Badung Tolak LPD 'Diikat' Menggunakan Perda
Pansus Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Lembaga Perkreditan Desa (LPD) DPRD Bali terjun menyerap aspirasi masing-masing LPD se-Kabupaten Badung, Selasa (21/2).
Badung Tolak LPD ‘Diikat’ Menggunakan Perda
MANGUPURA, NusaBali
Menariknya, dalam serap aspirasi yang digelar di Ruang Kreta Gosana Pusat Pemerintahan (Puspem) Badung kemarin, kalangan bendesa adat menolak LPD diatur dengan Perda.
Acara sosialisasi Ranperda LPD di Badung, Selasa kemarin, dipimpin langsung Ketua Pansus Ranperda LPD DPRD Bali, Nyoman Parta. Sosialisasi dihadiri pula Wakil Bupati Badung Ketut Suiasa, utusan Majelis Madya Desa Pakraman (MMDP) Kabupaten Badung, para bendesa adat (kelian desa pakraman), para pengurus LPD dan Badan Pengawas LPD se-Kabupaten Badung.
Salah satu poin penolakan dari para bendesa adat se-Badung adalah adanya intervensi Perda dalam pengelolaan LPD. Misalnya, soal batasan umur Ketua LPD yang dibatasi maksimal 60 tahun, lalu pungutan dana pembinaan 5 persen, dan sejumlah aturan lainnya yang dianggap melemahkan keberadaan LPD itu sendiri.
Para bendesa adat dan pengurus LPD se-Badung yang hadir dalam acara sosialisasi kemarin justru mendesak agar LPD diatur dengan hukum adat di masing-masing desa pakraman, bukannya ‘diikat’ lewat Perda. Bendesa Pakraman Kutuh, Kecamatan Kuta Selatan, I Made Wena, menyatakan pihaknya sudah melakukan paruman, yang hasilnya meminta LPD harus diatur berdasarkan aturan adat.
“Kami bendesa adat di Badung sudah menggelar paruman. Intinya, LPD hanya akan tunduk pada hukum adat. Jadi, ngapain kepala daerah mengatur LPD dengan membatasi umur Ketua LPD maksimal sampai 60 tahun?” tandas Made Wena saat menyampaikan aspirasinya di acara sosialisasi Ranperda LPD kemarin.
Menurut Made Wena, kembalikan saja pengaturan LPD ke masing-masing desa adat. Sebab, dengan adanya campur tangan pemerintah lewat Perda, justru akan melemahkan keberadaan LPD sebagai lembaga keuangan berbasis adat.
Paparan senada juga disampaikan Ketua LPD Kedonganan, Kecamatan Kuta Selatan, Badung, I Made Madra. Menurut Made Madra, LPD sudah jelas harus diatur desa adat. “Kami berharap Perda mengakui dan menegaskan kepemilikan LPD terkait hukum adat. Jangan Perda malah mengatur LPD,” sergah Madra.
Madra juga mempertanyakan soal setoran 5 persen yang digunakan sebagai dana pembinaan. Sebab, sejauh ini kalau memang ada pembinaan, mestinya dananya dari pemerintah, bukan malah memungut ke LPD. “Soal pungutan 5 persen ini, kalau di sekolah melarang pungutan, tapi kok di sini melegalkan pungutan?” sindirnya. “Yang jelas, selama ini masalah LPD muncul karena pengurus dan prajuru adat tidak sinergi. Jadi, mari satukan bahwa LPD itu milik desa adat,” lanjut Madra.
Sedangkan Badan Pengawas LPD Desa Pakraman Pecatu, Kecamatan Kuta Selatan, I Made Widiada, sangat menyayangkan Ranperda LPD sudah hampir rampung, barulah Pansus melakukan sosialisasi dan serap aspirasi ke Badung. “Pokoknya, kami tetap minta LPD harus berdasar hukum adat. Kalau sampai Ranperda ini disahkan, kami pasti gugat,” ancam Made Widiana.
Menyikapi penolakan para bendesa adat untuk mengatur LPD dengan Perda tersebut, anggota Pansus Ranperda LPD DPRD Bali, I Wayan Rawan Atmaja, menyatakan Pansus akan mempertimbahkannya dan menyerap semua aspirasi yang berkembang di daerah. “Semua kita serap. Mudah-mudahan, masukan dari Badung ini bisa dipakai untuk kesempurnaan perda ini,” tegas anggota Fraksi Golkar DPRD Bali Dapil Badung ini.
Sedangkan Ketua Pansus Ranperda LPD DPRD Bali, Nyoman Parta, menyatakan Ranperda ini rencananya akan ditetapkan menjadi Perda LPD, 6 Maret 2017 mendatang. Menurut Parta, pihaknya sudah menyerap aspirasi di 7 kabupaten lainnya se-Bali, yakni Buleleng, Tabanan, Jembrana, Bangli, Karangasem, Klungkung, dan Gianyar. Sedangkan sosialisasi di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung baru digelar Selasa kemarin.
“Dari 7 daerah yang kami kunjungi, aspirasinya berbeda-beda. Nah, aspirasi inilah yang akan kami jadikan rujukan untuk penyempurnaan perda,” tandas politisi PDIP asal Desa Guwang, Kecamatan Sukaswati, Gianyar ini.
Mengenai ancaman gugatan jika Perda LPD disahkan, Parta tidak memasalahkannya. “Silakan saja digugat, kami siap. Yang jelas, kami ingin mengatur LPD untuk kepentingan rakyat Bali secara menyeluruh,” tandas Parta yang juga Ketua Komisi IV DPRD Bali (membidangi pendidikan, seni, adat, budaya).
Dikonfirmasi NusaBali secara terpisah, Selasa kemarin, Ketua MMDP Kabupaten Badung, IB Anom, menegaskan pihaknya menginginkan LPD berjalan normal seperti sekarang. pasalnya, keberadaan LPD merupakan milik desa adat. “Saya memang tidak bisa hadir dalam acara sosialisasi di Badng tadi. Kami menghormati aturan yang dibikin pemerintah. Tapi, kami tetap menginginkan yang seperti sekarang saja,” tandas IB Anom.
Soal setoran 5 persen yang dimasalahkan LPD di Badung, IB Anom menjawab normatif. “Harus diperjelas dulu setoran 5 persen itu untuk apa? Kami kan juga perlu tahu. Kalau memang untuk pembinaan, harus betul-betul dimaksimalkan, jangan sampai ada (LPD) yang kesulitan atau bangkrut,” ujar Bendesa Pakraman Mengwi, Kecamatan mengwi, Badung ini
Menenai LPD yang diputuskan akan diaudit tim independen setiap tahun, IB Anom tidak memasalahkannya. “Kalau saya setuju, sepanjang itu memang untuk kebaikan LPD. Tak ada masalah,” katanya. Tapi, dia mengingatkan sebetulnya sudah ada Dewan Pengawas LPD yang secara internal mengawasai apa pun yang berkaitan dengan keberadaan LPD.
Bagaimana dengan bendesa adat otomatis menjadi Ketua Pengawas LPD? “Tidak apa-apa. Saya sendiri kan sebagai Dewan Pengawas LPD. Seperti kami-kami ini yang tua-tua kan tidak mengerti tentang lembaga keuangan, jadi perlu diserahkan kepada yang lebih mengerti untuk duduk sebagai Ketua LPD. Tugas kami hanya melakukan pengawasan saja. Yang terpenting, kerjasama yang bagus antara Ketua LPD dan Pengawas, sehingga LPD bisa berkembang,” katanya. Sekadar diketahui, di Badung saat ini ada 122 LPD. dari jumlah itu, 79 LPD masuk kategori sehat, sisanya ada yang cukup sehat sampai yang tidak sehat. * asa
Komentar