Pengawen Jualbelikan Tanah Negara
Tanah awen di Desa Medewi dan Desa Yehembang laku Rp 2 juta hingga Rp 3 juta per are.
NEGARA, NusaBali
Alih fungsi hutan lindung dijadikan kebun (awen) di Kabupaten Jembrana semakin parah. Lahan kebun yang dikavling-kavling oleh pengawen itu diperjualbelikan secara bebas. Dampak alih fungsi hutan lindung dirasakan oleh petani yang kesulitan air saat musim kemarau. Sementara saat musim hujan justru menimbulkan bencana banjir.
Informasi di lapangan, hutan lindung dari kawasan utara perbatasan Jembrana-Buleleng semakin gundul akibat ulah pengawen. Para pengawen merupakan warga penyanding hutan lindung. Mereka menebang pohon dijadikan kebun. Mereka tanam pisang, jeruk, durian, manggis, cengkih, dan lainnya. “Dari pinggir masih banyak terlihat hutan. Begitu masuk ke dalam, hampir seluruhnya ditanami pisang,” ujar salah seorang krama penyanding hutan di Kecamatan Pekutatan, Kamis (23/2).
Lahan garapan pengawen ini biasanya dipagari. Bahkan tidak sedikit yang membangun kubu (bale tempat peristirahatan semi permanen) dan bangun bade (kandang) sapi. Celakanya, lahan awen di Tanah Negara yang dijadikan kebun itu juga diperjuabelikan. Harganya bervariasi. Di Desa Medewi, Kecamatan Pekutatan dan Desa Yehembang, Kecamatan Mendoyo harga jual tanah awen Rp 2 juta hingga Rp 3 juta per are. “Yang beli biasanya dari luar desa. Jual belinya hanya di bawah tangan,” imbuh sumber di lapangan.
Dikatakan, pihak adat yang menjadi penyanding hutan sudah memiliki awig-awig (aturan) tentang pengawen. Hanya saja, desa adat penyanding kesulitan menindak pelaku yang dari luar desa. Pemerintah diharapkan turun tangan menyikapi permasalahn yang hanya menguntungkan segelintir orang itu. “Sudah jelas jualbelikan lahan milik negara, harusnya ditindak agar tidak semakin liar,” pintanya.
Sementara Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan Bali Barat Pemrov Bali, Irwan Abdullan saat dikonfirmasi enggan menanggapi aktivitas pengawen di Tanah Negara. Ia hanya membantah pengawen semakin leluasa obrak-abrik hutan lindung. “Silahkan langsung datang ke kantor agar informasinya benar,” pinta Irwan Abdullah. * ode
Alih fungsi hutan lindung dijadikan kebun (awen) di Kabupaten Jembrana semakin parah. Lahan kebun yang dikavling-kavling oleh pengawen itu diperjualbelikan secara bebas. Dampak alih fungsi hutan lindung dirasakan oleh petani yang kesulitan air saat musim kemarau. Sementara saat musim hujan justru menimbulkan bencana banjir.
Informasi di lapangan, hutan lindung dari kawasan utara perbatasan Jembrana-Buleleng semakin gundul akibat ulah pengawen. Para pengawen merupakan warga penyanding hutan lindung. Mereka menebang pohon dijadikan kebun. Mereka tanam pisang, jeruk, durian, manggis, cengkih, dan lainnya. “Dari pinggir masih banyak terlihat hutan. Begitu masuk ke dalam, hampir seluruhnya ditanami pisang,” ujar salah seorang krama penyanding hutan di Kecamatan Pekutatan, Kamis (23/2).
Lahan garapan pengawen ini biasanya dipagari. Bahkan tidak sedikit yang membangun kubu (bale tempat peristirahatan semi permanen) dan bangun bade (kandang) sapi. Celakanya, lahan awen di Tanah Negara yang dijadikan kebun itu juga diperjuabelikan. Harganya bervariasi. Di Desa Medewi, Kecamatan Pekutatan dan Desa Yehembang, Kecamatan Mendoyo harga jual tanah awen Rp 2 juta hingga Rp 3 juta per are. “Yang beli biasanya dari luar desa. Jual belinya hanya di bawah tangan,” imbuh sumber di lapangan.
Dikatakan, pihak adat yang menjadi penyanding hutan sudah memiliki awig-awig (aturan) tentang pengawen. Hanya saja, desa adat penyanding kesulitan menindak pelaku yang dari luar desa. Pemerintah diharapkan turun tangan menyikapi permasalahn yang hanya menguntungkan segelintir orang itu. “Sudah jelas jualbelikan lahan milik negara, harusnya ditindak agar tidak semakin liar,” pintanya.
Sementara Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan Bali Barat Pemrov Bali, Irwan Abdullan saat dikonfirmasi enggan menanggapi aktivitas pengawen di Tanah Negara. Ia hanya membantah pengawen semakin leluasa obrak-abrik hutan lindung. “Silahkan langsung datang ke kantor agar informasinya benar,” pinta Irwan Abdullah. * ode
1
Komentar