Pendidikan Politik di Desa Adat
Di zaman Orde Baru, bendera Golkar pernah di-pasupati di Bangli. Bagi orang Bali, tindakan mem-pasupati benda-benda duniawi adalah tindakan penyucian, agar barang itu bertuah, sakral, memiliki kekuatan gaib.
Pasupati adalah salah satu panah Arjuna, yang sudah diberkati kekuatan gaib oleh Dewa Siwa. Tentu ia menjadi panah sakti mandraguna. Pasupati bendera Golkar, ketika Bangli dipimpin Bupati Ida Bagus Ladip (1990-2000), tentu agar parpol punya kekuatan gaib di kota sejuk itu, setangkas dan sedahsyat panah Arjuna. Namun banyak orang mempertanyakan, dan menudingnya berlebihan, mengada-ada, mendewakan benda, bahkan telah menodai ritual agama dengan politik. Pasupati bendera dinilai meremehkan, melecehkan, nilai-nilai, simbol, dan upacara Hindu. Namun cercaan kala itu cuma menjadi gumam, gerutu, bisik-bisik di warung kopi. Siapa berani melontarkan terus terang ketika Golkar, Orde Baru, dan Ida Bagus Ladip berkuasa di Bangli?
Sebagian besar orang Bali menganggap pasupati bendera parpol adalah tindakan keliru, menyesatkan, menjungkirbalikkan yang kotor, duniawi, menjadi suci. Namun penyucian atribut partai politik bukan peristiwa berdiri sendiri. Sejak lama tempat suci, lembaga desa adat, dijadikan alat oleh partai politik untuk menyebarkan dan memperkokoh pengaruhnya. Di zaman Orde Baru, berkali-kali para pejabat, mulai dari kepala desa, camat, bupati, gubernur, silih berganti menyampaikan mantra sakti: mono loyalitas pada Golkar.
Gerakan itu tentu gampang dilaksanakan di instansi pemerintah, namun tidak selalu mulus jika digerakkan di kalangan masyarakat sipil di dusun-dusun. Untuk itulah, krama yang berada dalam naungan desa adat harus dibujuk. Jika tak mempan dirayu, diintimidasi saja. Bujukan itu dilampiaskan lewat penyerahan bantuan oleh bupati, didampingi camat dan kepala desa. Penyerahan dilaksanakan di wantilan pura atau balé banjar. Warga hadir diminta mengenakan pakaian adat. Pers kemudian mewartakan, desa adat menerima bantuan bupati yang juga kader partai anu. Yang diserahkan adalah uang rakyat, tapi yang diuntungkan, dapat nama, partai. Tentu, banyak kecaman terlontar. Namun seperti biasa, kecaman itu sebatas gumam.
Orang Bali semakin yakin, agar siapa pun jangan memanfaatkan desa adat, krama adat, dalam percaturan politik. Sering sekali terlontar imbauan, agar desa adat bebas politik. Perlahan-lahan muncul gerakan depolitisasi desa adat. Kapan pun, dalam kondisi apa pun, desa adat harus bebas dari aktivitas politik. Alasan yang sering dilontarkan adalah, jika politik menelusup di desa-desa adat, akan membuat kerancuan antara aktivitas adat dan keagamaan dengan kegiatan politik. Seolah-olah politik itu racun bagi krama Bali yang bergiat dalam desa adat.
Semua orang Bali adalah warga desa adat. Depolitisasi desa adat bisa diartikan memadamkan partisipasi politik orang Bali. Atau, apakah mungkin mensterilkan desa adat dari kegiatan politik, sementara orang Bali, yang berarti juga warga adat, aktif dalam gerakan politik? Bagaimana membedakan dan memisahkan aktivitas politik seorang manusia Bali sebagai individu krama adat dengan pribadi sebagai kader politik? Apakah mungkin melarang mereka bicara politik di banjar? Mungkinkah melarang ngomong politik, kampanye, pemilu, pilkada, saat bertemu sesama rekan ketika piodalan atau ngayah di pura?
Bali memang punya sejarah kelam dalam kancah politik, ketika ribuan orang PKI ditebas oleh kerabat sendiri tahun 1965. Perbedaan ideologi politik yang berujung kekerasan itu membuat orang Bali hati-hati berpolitik, dan senantiasa berupaya keras menjauhkannya dari aktivitas di banjar atau tempat suci.
Padahal krama desa adat harus melek politik. Bukankah ketika memilih langsung kepala desa atau kelian banjar mereka melaksanakan asas demokrasi dalam percaturan politik? Bukankah ketika seorang krama mencoblos gambar partai berbeda dengan pilihan krama lain, sesungguhnya mereka beraktivitas sehat dalam politik? Kalau begitu, mengapa harus didengung-dengungkan desa adat harus steril dari politik? Yang pantas dicermati adalah, mengupayakan krama tidak menjadi korban politik, tidak ditunggangi kaum politikus.
Perbedaan partai jangan membuat permusuhan. Untuk itu orang desa harus sadar politik. Politik harus dibiarkan terbuka, tidak ditutup-tutupi, di mana pun, juga di wilayah desa adat. Dan sadar politik hanya bisa dicapai lewat pendidikan politik, tidak melalui indoktrinasi atau intimidasi.
Pengarahan politik di zaman Orde Baru acap disponsori oleh lembaga desa adat. Krama hadir mengenakan pakaian adat, berdestar, masaput poleng. Dalam pemilu dan pilkada kini krama nyoblos mengenakan pakaian adat. Kampanye bersama parpol dan calon DPD (Dewan Perwakilan Daerah) dilaksanakan dengan berpakaian adat. Tak ada yang memprotes tindakan itu sebagai membawa-bawa dan menggiring atribut adat dan keagamaan ke kancah politik. Semua berlangsung baik-baik saja, enjoy.
Politik memang harus dinikmati dengan riang, dibuat enjoy, membahagiakan. Dengan begitu orang tak perlu cemas ketika politik masuk wilayah desa adat. Jika krama Bali melek politik, mereka tak akan gampang ditipu politikus, tak mudah diperalat. Desa-desa di Bali terlanjur menganggap politik itu kotor, karena selama ini kaum politisi memang sering memanfaakan orang desa untuk kepentingan partai semata. Pengurus partai dianggap tak pernah tulus murni, selalu punya keinginan bercabang yang susah ditebak.
Jika orang desa diajak bertukar pikiran, mengatakan kepada mereka bahwa partai itu penting dalam pelaksanaan bernegara dan demokrasi, bisa jadi mereka heran dan bertanya-tanya. Bukankah pemilihan pimpinan seka, pemilihan kelian banjar, tidak butuh partai politik? Toh semua berlangsung aman-aman saja. *
Aryantha Soethama
1
Komentar