Sudahi Mamatung, Tersohor Berkat Traktor
Jalan Hidup Pematung dan Petani I Gusti Nyoman Buleleng
Saya pasti bisa perbaiki mesin sendiri. Eka Lawiya (salah seorang tokoh dalam epos pewayangan, Red) saja bisa ahli memanah tanpa guru.
GIANYAR, NusaBali
I Gusti Nyoman Buleleng,68, salah seorang teknisi traktor sawah yang terkenal di Bali Timur (Gianyar, Bangli, Klungkung, Karangasem). Tak hanya piawai nyervis, mantan pematung kayu Eben asal Banjar Kebon, Desa Bona, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar ini, juga mahir membuat pelbagai alat-alat pertanian modern.
Kemahiran teknis ini menjadikan dirinya pesohor bidang traktor. Kepiawaian itu pula membuat dia meraih sejumlah penghargaan bergengsi dari sejumlah lembaga. Saking banyak traktor yang diperbaiki, para kenalannya menjuluki Gusti Buleleng seorang ‘insinyur’ traktor mumpuni. Terlepas dari pelbagai penghargaan dan predikat, senyatanya Gusti Buleleng pantas disebut sebagai teknisi langka, setidaknya di Kabupaten Gianyar. Karena di tengah tebaran alat kerja sawah berupa traktor, teknisi traktor yang handal malah sulit dicari. Kelangkaan juga karena teknisi perangkat modern bajak sawah ini tak sebanyak bengkel motor, mobil, TV, AC, dan perabotan berbasis elektronik lain.
Di balik kemahiran bidang traktor, Gusti Buleleng juga sosok unik. Di tengah gemuruh bidang seni dan pariwisata sebagaimana ditekuni krama Gianyar dan Bali umumnya, dia malah alih profesi dari pematung kayu ke teknisi traktor bajak sawah. Sebagai pematung dan menguasai beberapa bidang kriya khas Bali, suami dari Gusti Kompiang Artini ini saat remaja pernah bekerja selama 23 tahun di Sanggraha Kriya Asta.
Sanggraha ini sebuah lembaga promosi dan perdagangan langsung barang kerajinan Bali berbasis seni di wilayah Tohpati, Denpasar Timur. Dia bekerja sebagai administrator seni sambil kerja matung kayu Eben.
Kepiawaiannya di bidang seni patung menjadikan dirinya sempat tiga tahun menggarap proyek relief di Jakarta. Di ibu kota RI itu, Gusti Buleleng bersama tujuh orang dari Bali menggarap relief berwiracerita Mahabharata. Usai dari Jakarta, dia kembali kerja ke Sanggraha Kriya Asta Tohpati. Karena saat itu orang tuanya sakit. Tahun 1999, dia berhenti kerja di sanggraha. "Saat itu saya prediksi dunia seni kerajinan Bali akan melemah, tak sesemarak sebelumnya. Dan, terbukti seperti tampak sekarang," jelas ayah dua anak ini.
Usai kerja di Sanggraha, dia memilih pulang kampung untuk bersawah. Saat itu Bali, di luar Tabanan, mulai ada traktorisasi atau penggunaan alat bajak mesin traktor, termasuk Gianyar. Gusti Buleleng dapat meminjam traktor dari Markas Komando Resor Militer (Makorem) 163/Wirasatya di Denpasar. Saat itu, karena bertani pakai traktor, Gusti Buleleng malah dapat cibiran bahkan ada orang lain yang menertawai. Orang mencibir kerja tani pakai traktor dengan anggapan tak bagus untuk tanah. Hasil panen tak akan bagus karena tanah terkontaminasi oli mesin. ‘’Tapi, saat itu saya tahu, banyak orang pikirannya belum terbuka tentang kerja yang efektif, apalagi bicara teknologi lebih maju. Mindset orang belumlah maju. Tapi, saya tak hirau dengan ledekan itu,’’ kenang kakek dua cucu ini.
Tak cukup di situ, masalah muncul kemudian. Selang beberapa kali dipakai, traktor pinjaman itu rusak. Saat itu bengkel traktor tak ada di Gianyar. Menurutnya, bengkel traktor hanya ada di Tabanan. Namun sungguh berat jika sampai membawa traktor untuk diservis ke Tabanan, karena pasti akan memakan biaya angkut dan waktu yang tak sedikit.
‘’Akibatnya, sejak itu lah saya terpaksa belajar sendiri memperbaiki traktor,’’ kenangnya. Tahun 1999, dia mencoba membeli traktor jenis rotary untuk dioperasikan oleh buruh tani asal Jawa. Namun sial, saat traktor rusak di tengah sawah, sang buruh ini malah minggat. Rusaknya tak tanggung-tanggung, yakni pada bagian seher, jantungnya mesin. Karena belum pengalaman memasang dan tak punya alat pasang ring seher, maka ring itu pun patah. Karena itu pula dirinya makin tertantang untuk memperbaiki mesin traktor bahkan membuat alat pasang ring seher.
‘’Saat itu saya optimis. Saya pasti bisa perbaiki mesin sendiri. Eka Lawiya (salah seorang tokoh dalam epos pewayangan, Red) saja bisa jadi ahli memanah tanpa guru, masa saya tidak,’’ ujarnya sembari tersenyum.
Demi tekad belajar untuk memperbaiki mesin traktor, Gusti Buleleng berusaha menyisihkan uang hasil kerjanya untuk membeli sejumlah peralatan perbaikan mesin traktor. Beberapa alat malah dibuat sendiri.
Seiring waktu, kemahirannya memperbaiki mesin traktor didengar masyarakat terutama kalangan petani, khususnya para ‘kusir’ traktor.
‘’Saya hanya bermodalkan semangat dan tentu senang bisa membantu meringankan kerja petani,’’ jelasnya.
Sebagai teknisi traktor, Gusti Buleleng mengaku sangat bersyukur punya pengalaman bergaul lama dengan huma atau sawah. Karena menurutnya, seorang montir traktor seperti dirinya tak cukup tahu dan mahir bidang mekanik traktor. Tak kalah penting, montir harus paham sifat-sifat traktor dan cara kerja secara mekanis di lapangan, harus tahu kelemahan kerja nraktor.
Dari pengalaman sebagai petani sawah yang pernah nraktor, sebagai mekanik traktor, dirinya memegang tiga prinsip dasar jika berhadapan dengan traktor rusak. Tiga prinsip itu yakni ringan biaya, ringan kerja, dan narik ongkos seperti keluarga. Tiga prinsip ini tentu didasari dengan kualitas hasil kerja yang memuaskan. Oleh karena itu, pasuh (traktor yang diperbaiki, Red) tak hanya dari kalangan petani dan ‘kusir’ traktor dari Kabupaten Gianyar, melainkan juga dari Bangli, Klungkung, dan Karangasem. ‘’Hanya saja saya tak mau jadi bengkel panggilan. Repot. Saya minta yang masuh buka bagian yang rusak, bagian rusak itu bawa ke saya,’’ jelas peraih Juara I Temu Karya Peda XXV Petani Nelayan Bali Tahun 2015 ini.
Gusti Buleleng juga piawai membuat sejumlah mesin pertanian. Antara lain, mesin perontok padi atau dores, alat tanam padi, singkal (mata bajak), dan lain-lain. Kini dia sedang menyempurnakan alat tanaman padinya. Karena alat ini masih relatif berat sehingga dari bahan mesti banyak diubah dari besi ke baja ringan atau aluminium. Kemahirannya itu menjadikan dirinya meraih penghargaan Anugerah Iptek Labdhakretya bidang Inovasi Alat pertanian Tanam Benih Langsung (Tabela) sistem Legowo, serangkaian Harteknas (Hari Teknologi Nasional) XVI Tahun 2011.
Gusti Buleleng menilai banyak lulusan STM jurusan Otomotif tak mau menekuni mesin traktor. Padahal prospek mesin ini amat cerah ke depan.
‘’Modalnya tentu niat dan fokus. Sayang banyak tamatan STM mesin tak mau saya ajak kerja begini (memperbaiki traktor,Red),’’ ujarnya heran.
Di menyebut jumlah traktor akan makin banyak seiring fungsinya yang tak tergantikan. Peningkatan itu sejak puncak peralihan dari bajak sapi ke bajak traktor tahun 2002. Sekitar empat tahun sebelumnya, traktor baru ada segelintir di subak-subak. Namun sejak 2002 jumlah traktor makin meningkat baik karena kepemilikan pribadi dan sumbangan dari pemerintah kepada subak-subak. Bajak traktor makin diminati petani karena proses kerja bertani lebih cepat dan praktis dibandingkan pakai bajak sapi.
Berkat ketekunannya sebagai petani dan ahli traktor, Gusti Nyoman Buleleng juga meraih sejumlah penghargaan. Antara lain, Juara I Lomba Temu Karya Peda XXV Petani Nelayan Bali Tahun 2015. Juara II Kelompok Sinar Pertiwi dalam Lomba Teknologi Tepat Guna Tingkat Kabupaten Gianyar Tahun 2016. Silpakara Nugraha, Anugerah Riset dan Teknologi dari Kemenristek.*lsa
Kemahiran teknis ini menjadikan dirinya pesohor bidang traktor. Kepiawaian itu pula membuat dia meraih sejumlah penghargaan bergengsi dari sejumlah lembaga. Saking banyak traktor yang diperbaiki, para kenalannya menjuluki Gusti Buleleng seorang ‘insinyur’ traktor mumpuni. Terlepas dari pelbagai penghargaan dan predikat, senyatanya Gusti Buleleng pantas disebut sebagai teknisi langka, setidaknya di Kabupaten Gianyar. Karena di tengah tebaran alat kerja sawah berupa traktor, teknisi traktor yang handal malah sulit dicari. Kelangkaan juga karena teknisi perangkat modern bajak sawah ini tak sebanyak bengkel motor, mobil, TV, AC, dan perabotan berbasis elektronik lain.
Di balik kemahiran bidang traktor, Gusti Buleleng juga sosok unik. Di tengah gemuruh bidang seni dan pariwisata sebagaimana ditekuni krama Gianyar dan Bali umumnya, dia malah alih profesi dari pematung kayu ke teknisi traktor bajak sawah. Sebagai pematung dan menguasai beberapa bidang kriya khas Bali, suami dari Gusti Kompiang Artini ini saat remaja pernah bekerja selama 23 tahun di Sanggraha Kriya Asta.
Sanggraha ini sebuah lembaga promosi dan perdagangan langsung barang kerajinan Bali berbasis seni di wilayah Tohpati, Denpasar Timur. Dia bekerja sebagai administrator seni sambil kerja matung kayu Eben.
Kepiawaiannya di bidang seni patung menjadikan dirinya sempat tiga tahun menggarap proyek relief di Jakarta. Di ibu kota RI itu, Gusti Buleleng bersama tujuh orang dari Bali menggarap relief berwiracerita Mahabharata. Usai dari Jakarta, dia kembali kerja ke Sanggraha Kriya Asta Tohpati. Karena saat itu orang tuanya sakit. Tahun 1999, dia berhenti kerja di sanggraha. "Saat itu saya prediksi dunia seni kerajinan Bali akan melemah, tak sesemarak sebelumnya. Dan, terbukti seperti tampak sekarang," jelas ayah dua anak ini.
Usai kerja di Sanggraha, dia memilih pulang kampung untuk bersawah. Saat itu Bali, di luar Tabanan, mulai ada traktorisasi atau penggunaan alat bajak mesin traktor, termasuk Gianyar. Gusti Buleleng dapat meminjam traktor dari Markas Komando Resor Militer (Makorem) 163/Wirasatya di Denpasar. Saat itu, karena bertani pakai traktor, Gusti Buleleng malah dapat cibiran bahkan ada orang lain yang menertawai. Orang mencibir kerja tani pakai traktor dengan anggapan tak bagus untuk tanah. Hasil panen tak akan bagus karena tanah terkontaminasi oli mesin. ‘’Tapi, saat itu saya tahu, banyak orang pikirannya belum terbuka tentang kerja yang efektif, apalagi bicara teknologi lebih maju. Mindset orang belumlah maju. Tapi, saya tak hirau dengan ledekan itu,’’ kenang kakek dua cucu ini.
Tak cukup di situ, masalah muncul kemudian. Selang beberapa kali dipakai, traktor pinjaman itu rusak. Saat itu bengkel traktor tak ada di Gianyar. Menurutnya, bengkel traktor hanya ada di Tabanan. Namun sungguh berat jika sampai membawa traktor untuk diservis ke Tabanan, karena pasti akan memakan biaya angkut dan waktu yang tak sedikit.
‘’Akibatnya, sejak itu lah saya terpaksa belajar sendiri memperbaiki traktor,’’ kenangnya. Tahun 1999, dia mencoba membeli traktor jenis rotary untuk dioperasikan oleh buruh tani asal Jawa. Namun sial, saat traktor rusak di tengah sawah, sang buruh ini malah minggat. Rusaknya tak tanggung-tanggung, yakni pada bagian seher, jantungnya mesin. Karena belum pengalaman memasang dan tak punya alat pasang ring seher, maka ring itu pun patah. Karena itu pula dirinya makin tertantang untuk memperbaiki mesin traktor bahkan membuat alat pasang ring seher.
‘’Saat itu saya optimis. Saya pasti bisa perbaiki mesin sendiri. Eka Lawiya (salah seorang tokoh dalam epos pewayangan, Red) saja bisa jadi ahli memanah tanpa guru, masa saya tidak,’’ ujarnya sembari tersenyum.
Demi tekad belajar untuk memperbaiki mesin traktor, Gusti Buleleng berusaha menyisihkan uang hasil kerjanya untuk membeli sejumlah peralatan perbaikan mesin traktor. Beberapa alat malah dibuat sendiri.
Seiring waktu, kemahirannya memperbaiki mesin traktor didengar masyarakat terutama kalangan petani, khususnya para ‘kusir’ traktor.
‘’Saya hanya bermodalkan semangat dan tentu senang bisa membantu meringankan kerja petani,’’ jelasnya.
Sebagai teknisi traktor, Gusti Buleleng mengaku sangat bersyukur punya pengalaman bergaul lama dengan huma atau sawah. Karena menurutnya, seorang montir traktor seperti dirinya tak cukup tahu dan mahir bidang mekanik traktor. Tak kalah penting, montir harus paham sifat-sifat traktor dan cara kerja secara mekanis di lapangan, harus tahu kelemahan kerja nraktor.
Dari pengalaman sebagai petani sawah yang pernah nraktor, sebagai mekanik traktor, dirinya memegang tiga prinsip dasar jika berhadapan dengan traktor rusak. Tiga prinsip itu yakni ringan biaya, ringan kerja, dan narik ongkos seperti keluarga. Tiga prinsip ini tentu didasari dengan kualitas hasil kerja yang memuaskan. Oleh karena itu, pasuh (traktor yang diperbaiki, Red) tak hanya dari kalangan petani dan ‘kusir’ traktor dari Kabupaten Gianyar, melainkan juga dari Bangli, Klungkung, dan Karangasem. ‘’Hanya saja saya tak mau jadi bengkel panggilan. Repot. Saya minta yang masuh buka bagian yang rusak, bagian rusak itu bawa ke saya,’’ jelas peraih Juara I Temu Karya Peda XXV Petani Nelayan Bali Tahun 2015 ini.
Gusti Buleleng juga piawai membuat sejumlah mesin pertanian. Antara lain, mesin perontok padi atau dores, alat tanam padi, singkal (mata bajak), dan lain-lain. Kini dia sedang menyempurnakan alat tanaman padinya. Karena alat ini masih relatif berat sehingga dari bahan mesti banyak diubah dari besi ke baja ringan atau aluminium. Kemahirannya itu menjadikan dirinya meraih penghargaan Anugerah Iptek Labdhakretya bidang Inovasi Alat pertanian Tanam Benih Langsung (Tabela) sistem Legowo, serangkaian Harteknas (Hari Teknologi Nasional) XVI Tahun 2011.
Gusti Buleleng menilai banyak lulusan STM jurusan Otomotif tak mau menekuni mesin traktor. Padahal prospek mesin ini amat cerah ke depan.
‘’Modalnya tentu niat dan fokus. Sayang banyak tamatan STM mesin tak mau saya ajak kerja begini (memperbaiki traktor,Red),’’ ujarnya heran.
Di menyebut jumlah traktor akan makin banyak seiring fungsinya yang tak tergantikan. Peningkatan itu sejak puncak peralihan dari bajak sapi ke bajak traktor tahun 2002. Sekitar empat tahun sebelumnya, traktor baru ada segelintir di subak-subak. Namun sejak 2002 jumlah traktor makin meningkat baik karena kepemilikan pribadi dan sumbangan dari pemerintah kepada subak-subak. Bajak traktor makin diminati petani karena proses kerja bertani lebih cepat dan praktis dibandingkan pakai bajak sapi.
Berkat ketekunannya sebagai petani dan ahli traktor, Gusti Nyoman Buleleng juga meraih sejumlah penghargaan. Antara lain, Juara I Lomba Temu Karya Peda XXV Petani Nelayan Bali Tahun 2015. Juara II Kelompok Sinar Pertiwi dalam Lomba Teknologi Tepat Guna Tingkat Kabupaten Gianyar Tahun 2016. Silpakara Nugraha, Anugerah Riset dan Teknologi dari Kemenristek.*lsa
Komentar