Tuding Ada Mafia Tanah
Krama Desa Adat Kubutambahan Gelar Orasi
Kelian Desa Adat Kubutambahan, Jro Warkadea menjelaskan, orasi yang dilakukan sejumlah krama tergabung dalam Kompada tidak berdasar
SINGARAJA, NusaBali
Polemik lahan Duwen Pura di Desa Adat Kubutambahan, Kecamatan Kubutambahan, Buleleng seluas 370 hektare yang disewakan kepada PT Pinang Propertindo, kembali mencuat. Sejumlah krama Kubutambahan yang tergabung dalam Komunitas Penyelamat Asset Desa Adat (Kompada) Kubutambahan, pada Senin (31/1) menggelar orasi terkait polemik lahan tersebut.
Aksi orasi dikoordinir oleh Gede Suardana bersama Ketua Kompada, Ketut Ngurah Mahkota, bertempat di Balai Banjar Kaje Kangin, Kubutambahan. Mereka juga memasang beberapa spanduk bertuliskan dugaan penggelapan kontrak tanah, sertifikat ganda dan tulisan-tulisan lainnya.
Bahkan sejumlah krama Desa Adat Kubutambahan ini, menduga ada praktek mafia tanah yang dilakukan pihak Investor dibalik disewanya tanah duwen pura. Kasus ini pun telah berproses di Polres Buleleng yang dilaporkan langsung oleh sejumlah krama tergabung dalam Kompada tersebut.
Ketua Kompada Kubutambahan, Ketut Ngurah Mahkota mengatakan, aksi ini dilakukannya hanya untuk mensosialisasikan kemelut yang terjadi di Desa Adat Kubutambahan terutama perjanjian tanah milik pura yang sekarang dipegang oleh diduga mafia tanah. Mengingat, sewa kontrak lahan terlalu lama.
"Sewa kontrak ini, tidak melalui paruman dan hanya ditandatangani dua orang. Kami hanya mengakui sewa kontrak 2002 sampai 2032, dan untuk perpanjangan berikutnya kami tidak mengakuinya serta kami tidak ikut menandatangani. Jangan sampai tanah milik pura dikuasai oleh mafia tanah," kata Ngurah Mahkota.
Koordinator Aksi Orasi, Gede Suardana menegaskan, investor yang menyewa lahan itu sempat berjanji di tahun 2001 akan segera membangun sarana dan pra sarana wisata, namun sampai sekarang belum terealisasi. Atas dasar itulah, Suardana menyebut investor itu sebagai mafia tanah.
"Investor ini hanya mencari SHGB yang tujuannya mencari Bank. Lalu ada rencana proyek bandara, SHGB dipakai alat untuk cari keuntungan. Investor ini mengontrak tanah Rp4 miliar dan belum lunas. Selanjutnya tanah yang dikontrak rencana ada bandara, dia minta ganti rugi Rp1,4 triliun. Apa ini tidak mafia tanah," ucap Suardana.
Terkait dengan kontrak tanah tanpa batas waktu, menurut Suardana dilakukan oleh Kelian Desa Adat Kubutambahan, Jro Pasek Ketut Warkadea dengan investor tanpa melalui paruman desa."Disini ada permainan dan merugikan krama desa. Kami berharap, ada atensi khusus dari pihak berwajib terkait kasus tanah Kubutambahan, agar krama tidak kehilangan hak kelola atas tanah itu," tegas Suardana.
Menyikapi hal tersebut, Kelian Desa Adat Kubutambahan, Jro Warkadea menjelaskan, orasi yang dilakukan sejumlah krama tergabung dalam Kompada tidak berdasar. Bahkan, laporan terhadap dirinya tentang penggelapan dan penipuan atas sewa menyewa lahan itu, tidak memenuhi bukti.
"Saya sudah diklarifikasi penyidik terkait pengaduan masyarakat. Ya, sampai sekarang clear. Jadi tidak ada hal-hal yang dituduhkan, baik itu penggelapan maupun penipuan. Karena semua krama desa sudah diminta keterangan. Astungkara, sampai sekarang justru tidak ada masalah," jelas Jro Warkadea.
Bahkan persoalan sewa lahan yang dianggap terlalu lama ini, menurut Jro Warkadea, sudah dibahas pada paruman beberapa waktu lalu. Tapi justru, salah seorang krama yang menjadi pentolan dalam Kompada ini justru 'walk out'. "Ini sudah buat suasana gaduh. Saat ada persoalan kenapa tidak ditanyakan?. Waktu ini saya gelar paruman, justru dia walk out. Jadi menurut saya, dia itu telah menciptakan konflik di desa adat Kubutambahan," pungkas Jro Warkadea.*mz
Aksi orasi dikoordinir oleh Gede Suardana bersama Ketua Kompada, Ketut Ngurah Mahkota, bertempat di Balai Banjar Kaje Kangin, Kubutambahan. Mereka juga memasang beberapa spanduk bertuliskan dugaan penggelapan kontrak tanah, sertifikat ganda dan tulisan-tulisan lainnya.
Bahkan sejumlah krama Desa Adat Kubutambahan ini, menduga ada praktek mafia tanah yang dilakukan pihak Investor dibalik disewanya tanah duwen pura. Kasus ini pun telah berproses di Polres Buleleng yang dilaporkan langsung oleh sejumlah krama tergabung dalam Kompada tersebut.
Ketua Kompada Kubutambahan, Ketut Ngurah Mahkota mengatakan, aksi ini dilakukannya hanya untuk mensosialisasikan kemelut yang terjadi di Desa Adat Kubutambahan terutama perjanjian tanah milik pura yang sekarang dipegang oleh diduga mafia tanah. Mengingat, sewa kontrak lahan terlalu lama.
"Sewa kontrak ini, tidak melalui paruman dan hanya ditandatangani dua orang. Kami hanya mengakui sewa kontrak 2002 sampai 2032, dan untuk perpanjangan berikutnya kami tidak mengakuinya serta kami tidak ikut menandatangani. Jangan sampai tanah milik pura dikuasai oleh mafia tanah," kata Ngurah Mahkota.
Koordinator Aksi Orasi, Gede Suardana menegaskan, investor yang menyewa lahan itu sempat berjanji di tahun 2001 akan segera membangun sarana dan pra sarana wisata, namun sampai sekarang belum terealisasi. Atas dasar itulah, Suardana menyebut investor itu sebagai mafia tanah.
"Investor ini hanya mencari SHGB yang tujuannya mencari Bank. Lalu ada rencana proyek bandara, SHGB dipakai alat untuk cari keuntungan. Investor ini mengontrak tanah Rp4 miliar dan belum lunas. Selanjutnya tanah yang dikontrak rencana ada bandara, dia minta ganti rugi Rp1,4 triliun. Apa ini tidak mafia tanah," ucap Suardana.
Terkait dengan kontrak tanah tanpa batas waktu, menurut Suardana dilakukan oleh Kelian Desa Adat Kubutambahan, Jro Pasek Ketut Warkadea dengan investor tanpa melalui paruman desa."Disini ada permainan dan merugikan krama desa. Kami berharap, ada atensi khusus dari pihak berwajib terkait kasus tanah Kubutambahan, agar krama tidak kehilangan hak kelola atas tanah itu," tegas Suardana.
Menyikapi hal tersebut, Kelian Desa Adat Kubutambahan, Jro Warkadea menjelaskan, orasi yang dilakukan sejumlah krama tergabung dalam Kompada tidak berdasar. Bahkan, laporan terhadap dirinya tentang penggelapan dan penipuan atas sewa menyewa lahan itu, tidak memenuhi bukti.
"Saya sudah diklarifikasi penyidik terkait pengaduan masyarakat. Ya, sampai sekarang clear. Jadi tidak ada hal-hal yang dituduhkan, baik itu penggelapan maupun penipuan. Karena semua krama desa sudah diminta keterangan. Astungkara, sampai sekarang justru tidak ada masalah," jelas Jro Warkadea.
Bahkan persoalan sewa lahan yang dianggap terlalu lama ini, menurut Jro Warkadea, sudah dibahas pada paruman beberapa waktu lalu. Tapi justru, salah seorang krama yang menjadi pentolan dalam Kompada ini justru 'walk out'. "Ini sudah buat suasana gaduh. Saat ada persoalan kenapa tidak ditanyakan?. Waktu ini saya gelar paruman, justru dia walk out. Jadi menurut saya, dia itu telah menciptakan konflik di desa adat Kubutambahan," pungkas Jro Warkadea.*mz
Komentar