KPPU Bawa Masalah Migor ke Ranah Hukum
Pengusaha minyak goreng akan dipanggil untuk dimintai keterangan
JAKARTA, NusaBali
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) akan membawa masalah minyak goreng ke ranah hukum, termasuk terkait indikasi kartel dalam kenaikan harga komoditas tersebut.
"Berdasarkan berbagai temuan saat ini, Komisi memutuskan pada Rapat Komisi hari Rabu kemarin bahwa permasalahan minyak goreng dilanjutkan ke ranah penegakan hukum di KPPU," kata Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama KPPU Deswin Nur dalam keterangan di Jakarta, seperti dilansir Antara, Sabtu.
Deswin menjelaskan dalam proses penegakan hukum, fokus awal akan diberikan pada pendalaman berbagai bentuk perilaku yang berpotensi melanggar pasal-pasal tertentu di undang-undang.
"Berbagai fakta kelangkaan, potensi penimbunan atau sinyal-sinyal harga atau perilaku di pasar akan menjadi bagian dari pendalaman. Serta turut mengidentifikasi potensi terlapor dalam permasalahan tersebut," katanya.
Sebelumnya, KPPU melihat ada sinyal kartel dari kenaikan harga minyak goreng yang terjadi belakangan. Pasalnya, perusahaan-perusahaan besar di industri minyak goreng dinilai kompak untuk menaikkan harga secara bersamaan.
Padahal, berdasarkan data consentration ratio (CR) yang dihimpun KPPU pada 2019, terlihat bahwa sekitar 40 persen pangsa pasar minyak goreng dikuasai oleh empat perusahaan besar yang juga memiliki usaha perkebunan, pengolahan CPO, hingga beberapa produk turunan CPO seperti biodiesel, margarin dan minyak goreng.
"Ini perusahaan minyak goreng relatif menaikkan harga secara bersama-sama walaupun mereka masing-masing memiliki kebun sawit sendiri. Perilaku semacam ini bisa dimaknai sebagai sinyal bahwa apakah terjadi 'kartel'," kata Komisioner KPPU Ukay Karyadi beberapa waktu lalu.
Ukay mengatakan pihaknya akan memanggil para pengusaha untuk dimintai keterangan.
"Kami akan memanggil seluruh pemain di industri minyak goreng. Akan ditanya dipasok ke mana saja, distributornya siapa, bahan bakunya dari mana," katanya seperti dikutip dari detikcom, Sabtu (29/1).
Pemanggilan ini dilakukan untuk mengambil keterangan internal dari industri minyak goreng. Tentunya untuk mengusut adanya praktik kartel di balik kenaikan harga yang belakangan terjadi.
"Itu nanti akan dipanggil semuanya, untuk mencari alat bukti apakah ada pelanggaran pasal yang ada UU Persaingan Usaha atau tidak. Rabu kemarin dinaikkannya. Apakah pasalnya terkait kartel itu biar investigator KPPU yang menentukan," tambahnya.
Investigasi ini juga akan mengulik seberapa besar yang dipasok produsen minyak goreng ke pasaran, baik itu ke pasar tradisional, minimarket hingga supermarket. Pola distribusinya juga akan didalami oleh KPPU.
Menanggapi kekosongan stok hingga saat ini, Ukay mengungkap harus dipertanyakan apakah produsen minyak goreng memproduksi atau tidak.
Sebelumnya, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyebut bahwa penetapan harga minyak goreng Rp14 ribu sia-sia. Kebijakan satu harga tersebut diberlakukan di tengah harga 'selangit'. Pasalnya, YLKI menilai sebagai negara dengan penghasil minyak kelapa sawit (CPO) terbesar di dunia, seharusnya masyarakat menikmati harga minyak goreng yang terjangkau tanpa perlu ada program satu harga.
"Dalam catatan saya, kebijakan subsidi (dengan anggaran) Rp3,5 triliun dan 1,2 miliar liter itu sebuah kebijakan yang sia-sia seperti menggarami laut. Terbukti tidak efektif sampai detik ini," kata Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus dalam Webinar Para Syndicate, Jumat (28/1) seperti dikutip dari CNNIndonesia.com.
Kebijakan tersebut, lanjut Tulus, sebagai bentuk ketidakpahaman pemerintah terhadap kondisi pasar, psikologi konsumen, hingga rantai pasok minyak dalam negeri. Ia justru menyebut pemerintah melakukan praktik anti persaingan dengan menetapkan harga minyak goreng kemasan secara sepihak. *
"Berdasarkan berbagai temuan saat ini, Komisi memutuskan pada Rapat Komisi hari Rabu kemarin bahwa permasalahan minyak goreng dilanjutkan ke ranah penegakan hukum di KPPU," kata Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama KPPU Deswin Nur dalam keterangan di Jakarta, seperti dilansir Antara, Sabtu.
Deswin menjelaskan dalam proses penegakan hukum, fokus awal akan diberikan pada pendalaman berbagai bentuk perilaku yang berpotensi melanggar pasal-pasal tertentu di undang-undang.
"Berbagai fakta kelangkaan, potensi penimbunan atau sinyal-sinyal harga atau perilaku di pasar akan menjadi bagian dari pendalaman. Serta turut mengidentifikasi potensi terlapor dalam permasalahan tersebut," katanya.
Sebelumnya, KPPU melihat ada sinyal kartel dari kenaikan harga minyak goreng yang terjadi belakangan. Pasalnya, perusahaan-perusahaan besar di industri minyak goreng dinilai kompak untuk menaikkan harga secara bersamaan.
Padahal, berdasarkan data consentration ratio (CR) yang dihimpun KPPU pada 2019, terlihat bahwa sekitar 40 persen pangsa pasar minyak goreng dikuasai oleh empat perusahaan besar yang juga memiliki usaha perkebunan, pengolahan CPO, hingga beberapa produk turunan CPO seperti biodiesel, margarin dan minyak goreng.
"Ini perusahaan minyak goreng relatif menaikkan harga secara bersama-sama walaupun mereka masing-masing memiliki kebun sawit sendiri. Perilaku semacam ini bisa dimaknai sebagai sinyal bahwa apakah terjadi 'kartel'," kata Komisioner KPPU Ukay Karyadi beberapa waktu lalu.
Ukay mengatakan pihaknya akan memanggil para pengusaha untuk dimintai keterangan.
"Kami akan memanggil seluruh pemain di industri minyak goreng. Akan ditanya dipasok ke mana saja, distributornya siapa, bahan bakunya dari mana," katanya seperti dikutip dari detikcom, Sabtu (29/1).
Pemanggilan ini dilakukan untuk mengambil keterangan internal dari industri minyak goreng. Tentunya untuk mengusut adanya praktik kartel di balik kenaikan harga yang belakangan terjadi.
"Itu nanti akan dipanggil semuanya, untuk mencari alat bukti apakah ada pelanggaran pasal yang ada UU Persaingan Usaha atau tidak. Rabu kemarin dinaikkannya. Apakah pasalnya terkait kartel itu biar investigator KPPU yang menentukan," tambahnya.
Investigasi ini juga akan mengulik seberapa besar yang dipasok produsen minyak goreng ke pasaran, baik itu ke pasar tradisional, minimarket hingga supermarket. Pola distribusinya juga akan didalami oleh KPPU.
Menanggapi kekosongan stok hingga saat ini, Ukay mengungkap harus dipertanyakan apakah produsen minyak goreng memproduksi atau tidak.
Sebelumnya, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyebut bahwa penetapan harga minyak goreng Rp14 ribu sia-sia. Kebijakan satu harga tersebut diberlakukan di tengah harga 'selangit'. Pasalnya, YLKI menilai sebagai negara dengan penghasil minyak kelapa sawit (CPO) terbesar di dunia, seharusnya masyarakat menikmati harga minyak goreng yang terjangkau tanpa perlu ada program satu harga.
"Dalam catatan saya, kebijakan subsidi (dengan anggaran) Rp3,5 triliun dan 1,2 miliar liter itu sebuah kebijakan yang sia-sia seperti menggarami laut. Terbukti tidak efektif sampai detik ini," kata Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus dalam Webinar Para Syndicate, Jumat (28/1) seperti dikutip dari CNNIndonesia.com.
Kebijakan tersebut, lanjut Tulus, sebagai bentuk ketidakpahaman pemerintah terhadap kondisi pasar, psikologi konsumen, hingga rantai pasok minyak dalam negeri. Ia justru menyebut pemerintah melakukan praktik anti persaingan dengan menetapkan harga minyak goreng kemasan secara sepihak. *
Komentar