Minyak Goreng Murah Masih Gaib
JAKARTA, NusaBali
Kebijakan pemerintah menurunkan harga minyak goreng tampaknya masih belum terlalu efektif.
Pasokan minyak goreng yang dijual sesuai dengan harga eceran tertinggi (HET) yang telah ditetapkan pemerintah masih saja sulit ditemukan alias gaib.
Alhasil, masyarakat masih harus terpaksa membeli minyak goreng dengan harga tinggi. Masih tingginya harga minyak goreng di pasaran mendapat sorotan Anggota Komisi VI DPR RI yang membidangi masalah perdagangan, Mufti Anam.
Hal itu, menurut Mufti, menunjukkan Kementerian Perdagangan tidak cukup mampu mengelola kebijakannya sendiri. Seharusnya jika mengacu HET yang ditetapkan, yaitu minyak goreng curah sebesar Rp11.500 per liter, kemasan sederhana Rp13.500 per liter, dan kemasan premium Rp14.000 per liter. HET tersebut harusnya mulai berlaku 1 Februari 2022, setelah sebelumnya ada kebijakan satu harga Rp14.000 per liter.
"Itu semua tidak terbukti di lapangan. Di pasar harga masih Rp16 ribu, ada pula Rp18 ribu, Rp20 ribu. Kalau pun ada Rp14 ribu per liter, barangnya tidak ada. Ini saya cek langsung di beberapa tempat di Pasuruan dan Probolinggo. Saya tanya jaringan pelaku usaha makanan di Surabaya juga sama, demikian pula di beberapa daerah," ujarnya, seperti dilansir detikcom, Minggu (6/2).
Bahkan, di laman Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional yang didata dari 82 kabupaten/kota se-Indonesia, harga minyak goreng curah di berbagai provinsi masih banyak yang berada di level Rp15 ribu per liter, bahkan hingga Rp19 rbu per liter. Seperti yang terjadi di Jawa Timur, Jogyakarta, Banten, Jateng, Jabar, Jakarta, dan berbagai provinsi lainnya.
Adapun minyak goreng kemasan dibanderol dengan harga yang juga jauh di atas ketetapan Kementerian Perdagangan, hingga level Rp20 ribu per liter di berbagai provinsi di Tanah Air.
Mantan Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia Jawa Timur ini menyayangkan masalah minyak goreng ini terjadi, padahal pengendalian harga minyak goreng ini perintah Presiden Joko Widodo.
"Padahal pengendalian harga minyak goreng ini perintah Presiden Joko Widodo sejak awal Januari lalu. Artinya, Kementerian Perdagangan, Mendag Pak Muhammad Lutfi, kurang optimal mengamankan perintah presiden. Padahal ini juga untuk kepentingan rakyat luas yang kini kesulitan karena harga minyak goreng terus bertahan di level tinggi," kata Mufti.
Mufti mengungkapkan Komisi VI DPR sudah berkali-kali dalam rapat diingatkan pentingnya kontrol, pentingnya monitoring, kemudiann sanksi yang jelas bila ada pelanggaran di lapangan.
"Tapi kenapa ini kok seolah dibiarkan terjadi begitu saja, tidak ada kontrol, padahal secara kasat mata kita bisa lihat kebijakan Mendag ini tidak berjalan di lapangan. Menjadi tidak mengherankan, di bawah, publik bertanya-tanya ada apa kok kebijakan harga minyak goreng ini tidak berjalan? Ada permainan?" imbuh Mufti.
Mufti menambahkan, selama ini dia mendapat info bahwa Kementerian Perdagangan kurang berkoordinasi dengan kementerian lain terkait pengendalian harga maupun pengelolaan perdagangan secara umum. Misalnya dengan Kementerian Pertanian.
"Ada beberapa preseden buruk yang menunjukkan lemahnya koordinasi Kemendag. Misalnnya soal harga telur beberapa waktu lalu. Ke depan ini harus diperbaiki, apalagi tidak lama lagi memasuki bulan puasa dan Lebaran. Bisa-bisa makin kacau harga-harga kalau Kemendag tidak memperbaiki kinerja," tuturnya.
Terkait minyak goreng, Mufti juga mendukung Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk menyelidiki potensi kartel dalam bisnis minyak goreng di Indonesia yang disebut KPPU terkonsentrasi pada segelintir perusahaan besar saja dengan pangsa pasar mencapai 46,5%. *
Komentar