MUTIARA WEDA : Dilema Teks
Walaupun seorang suami itu tanpa kebaikan atau mencari kesenangan di luar atau tidak memiliki sifat-sifat baik, namun seorang suami harus dihormati seperti menghormati seorang Dewa.
Wicilah kamawrito wa gunairwa pariwarjitah,
Upacaryah striya sadhwya satatam dewa watpatih.
(Manawa Dharmasastra, V: 154)
Dalam konteks dunia kontemporer yang menekankan pada pentingnya emansipasi, dimana kedudukan laki dan perempuan sejajar dalam segala segmen kehidupan, teks di atas mesti diperlakukan berbeda. Mungkin secara garis besar ada dua cara memperlakukannya. Pertama, teks tersebut mesti harus dimusnahkan karena tidak sesuai dengan prinsip persamaan gender. Bagaimana mungkin seorang yang tidak baik mesti harus dihormati dengan kedudukan Dewa? Apa untungnya? Bukankah ini justru akan berbahaya, sebab sistem masyarakat akan menjadi chaos. Orang akan mencari keuntungan dari model berpikir ini dan jumlahnya makin hari bisa makin bertambah banyak. Dengan berlindung di balik kitab suci, para laki-laki dengan leluasa menindas kaum perempuan dan mereka dipaksa untuk tetap menghormatinya layaknya seorang Dewa. Teks ini tampaknya bertentangan dengan dharma itu sendiri sebab berupaya untuk memelihara dan mengembangkan kejahatan di dalam sebuah rumah tangga.
Kedua, teks ini harus didekonstruksi, diberikan makna yang benar-benar berbeda. Meskipun teks di atas secara vulgar menyatakan bahwa laki-laki sebagai penguasa dan perempuan sebagai hamba, namun ada makna lain yang menyertainya yang perlu dimunculkan. Ada maksud berbeda di balik pernyataan itu. Makna itu tentu berimplikasi pada nilai-nilai spiritual, sebab hanya itu yang tersisa. Oleh karena itu, satu-satunya cara menemukan maknanya adalah dengan mempertanyakan tentang signifikasi dari pernyataan ‘istri mesti menghormati suaminya walaupun dia tidak memiliki kebaikan.’
Kata kunci yang harus dipegang disini adalah ‘menghormati’. Menghormati merupakan sikap atau perilaku mulia. Mereka yang mampu menghormati pasti memiliki kemuliaan di dalam dirinya. Semakin tebal rasa hormat di hatinya, semakin mulia orang itu. Jadi, sikap menghormati adalah sebuah sikap yang berfungsi untuk menumbuhkan diri ke dalam. Rasa hormat itulah yang menumbuhkannya sehingga menjadi orang yang benar-benar mulia. Dikatakan bahwa spiritualitas seseorang akan tumbuh subur jika dalam segala suasana ia mampu menghormati. Bagaimana sikap hormat ini berfungsi sebagai alat untuk memuliakan diri? Osho mengatakan: “hanya ketika rasa hormat itu tidak ditentukan oleh objeknya”. Artinya, objeknya tidak penting. Yang terpenting adalah rasa hormat itu. Jika rasa hormat kita masih memilih, maka penghormatan yang diberikan hanya bersifat politik. Jika kita hanya bisa menghormati orang yang mampu menguntungkan kita atau bersikap baik kepada kita, atau yang sejenisnya, tentu ini rasa hormat biasa, karena sesuai dengan ke
inginan atau selera kita. Secara spiritual rasa hormat ini tidak berdampak apa-apa, sebab sebagian besar orang seperti demikian, tendensinya memang seperti itu. Mereka tidak alami mengekspresikan rasa hormatnya kepada orang lain.
Sebaliknya, jika kita mampu menghormati orang tanpa syarat, artinya apapun kondisi orang itu, kita tidak kehilangan rasa hormat karenanya, maka hal inilah yang bernilai secara spiritual. Apa yang dimaksudkan oleh teks di atas mungkin seperti ini. Walaupun suaminya berbuat jahat, tetapi istri tidak kehilangan rasa hormat kepadanya, sebab rasa hormat itu sendiri menandakan kemuliaan dirinya. Untuk membuktikan kemuliaan dari seorang istri, perbuatan jahat yang dilakukan sang suami tidak menjadikan kehilangan rasa hormatnya padanya. Jadi rasa hormat seorang istri tidak ditentukan oleh perilaku suaminya, melainkan rasa hormat itu adalah ekspresi alami dari kemuliaan dirinya sebagai istri, perkembangan bhatinnya sendiri, perkembangan spiritualnya sendiri.
Jadi, jika nilai yang diberikan dalam konteks ini, maka teks di atas layak dipertahankan. Tetapi, masalah terbesarnya adalah kevulgarannya terhadap adanya sub-ordinasi menjadikan teks di atas susah dimaknai seperti itu. Dilemanya kemudian muncul. Jika dihilangkan, tentu tidak baik, sebab, teks ini disucikan yang telah dijadikan rujukan perilaku selama berabad-abad. Namun, jika dipertahankan, kecenderungan untuk menjadi alat justifikasi negatif juga besar. Oleh karena itu, mari kita sikapi teks ini dengan bijak.
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Dosen Fak. Brahma Widya, IHDN Denpasar
(Manawa Dharmasastra, V: 154)
Dalam konteks dunia kontemporer yang menekankan pada pentingnya emansipasi, dimana kedudukan laki dan perempuan sejajar dalam segala segmen kehidupan, teks di atas mesti diperlakukan berbeda. Mungkin secara garis besar ada dua cara memperlakukannya. Pertama, teks tersebut mesti harus dimusnahkan karena tidak sesuai dengan prinsip persamaan gender. Bagaimana mungkin seorang yang tidak baik mesti harus dihormati dengan kedudukan Dewa? Apa untungnya? Bukankah ini justru akan berbahaya, sebab sistem masyarakat akan menjadi chaos. Orang akan mencari keuntungan dari model berpikir ini dan jumlahnya makin hari bisa makin bertambah banyak. Dengan berlindung di balik kitab suci, para laki-laki dengan leluasa menindas kaum perempuan dan mereka dipaksa untuk tetap menghormatinya layaknya seorang Dewa. Teks ini tampaknya bertentangan dengan dharma itu sendiri sebab berupaya untuk memelihara dan mengembangkan kejahatan di dalam sebuah rumah tangga.
Kedua, teks ini harus didekonstruksi, diberikan makna yang benar-benar berbeda. Meskipun teks di atas secara vulgar menyatakan bahwa laki-laki sebagai penguasa dan perempuan sebagai hamba, namun ada makna lain yang menyertainya yang perlu dimunculkan. Ada maksud berbeda di balik pernyataan itu. Makna itu tentu berimplikasi pada nilai-nilai spiritual, sebab hanya itu yang tersisa. Oleh karena itu, satu-satunya cara menemukan maknanya adalah dengan mempertanyakan tentang signifikasi dari pernyataan ‘istri mesti menghormati suaminya walaupun dia tidak memiliki kebaikan.’
Kata kunci yang harus dipegang disini adalah ‘menghormati’. Menghormati merupakan sikap atau perilaku mulia. Mereka yang mampu menghormati pasti memiliki kemuliaan di dalam dirinya. Semakin tebal rasa hormat di hatinya, semakin mulia orang itu. Jadi, sikap menghormati adalah sebuah sikap yang berfungsi untuk menumbuhkan diri ke dalam. Rasa hormat itulah yang menumbuhkannya sehingga menjadi orang yang benar-benar mulia. Dikatakan bahwa spiritualitas seseorang akan tumbuh subur jika dalam segala suasana ia mampu menghormati. Bagaimana sikap hormat ini berfungsi sebagai alat untuk memuliakan diri? Osho mengatakan: “hanya ketika rasa hormat itu tidak ditentukan oleh objeknya”. Artinya, objeknya tidak penting. Yang terpenting adalah rasa hormat itu. Jika rasa hormat kita masih memilih, maka penghormatan yang diberikan hanya bersifat politik. Jika kita hanya bisa menghormati orang yang mampu menguntungkan kita atau bersikap baik kepada kita, atau yang sejenisnya, tentu ini rasa hormat biasa, karena sesuai dengan ke
inginan atau selera kita. Secara spiritual rasa hormat ini tidak berdampak apa-apa, sebab sebagian besar orang seperti demikian, tendensinya memang seperti itu. Mereka tidak alami mengekspresikan rasa hormatnya kepada orang lain.
Sebaliknya, jika kita mampu menghormati orang tanpa syarat, artinya apapun kondisi orang itu, kita tidak kehilangan rasa hormat karenanya, maka hal inilah yang bernilai secara spiritual. Apa yang dimaksudkan oleh teks di atas mungkin seperti ini. Walaupun suaminya berbuat jahat, tetapi istri tidak kehilangan rasa hormat kepadanya, sebab rasa hormat itu sendiri menandakan kemuliaan dirinya. Untuk membuktikan kemuliaan dari seorang istri, perbuatan jahat yang dilakukan sang suami tidak menjadikan kehilangan rasa hormatnya padanya. Jadi rasa hormat seorang istri tidak ditentukan oleh perilaku suaminya, melainkan rasa hormat itu adalah ekspresi alami dari kemuliaan dirinya sebagai istri, perkembangan bhatinnya sendiri, perkembangan spiritualnya sendiri.
Jadi, jika nilai yang diberikan dalam konteks ini, maka teks di atas layak dipertahankan. Tetapi, masalah terbesarnya adalah kevulgarannya terhadap adanya sub-ordinasi menjadikan teks di atas susah dimaknai seperti itu. Dilemanya kemudian muncul. Jika dihilangkan, tentu tidak baik, sebab, teks ini disucikan yang telah dijadikan rujukan perilaku selama berabad-abad. Namun, jika dipertahankan, kecenderungan untuk menjadi alat justifikasi negatif juga besar. Oleh karena itu, mari kita sikapi teks ini dengan bijak.
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Dosen Fak. Brahma Widya, IHDN Denpasar
1
Komentar