Implementasi Janji Dang Hyang Nirartha untuk Kasihi Ancangan
Perayaan Tumpek Uye untuk Bojog Duwe di Pura Agung Pulaki, Desa Banyupoh
Pangempon Pura Agung mulai melaksanakan upacara Tumpek Uye di Pura Dang Kahyangan tersebut sejak tahun 2019, setelah dapat petunjuk dan membaca sejarah, termasuk dari purana.
SINGARAJA, NusaBali
Ribuan bojog (kera) di Pura Agung Pulaki, Desa Banyupoh, Kecamatan Gerokgak, Buleleng juga diupacarai otonan rahina Tumpek Uye pada Saniscara Kliwon Uye, Sabtu (29/1) pagi. Bojog pingit (sakral) yang dipercaya sebagai bala ancangan (pasukan) Dang Hyang Nirartha ini pun bersukacita, karena hari itu disuguhi makanan spesial, termasuk buah-buahan lungsuran (bekas) upacara. Ritual ini sebagai implementasi janji Dang Hyang Nirartha untuk mengasihi bala ancangan.
Seluruh rangkaian upacara Tumpek Uye yang ditujukan sebagai ungkapan syukur, penghormatan, dan cinta kasih umat Hindu Bali terhadap hewan---di Pura Agung Pulaki, Sabtu pagi, dimulai sekitar pukul 08.00 Wita. Diawali dengan katur banten piuning yang dilaksanakan seluruh pangempon Pura Agung Pulaki, kemudian memohon tirta (air suci), lanjut natab, dan terakhir adalah haturan kepada wanara laba (bojog pingit).
Kelian Pengempon Pura Agung Pulaki, Jro Nyoman Bagiarta, menjelas-kan upacara Tumpek Uye yang ditujukan kepada bojog pingit di sekitar pura tersebut mulai dilaksanakan sejak tahun 2019 lalu. Upacara sebagai ungkapan kasih sayang kepada hewan ini rutin dilaksanakan 6 bulan sekali (210 hari sistem penanggalan Bali) pada Saniscara Kliwon Uye.
“Kami pangempon Pura Agung Pulaki mulai melaksanakan upacara Tumpek Uye di sini sejak tahun 2019. Itu dilakukan setelah kami mencari petunjuk dan membaca sejarah, baik dari Purana Pura Agung Pulaki maupun sumber lainnya. Kami dapat petunjuk bahwa wanara (bojog pingit) di Pura Agung Pulaki dipercaya sebagai bala ancangan Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh (nama lain Dang Hyang Nirartha atau Dang Hyang Dwijendra, Red) yang mengawal perjalanan dari Jawa ke Bali,” ungkap Jro Nyoman Bagiarta kepada NusaBali, Sabtu kemarin.
Terungkap, dalam perjalanan suci dari Jawa ke Bali, ternyata Dang Hyang Nirartha sempat ada perjanjian dengan pasukan wanara. Saat itu, Dang Hyang Nirartha sempat kehilangan arah di tengah hutan lebat dalam perjalannya ke Bali. Sampai akhirnya Dang Hyang Nirartha bertemu seekor bojog pingit, yang kemudian menunjukkan arah sampai ke Bali.
Atas jasanya tersebut, kata Jro Nyoman Bagiarta, bojog pingit diberi penghargaan oleh Dang Hyang Nirartha dengan perjanjian akan menjadikannya sebagai pasukan pengiring. Selain itu, Dang Hyang Nirartha juga berjanji tidak akan menyakiti bojog pingit, melainkan mengasihinya.
“Sejak saat itu, wanara yang ada di kawasan Pura Agung Pulaki ini dipingitkan. ada sabda yang berbunyi ‘barang siapa yang menyakiti wanara, akan berdampak pada dirinya sendiri’. Nah, karena dipingitkan (dikeramatkan), tidak ada yang boleh mengambil, berburu, bahkan menabrak wanara dan ditinggalkan begitu saja,” tandas mantan Perbekel Kalisada, Kecamatan Seririt, Buleleng ini.
Dari berbagai pengalaman yang ada, sejumlah krama yang melanggar pantangan terkait bojog duwe tersebut, kata Jro Nyoman Bagiarta, pasti akan datang kembali ke Pura Agung Pulaki untuk memohon maaf secara niskala. Dia mencontohkan seorang pengendara yang tanpa sengaja menabrak bojog pingit di sekitar Pura Agung Pulaku dan ditinggalkan begitu saja. Mereka kemudian dihantui rasa ketakutan hingga jatuh sakit. Ajaib, setelah dimohonkan air suci dalam ritual permohonan maaf secara niskala, pengendara tersebut bisa sembuh total.
Kasus lainnya, ada seorang warga menangkap seekor anak bojog di Pura Agung Pulaki, lalu dibawa ke luar Bali untuk dipelihara. Apa yang terjadi? Menurut Jro Nyoman Bagiarta, tak berselang lama, anak bojog tersebut diantarkan kembali dan dilepasliarkan di habitatnya di Pura Agung Pulaki.
Jro Nyoman Bagiarta menyebutkan, peristiwa mistis yang sering terjadi adalah bojog pingit mati secara tidak wajar di sekitar Pura Agung Pulaki. Pasca kematian bojog pingit itu, situasi mendadak sepi. Ribuan bojog duwe ramai-ramai mendaki Bukit Pulaki, seperti melakukan ritual khusus. Anehnya, pangempon pura tak pernah menemukan bangkai bojog duwe secara fisik.
“Kalau ada wanara yang mati, pasti mendadak sepi di sekitar pura ini. Saya sempat mengawasi dulu mereka (ribuan bojog due, Red) akan berjejer di atas bukit seperti melayat temannya. Tetapi, bangkai wanara tidak tahu dibawa ke mana. Kami tidak pernah menemukan bekas maupun bau busuk,” tutur Jro Nyoman Bagiarta.
Pura Agung Pulaki yang meruipakan salah satu Pura Dang Kahyangan di Bali, memang diyakini memiliki aura spirittual yang sangat tinggi. Sementara, bojog duwe di Pura Agung Pulaki terus dipelihara dengan baik, hingga populasinya saat ini mencapai sekitar 5.000 ekor.
Pangempon Pura Agung Pulaki rutin menganggarkan biaya untuk pakan bojog duwe sebesar Rp 20 juta per tahun. Pangempon pura menyiapkan makan 3 kali sehari dengan berbagai varian menu untuk bojog pingit. Menu dimaksud, mulai dari jagung, pepaya, ubi, pisang, bunga gumitir, hingga telor mentah. Pengempon juga menyiapkan kolam-kolam air yang dapat dimanfaatkan sebagai permandian bagi bojog duwe.
Menurut Jro Nyoman Bagiarta, perhatian tersebut membuat ribuan bojog duwe di Pura Agung Pulaki semakin jinak. Bahkan, setelah dilaksanakan upacara Tumpek Uye ketujuh kalinya, bojog duwe mulai tenang saat diupacarai. “Kalau dulu saat pertama kali diupacarai otonan Tumpek Uye, diperciki air suci saja wanari ini lari. Tapi, sekarang sudah jinak, mau diam saat natab banten. Saat dikasi makan, bahkan bisa dielus-elus tubuhnya.”
Sementara itu, pangempon Pura Agung Pulaki mengapresasui dan sambut baik instruksi Gubernur Bali Wayan Koster terkait perayaan upacara Tumpek Uye serentak. “Perhatian pemerintah untuk keseimbangan alam beserta isinya diharapkan terus berlanjut,” harap Jro Nyoman Bagiarta. *k23
Seluruh rangkaian upacara Tumpek Uye yang ditujukan sebagai ungkapan syukur, penghormatan, dan cinta kasih umat Hindu Bali terhadap hewan---di Pura Agung Pulaki, Sabtu pagi, dimulai sekitar pukul 08.00 Wita. Diawali dengan katur banten piuning yang dilaksanakan seluruh pangempon Pura Agung Pulaki, kemudian memohon tirta (air suci), lanjut natab, dan terakhir adalah haturan kepada wanara laba (bojog pingit).
Kelian Pengempon Pura Agung Pulaki, Jro Nyoman Bagiarta, menjelas-kan upacara Tumpek Uye yang ditujukan kepada bojog pingit di sekitar pura tersebut mulai dilaksanakan sejak tahun 2019 lalu. Upacara sebagai ungkapan kasih sayang kepada hewan ini rutin dilaksanakan 6 bulan sekali (210 hari sistem penanggalan Bali) pada Saniscara Kliwon Uye.
“Kami pangempon Pura Agung Pulaki mulai melaksanakan upacara Tumpek Uye di sini sejak tahun 2019. Itu dilakukan setelah kami mencari petunjuk dan membaca sejarah, baik dari Purana Pura Agung Pulaki maupun sumber lainnya. Kami dapat petunjuk bahwa wanara (bojog pingit) di Pura Agung Pulaki dipercaya sebagai bala ancangan Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh (nama lain Dang Hyang Nirartha atau Dang Hyang Dwijendra, Red) yang mengawal perjalanan dari Jawa ke Bali,” ungkap Jro Nyoman Bagiarta kepada NusaBali, Sabtu kemarin.
Terungkap, dalam perjalanan suci dari Jawa ke Bali, ternyata Dang Hyang Nirartha sempat ada perjanjian dengan pasukan wanara. Saat itu, Dang Hyang Nirartha sempat kehilangan arah di tengah hutan lebat dalam perjalannya ke Bali. Sampai akhirnya Dang Hyang Nirartha bertemu seekor bojog pingit, yang kemudian menunjukkan arah sampai ke Bali.
Atas jasanya tersebut, kata Jro Nyoman Bagiarta, bojog pingit diberi penghargaan oleh Dang Hyang Nirartha dengan perjanjian akan menjadikannya sebagai pasukan pengiring. Selain itu, Dang Hyang Nirartha juga berjanji tidak akan menyakiti bojog pingit, melainkan mengasihinya.
“Sejak saat itu, wanara yang ada di kawasan Pura Agung Pulaki ini dipingitkan. ada sabda yang berbunyi ‘barang siapa yang menyakiti wanara, akan berdampak pada dirinya sendiri’. Nah, karena dipingitkan (dikeramatkan), tidak ada yang boleh mengambil, berburu, bahkan menabrak wanara dan ditinggalkan begitu saja,” tandas mantan Perbekel Kalisada, Kecamatan Seririt, Buleleng ini.
Dari berbagai pengalaman yang ada, sejumlah krama yang melanggar pantangan terkait bojog duwe tersebut, kata Jro Nyoman Bagiarta, pasti akan datang kembali ke Pura Agung Pulaki untuk memohon maaf secara niskala. Dia mencontohkan seorang pengendara yang tanpa sengaja menabrak bojog pingit di sekitar Pura Agung Pulaku dan ditinggalkan begitu saja. Mereka kemudian dihantui rasa ketakutan hingga jatuh sakit. Ajaib, setelah dimohonkan air suci dalam ritual permohonan maaf secara niskala, pengendara tersebut bisa sembuh total.
Kasus lainnya, ada seorang warga menangkap seekor anak bojog di Pura Agung Pulaki, lalu dibawa ke luar Bali untuk dipelihara. Apa yang terjadi? Menurut Jro Nyoman Bagiarta, tak berselang lama, anak bojog tersebut diantarkan kembali dan dilepasliarkan di habitatnya di Pura Agung Pulaki.
Jro Nyoman Bagiarta menyebutkan, peristiwa mistis yang sering terjadi adalah bojog pingit mati secara tidak wajar di sekitar Pura Agung Pulaki. Pasca kematian bojog pingit itu, situasi mendadak sepi. Ribuan bojog duwe ramai-ramai mendaki Bukit Pulaki, seperti melakukan ritual khusus. Anehnya, pangempon pura tak pernah menemukan bangkai bojog duwe secara fisik.
“Kalau ada wanara yang mati, pasti mendadak sepi di sekitar pura ini. Saya sempat mengawasi dulu mereka (ribuan bojog due, Red) akan berjejer di atas bukit seperti melayat temannya. Tetapi, bangkai wanara tidak tahu dibawa ke mana. Kami tidak pernah menemukan bekas maupun bau busuk,” tutur Jro Nyoman Bagiarta.
Pura Agung Pulaki yang meruipakan salah satu Pura Dang Kahyangan di Bali, memang diyakini memiliki aura spirittual yang sangat tinggi. Sementara, bojog duwe di Pura Agung Pulaki terus dipelihara dengan baik, hingga populasinya saat ini mencapai sekitar 5.000 ekor.
Pangempon Pura Agung Pulaki rutin menganggarkan biaya untuk pakan bojog duwe sebesar Rp 20 juta per tahun. Pangempon pura menyiapkan makan 3 kali sehari dengan berbagai varian menu untuk bojog pingit. Menu dimaksud, mulai dari jagung, pepaya, ubi, pisang, bunga gumitir, hingga telor mentah. Pengempon juga menyiapkan kolam-kolam air yang dapat dimanfaatkan sebagai permandian bagi bojog duwe.
Menurut Jro Nyoman Bagiarta, perhatian tersebut membuat ribuan bojog duwe di Pura Agung Pulaki semakin jinak. Bahkan, setelah dilaksanakan upacara Tumpek Uye ketujuh kalinya, bojog duwe mulai tenang saat diupacarai. “Kalau dulu saat pertama kali diupacarai otonan Tumpek Uye, diperciki air suci saja wanari ini lari. Tapi, sekarang sudah jinak, mau diam saat natab banten. Saat dikasi makan, bahkan bisa dielus-elus tubuhnya.”
Sementara itu, pangempon Pura Agung Pulaki mengapresasui dan sambut baik instruksi Gubernur Bali Wayan Koster terkait perayaan upacara Tumpek Uye serentak. “Perhatian pemerintah untuk keseimbangan alam beserta isinya diharapkan terus berlanjut,” harap Jro Nyoman Bagiarta. *k23
Komentar