Kawasan Danau Tamblingan Disiapkan Konsep Konservasi Air
Jadi Sumber Air Sepertiga Pulau Bali
SINGARAJA, NusaBali
Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri (STAHN) Mpu Kuturan Singaraja bersama Yayasan Puri Kauhan Ubud, sedang menyiapkan program konservasi air Danau Tamblingan di Desa Munduk, Kecamatan Banjar, Buleleng.
Program konservasi dari hulu ke hilir itu terlahir saat Focus Group Discusion (FGD) yang digelar Senin (31/1) di Aula Gedung Rektorat STAHN Mpu Kuturan. Inisiasi FGD yang dirangkaikan dengan Sastra Saraswati Sewana 2022, mengacu pada konsep teo ekologi Hindu yang bersumber dari naskah kuno terkait ritual pemuliaan air. Sejumlah narasumber pun dihadirkan, seperti Filolog, Sugi Lanus, Gede Kresna dari Rumah Intaran, tokoh Catur Dessa Adat Dalem Tamblingan Jro Putu Ardana dan Pembina Yayasan Puri Kauhan Ubud, Anak Agung Bagus Ari Brahmanta.
Ketua Panitia Nyoman Suka Ardiyasa mengatakan, kegiatan ini merupakan gerakan kesadaran yang dilandasi gagasan pemikiran, yang kokoh untuk menggali teo ekologi Hindu terkait dengan konservasi air sebagai penghidupan. Termasuk membantu menginventarisasi berbagai bentuk kegiatan berkaitan dengan eko teologi yang dimiliki.
Dipilihnya Danau Tamblingan yang dikelilingi alas Mertajati yang disucikan krama desa adat Catur Dalem Tamblingan karena merupakan sumber mata air yang sangat vital. Danau Tamblingan dan alas Mertajati selama ini menyuplai kebutuhan air sepertiga wilayah Bali meliputi Kabupaten Buleleng dan Kabupaten Tabanan.
“Fungsinya tentu sangat penting sebagai penjaga keseimbangan dan layanan ekosistem yang ada di sebagian Pulau Bali. Sehingga penting untuk dijaga bersama, demi keberlangsungan sumber air bagi sebagian Pulau Bali,” ujar Suka Ardiyasa yang juga dosen STAHN Mpu Kuturan Singaraja. Keberadaan Danau Tamblingan dan alas Mertajati mengacu sumber-sumber tertulis pernah menjadi titik peradaban. Sumber-sumber terkait dengan keberadaan Tamblingan pada masa Bali kuno, termuat dalam beberapa prasasti yang ditemukan di kawasan Danau Tamblingan.
Filolog Sugi Lanus salah satu narasumber yang dihadirkan pada FGD memaparkan, kawasan Danau Tamblingan merupakan salah satu kawasan suci. Hal itu dibuktikan dengan adanya prasasti-prasasti Bali Kuno yang berangka tahun sezaman dengan prasasti pada masa Mpu Sindok hingga Majapahit.
Menurutnya pemuliaan air dalam kawasan danau Tamblingan yang dibuktikan dengan adanya teks-teks dalam prasasti atau lontar. Pemuliaan dalam kawasan Danau Tamblingan dibuktikan dengan upacara ngarurang pakelem yang selalu mencari hulu wilayah Buleleng.
“Desa-desa Bali Aga yang ada di sekitar Danau Tamblingan menempati sekeliling danau sebagai bentuk pemuliaan dan penghormatan keberadaan danau Tamblingan sebagai kawasan suci. Berbagai ritual penghormatan terhadap danau Tamblingan seperti Karya Alilitan, Mapag Toya merupakan teks berjalan selain sumber-sumber prasasti,” jelas Sugi Lanus.
Upaya pemuliaan air yang telah dilakukan ribuan tahun silam diharapkan tetap terjaga kelestariannya. Dia juga menyarankan kawasan Tamblingan diusulkan sebagai tempat wisata spiritual, yang didukung dan dikuatkan oleh sejumlah beberapa jenis pohon yang dilindungi tercantum dalam prasasti.
Sementara itu, Jro Putu Ardana selaku tokoh Adat Catur Desa Adat Dalem Tamblingan mengatakan, saat ini sedang melakukan berbagai upaya revitalisasi. Seperti mendorong agar mengembalikan alam alas Mertajati ke adat bukan lagi milik negara. Permohonan alas Mertajati menjadi milik adat sudah dilakukan sejak tahun 2017 lalu. Bahkan Desa Adat Catur Dalem Tamblingan telah melakukan pemetaan sosial budaya, invertarisasi flora dan fauna, nilai nilai luhur, dalam menjaga danau sebagai suplayer air.
“Kami telah melakukan digitaliasasi terhadap prasasti oleh kaum muda terkait Tamblingan dan alas Mertajati. Sekarang dalam proses permohonan ke KLKH untuk mendapatkan kembali hutan kami,” jelas Jro Ardana.
Di sisi lain, Gede Kresna dalam pemaparannya mengatakan kebiasaan buruk sebagian masyarakat saat ini yang menebangi pohon bambu dan rotan di hutan, berdampak sangat buruk pada serapan air hujan. Hal itu membuat sejumlah sungai dan mata air saat ini mengalami penurunan debit air.
“Banyak tanaman yang dapat menyerap air seperti jenis Ficus (beringin, loa, bunut) mulai hilang, karena ditebang, sehingga air tidak dapat diserap dan ditahan dengan baik. Sebenarnya potensi ekonomi hutan itu sangat besar. Semisal, dengan melestarikan Tanaman Kapulaga di hutan itu sudah luar biasa. Jadi tugas manusia adalah sebagai pembantu penyebar benih tanaman-tanaman ini secara merata,” ungkap Gede Kresna.*k23
1
Komentar