kader Peles-tari Budaya Tabanan.
Kesenian Joged Nini adalah kesenian yang tergolong ritus terkait dengan panen raya. Saat pentas, Joged Nini diiringi musik tradisional tingklik dan gegendingan. Joged Nini dipentaskan sebagai ungkapan rasa syukur dan sukacita petani atas keberhasilan panen dan keselamatan krama. Secara filosofis, ritus ini dapat dimaknai sebagai upaya memelihara persatuan dan kesatuan masyarakat, serta pengikat tali persaudaraan dan gotong royong.
Koordinator Tim Pengkaji dan Peneliti Joged Nini, I Gede Arum Gunawan, mengatakan kesenian Joged Nini memang berasal dari Desa Adat Buruan, Kecamatan Penebel. Pementasan Joged Nini biasanya dilakukan saat upacara Ngusaba Nini di Pura Puseh, Desa Adat Buruan.
Namun, terakhir kali pementasan Joged Nini dilaksanakan secara utuh di Pura Puseh, Desa Adat Buruan sekitar tahun 1950. “Kalau merujuk dari teks sastra, seharusnya tradisi Joged Nini dilaksanakan minimal 10 tahun sekali. Tetapi, nyatanya Desa Adat Buruan belum pernah lagi melaksanakan tradisi Joged Nini sejak pementasan terakhir tahun 1950,” jelas Gede Arum Gunawan saat ditemui NusaBali di rumah kediamannya kawasan Banjar Buruan Tengah, Desa Buruan, beberapa waktu lalu.
Gede Arum menyebutkan, mengingat aset budaya ini terancam punah dan nyaris tak pernah digelar atau tak diketahui kalangan generasi muda, maka dilakukanlah upoaya rekonstruksi Tradisi Joged Nini. Menurut Gede Arum, pada tahun 2010 lalu dirinya bersama kader Pelestari Budaya Tabanan dan Provinsi Bali bertekad untuk membangkitkan ritus Joged Nini tersebut.
Akhirnya, Gede Arum bersama 11 orang anggota tim pengkaji melakukan kajian dan penelitian Joged Nini, dengan mencari narasumber panglingsir yang ada di Desa Adat Buruan. Kebetulan, kakeknya sendiri, I Wayan Serada, seorang budayawan dan rohaniawan di Desa Adat Buruan, ingat betul pementasan terakhir Joged Nini sekitar tahun 1950.
Sesuai penuturan kakeknya yakni Wayan Serada, kata Gede Arum, tradisi Joged Nini masih dilaksanakan secara rutin oleh krama Desa Adat Buruan pada awal-awal Kemerdekaan RI tahun 1950. Namun, seiring dengan perkembangan politik dan pergeseran profesi masyarakat, kesenian Joged Nini kemudian nyaris punah. Krama Desa Adat Buruan mulai meninggalkan profesi sebagai petani dan beralih menekuni profesi lainnya.
“Alih profesi itulah yang menjadi salah satu faktor penyebab mulai ditinggalkan kesenian oleh masyarakat,” terang Gede Arum. “Dalam penelitian yang kita lakukan, ternyata banyak tetua di Desa Adat Buruan yang masih mengingat Tradisi Joged Nini, namun ingatan mereka samar-samar. Untungnya, kakek saya (Wayan Serada, Red) ingat betul pelaksanaannya, karena waktu itu beliau masih muda dan baru menikah,” lanjut Gede Arum, yang kesehariannya adalah PNS di lingkungan Dinas Kebudayaan Provinsi Bali.
Nah, dari ingatan yang dirangkum oleh sejumlah narasumber di Desa Adat Buruan tersebut, tim pengkaji kemudian mencoba lakukan rekontruksi Joged Nini. Setelah melalui proses panjang dan persiapan yang rumit, akhirnya Joged Nini baru berhasil direkontruksi tahun 2014. “Dalam proses rekontruksi ini sudah lengkap tertuang mulai dari kajian hukum hingga film dokumenternya,” beber Gede Arum.
Gede Arum mengatakan, setelah direkontruksi Joged Nini selesai, Tim Pelestari Budaya langsung memperkenalkan kesenian sakral tersebut kepada krama Desa Adat Buruan. Sejak diperkenalkan kembali, Desa Adat Buruan dan sejumlah krama mulai ada kesadaran untuk kembali melaksanakan tradisi Joged Nini ini. Meski demikian, ada juga sebagian masyarakat yang belum sadar akan pentingnya membangkitan kembali tradisi Joged Nini.
“Kendalanya, sesuai dengan hasil koordinasi dengan adat, mencari momentum kapan dilaksanakan kembali tradisi Joged Nini ini, masih perlu didiskusikan. Tujuan kita memang ingin membangkitkan, karena Tradisi Joged Nini ini adalah aset dan kekayaan desa dari segi budaya,” katanya.
Menurut Gede Arum, proses rekontruksi Joged Nini cukup panjang. Dimulai dengan upacara Mendak Nini. Ada pun nini yang dimaksud di sini adalah helai padi yang diambil dari sawah, dengan jumlah masing-masing 108 katih lanang dan istri. Nini ini kemudian dibawa ke tempat dilaksanakan ritual di Pura Puseh, Desa Adat Buruan---tepatnya di depan Palinggih Gaduh.
Kemudian, dilanjutkan dengan ritual Mendak Nini dari Palinggih Gaduh untuk dibawa ke Jineng Pura. Dalam proses Mendak Nini dari Palinggih Gaduh ke Jineng Pura, dipentaskanlah Tari Joged Nini (Rejang Nini) dengan diiringi gambelan tingklik dan Gending Nini.
Jumlah penari Joged Nini adalah 11 orang, dibatasi hanja kaum deha sari, yakni gadis perawan yang belum menstruasi. Mereka akan mengenakan tapih (selendang) putih-kuning dan di bagian kepala disumpangkan 1 helai padi. “Jadi, dalam proses Mendak Nini ini, sembari menari akan dilengkapi dengan gending nini dan diiringi musik tingklik,” papar lulusan Magister Brahmawidya IHDN Denpasar ini.
Setelah itu, prosesi ritual dilanjutkan dengan tahapan ketiga berupa Ngider Bhuana (Murwa Daksina), yakni mengelilingi Palinggih Jineng sebanyak 3 kali searah jarum jam. Dalam prosesi ini, para penari Joged Nini berjalan mundur agar mereka tetap berhadapan dengan Dewasa Nini---orang yang melaksanakan prosesi Murwa Daksina.
Usai prosesi Ngider Bhuana, kata Gede Arum, dilanjutkan dengan ritual Munggah Nini, yakni menaikkan nini ke Palinggih Jineng sambil ngunda. Selesai prosesi tersebut, barulah digelar mejogedan. Siapa pun dibolehkan ikut mejogedan.
Namun, mereka yang ikut berjogedan dilarang bersentuhan satu sama lain. Tarian mejogedan ini tidak ada pakemnya, bisa dilakukan dengan gerak otodidak. Ritual mejogedan ini dilengkapi dengan mewewangsalan (berpantun) oleh krama, di mana mereka saling sahut menyahuti. Proses inilah yang disebut dengan Mejogedan Nini. “Artinya, dalam proses mejogedan ini, kita sebagai krama bersukacita dan berbahagia atas panen,” tandas Gede Arum.
Begitu proses Mejogedan Nini selesai, maka krama Desa Adat Buruan kemudian menghaturkan segehan agung. “Terakhir, ritual dilanjutkan dengan prosesi magibung di Pura Puseh, kemudian mudalang (mengiringi pulang) Ida Bhatara Nini ke masing-masing rumah krama Desa Adat Buruan.”
Gede Arum menyebutkan, ada tiga fungsi dari Tradisi Joged Nini. Pertama, fungsi upacara, di mana dalam prosesi ini diiringi dengan tari wali untuk mengiri Bhatari Sri atau Dewasa Nini naik ke atas Palinggih Gaduh di Pura Puseh. Harapannya, bisa memberikan kesejahteraan.
Kedua, Tradisi Joged Nini berfungsi sebagai tolak bala. Dengan digelarnya Tradisi Joged Nini, diharapkan panen berikutnya dijauhkan dari hama. Ketiga, fungsi sosial, sebagai ajang para petani melepas lelah. Sebab, dalam Tradisi Joged Nini tersebut, ada acara hiburan mejogedan, berpantun, dan magibung untuk membangkitkan ikatan sosial.
“Seluruh rentetan ini kita sudah sosialiasikan ke krama Desa Adat Buruan. Rencananya, kami akan gelar workshop sebulan sekali kepada seluruh krama Desa Adat Buruan,” jelas Gede Arum, tokoh yang juga menjabat sebagai Ketua Widya Shaba Tabanan.
Kesenian Joged Nini sendiri sudah ditetapkan pemerintah pusat sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Nasional tahun 2021. Secara keseluruhan, ada 19 objek tradisi budaya dari Bali yang ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) sebagai WBTB Nasional, 30 Oktober 2021 lalu.
Dari 19 item kebudayaan yang ditetapkan menjadi WBTB Nasional tahun 2021 tersebut, terbanyak berada di Kabupaten Karangasem, yakni 6 objek. Sedangkan dari Tabanan hanya satu objek tradisi budaya yang ditetapkan menjadfi WBTB Nasional tahun 202, yakni Tradisi Joged Nini ini. *des
Kesenian Joged Nini adalah kesenian yang tergolong ritus terkait dengan panen raya. Saat pentas, Joged Nini diiringi musik tradisional tingklik dan gegendingan. Joged Nini dipentaskan sebagai ungkapan rasa syukur dan sukacita petani atas keberhasilan panen dan keselamatan krama. Secara filosofis, ritus ini dapat dimaknai sebagai upaya memelihara persatuan dan kesatuan masyarakat, serta pengikat tali persaudaraan dan gotong royong.
Koordinator Tim Pengkaji dan Peneliti Joged Nini, I Gede Arum Gunawan, mengatakan kesenian Joged Nini memang berasal dari Desa Adat Buruan, Kecamatan Penebel. Pementasan Joged Nini biasanya dilakukan saat upacara Ngusaba Nini di Pura Puseh, Desa Adat Buruan.
Namun, terakhir kali pementasan Joged Nini dilaksanakan secara utuh di Pura Puseh, Desa Adat Buruan sekitar tahun 1950. “Kalau merujuk dari teks sastra, seharusnya tradisi Joged Nini dilaksanakan minimal 10 tahun sekali. Tetapi, nyatanya Desa Adat Buruan belum pernah lagi melaksanakan tradisi Joged Nini sejak pementasan terakhir tahun 1950,” jelas Gede Arum Gunawan saat ditemui NusaBali di rumah kediamannya kawasan Banjar Buruan Tengah, Desa Buruan, beberapa waktu lalu.
Gede Arum menyebutkan, mengingat aset budaya ini terancam punah dan nyaris tak pernah digelar atau tak diketahui kalangan generasi muda, maka dilakukanlah upoaya rekonstruksi Tradisi Joged Nini. Menurut Gede Arum, pada tahun 2010 lalu dirinya bersama kader Pelestari Budaya Tabanan dan Provinsi Bali bertekad untuk membangkitkan ritus Joged Nini tersebut.
Akhirnya, Gede Arum bersama 11 orang anggota tim pengkaji melakukan kajian dan penelitian Joged Nini, dengan mencari narasumber panglingsir yang ada di Desa Adat Buruan. Kebetulan, kakeknya sendiri, I Wayan Serada, seorang budayawan dan rohaniawan di Desa Adat Buruan, ingat betul pementasan terakhir Joged Nini sekitar tahun 1950.
Sesuai penuturan kakeknya yakni Wayan Serada, kata Gede Arum, tradisi Joged Nini masih dilaksanakan secara rutin oleh krama Desa Adat Buruan pada awal-awal Kemerdekaan RI tahun 1950. Namun, seiring dengan perkembangan politik dan pergeseran profesi masyarakat, kesenian Joged Nini kemudian nyaris punah. Krama Desa Adat Buruan mulai meninggalkan profesi sebagai petani dan beralih menekuni profesi lainnya.
“Alih profesi itulah yang menjadi salah satu faktor penyebab mulai ditinggalkan kesenian oleh masyarakat,” terang Gede Arum. “Dalam penelitian yang kita lakukan, ternyata banyak tetua di Desa Adat Buruan yang masih mengingat Tradisi Joged Nini, namun ingatan mereka samar-samar. Untungnya, kakek saya (Wayan Serada, Red) ingat betul pelaksanaannya, karena waktu itu beliau masih muda dan baru menikah,” lanjut Gede Arum, yang kesehariannya adalah PNS di lingkungan Dinas Kebudayaan Provinsi Bali.
Nah, dari ingatan yang dirangkum oleh sejumlah narasumber di Desa Adat Buruan tersebut, tim pengkaji kemudian mencoba lakukan rekontruksi Joged Nini. Setelah melalui proses panjang dan persiapan yang rumit, akhirnya Joged Nini baru berhasil direkontruksi tahun 2014. “Dalam proses rekontruksi ini sudah lengkap tertuang mulai dari kajian hukum hingga film dokumenternya,” beber Gede Arum.
Gede Arum mengatakan, setelah direkontruksi Joged Nini selesai, Tim Pelestari Budaya langsung memperkenalkan kesenian sakral tersebut kepada krama Desa Adat Buruan. Sejak diperkenalkan kembali, Desa Adat Buruan dan sejumlah krama mulai ada kesadaran untuk kembali melaksanakan tradisi Joged Nini ini. Meski demikian, ada juga sebagian masyarakat yang belum sadar akan pentingnya membangkitan kembali tradisi Joged Nini.
“Kendalanya, sesuai dengan hasil koordinasi dengan adat, mencari momentum kapan dilaksanakan kembali tradisi Joged Nini ini, masih perlu didiskusikan. Tujuan kita memang ingin membangkitkan, karena Tradisi Joged Nini ini adalah aset dan kekayaan desa dari segi budaya,” katanya.
Menurut Gede Arum, proses rekontruksi Joged Nini cukup panjang. Dimulai dengan upacara Mendak Nini. Ada pun nini yang dimaksud di sini adalah helai padi yang diambil dari sawah, dengan jumlah masing-masing 108 katih lanang dan istri. Nini ini kemudian dibawa ke tempat dilaksanakan ritual di Pura Puseh, Desa Adat Buruan---tepatnya di depan Palinggih Gaduh.
Kemudian, dilanjutkan dengan ritual Mendak Nini dari Palinggih Gaduh untuk dibawa ke Jineng Pura. Dalam proses Mendak Nini dari Palinggih Gaduh ke Jineng Pura, dipentaskanlah Tari Joged Nini (Rejang Nini) dengan diiringi gambelan tingklik dan Gending Nini.
Jumlah penari Joged Nini adalah 11 orang, dibatasi hanja kaum deha sari, yakni gadis perawan yang belum menstruasi. Mereka akan mengenakan tapih (selendang) putih-kuning dan di bagian kepala disumpangkan 1 helai padi. “Jadi, dalam proses Mendak Nini ini, sembari menari akan dilengkapi dengan gending nini dan diiringi musik tingklik,” papar lulusan Magister Brahmawidya IHDN Denpasar ini.
Setelah itu, prosesi ritual dilanjutkan dengan tahapan ketiga berupa Ngider Bhuana (Murwa Daksina), yakni mengelilingi Palinggih Jineng sebanyak 3 kali searah jarum jam. Dalam prosesi ini, para penari Joged Nini berjalan mundur agar mereka tetap berhadapan dengan Dewasa Nini---orang yang melaksanakan prosesi Murwa Daksina.
Usai prosesi Ngider Bhuana, kata Gede Arum, dilanjutkan dengan ritual Munggah Nini, yakni menaikkan nini ke Palinggih Jineng sambil ngunda. Selesai prosesi tersebut, barulah digelar mejogedan. Siapa pun dibolehkan ikut mejogedan.
Namun, mereka yang ikut berjogedan dilarang bersentuhan satu sama lain. Tarian mejogedan ini tidak ada pakemnya, bisa dilakukan dengan gerak otodidak. Ritual mejogedan ini dilengkapi dengan mewewangsalan (berpantun) oleh krama, di mana mereka saling sahut menyahuti. Proses inilah yang disebut dengan Mejogedan Nini. “Artinya, dalam proses mejogedan ini, kita sebagai krama bersukacita dan berbahagia atas panen,” tandas Gede Arum.
Begitu proses Mejogedan Nini selesai, maka krama Desa Adat Buruan kemudian menghaturkan segehan agung. “Terakhir, ritual dilanjutkan dengan prosesi magibung di Pura Puseh, kemudian mudalang (mengiringi pulang) Ida Bhatara Nini ke masing-masing rumah krama Desa Adat Buruan.”
Gede Arum menyebutkan, ada tiga fungsi dari Tradisi Joged Nini. Pertama, fungsi upacara, di mana dalam prosesi ini diiringi dengan tari wali untuk mengiri Bhatari Sri atau Dewasa Nini naik ke atas Palinggih Gaduh di Pura Puseh. Harapannya, bisa memberikan kesejahteraan.
Kedua, Tradisi Joged Nini berfungsi sebagai tolak bala. Dengan digelarnya Tradisi Joged Nini, diharapkan panen berikutnya dijauhkan dari hama. Ketiga, fungsi sosial, sebagai ajang para petani melepas lelah. Sebab, dalam Tradisi Joged Nini tersebut, ada acara hiburan mejogedan, berpantun, dan magibung untuk membangkitkan ikatan sosial.
“Seluruh rentetan ini kita sudah sosialiasikan ke krama Desa Adat Buruan. Rencananya, kami akan gelar workshop sebulan sekali kepada seluruh krama Desa Adat Buruan,” jelas Gede Arum, tokoh yang juga menjabat sebagai Ketua Widya Shaba Tabanan.
Kesenian Joged Nini sendiri sudah ditetapkan pemerintah pusat sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Nasional tahun 2021. Secara keseluruhan, ada 19 objek tradisi budaya dari Bali yang ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) sebagai WBTB Nasional, 30 Oktober 2021 lalu.
Dari 19 item kebudayaan yang ditetapkan menjadi WBTB Nasional tahun 2021 tersebut, terbanyak berada di Kabupaten Karangasem, yakni 6 objek. Sedangkan dari Tabanan hanya satu objek tradisi budaya yang ditetapkan menjadfi WBTB Nasional tahun 202, yakni Tradisi Joged Nini ini. *des
Komentar