Meski Tak Dapat Pelayanan Adat, Tetap Boleh Tangkil ke Pura Kahyangan Desa
Mantan Bendesa Adat Peninjoan, Kecamatan Tembuku Ngaku Kasepekang Pasca Mundur sebagai Krama Pengiring
Setekah kasepekang, Sang Anom Subadra dan keluarganya ingin kembali menjadi krama adat. Namun, mantan Bendesa Adat Peninjoan ini urungkan niatnya karena keberatan harus bayar pamidanda Rp 8,5 juta.
BANGLI, NusaBali
Mantan Bendesa Adat Peninjoan, Kecamatan Tembuku, Bangli, Sang Anom Subadra, mengaku kasepekang (dikucilkan secara adat) pasca mundur sebagai krama pengiring (jadi Sekaa Gong). Berniat kembali menjadi krama adat pasca kasepekang, Sang Anom Subadra mengurungkan niatnya karena harus bayar Rp 8,5 juta ke desa adat.
Sang Anom Subadra kasepekang dari Desa Adat Peninjaun bersama satu kepala keluarga (KK) lainnya asal Banjar Peninjoan, yang notabene putra kandungnya. Menurut Sang Anom Subadra, persoalan adat ini sudah bergulir selama 5 tahun sejak 2017 silam.
Sang Anom Subadra sendiri sempat selama 10 tahun menjabat sebagai Bendasa Adat Peninjoan periode 2006-2016. Persoalan adat kemudian muncul tahun 2017. Kisahnya, setelah berhendi menjabat Bendesa Adat Peninjoan, Anom Subadra diwajibkan untuk menjadi pengiring sebagai Sekaa Gong.
Susah bagi Anom Subadra menjadi Sekaan Gong, karena tokoh adat yang juga mantan guru ini tidak memiliki kemampuan di bidang seni. Dia juga tak bisa megambel (menabuh gong). "Saya ini tidak bisa menabuh gong atau menari," ujar Anom Subadra kepada NusaBali di Bangli, Minggu (6/2).
Karena itu, Anom Subadra mengaku mundur sebagai pengiring pada Mei 2017. Desa Adat Penjoan pun menggelar paruman untuk menyikapi pengundiran diri sang mantan bendesa sebagai pengiring. Berdasarkan paruman yang diagelar pada 28 Juni 2017 tersebut, diputuskan Anom Subadra dibebaskan dari kewajiban atau ayah-ayahan di Desa Adat Pe-ninjoan. "Maka, ketika ada patedunan, nama saya tidak ada dalam bacakan (catatan). Nama tiyang ten cacakine (nama saya tidak masuk catatat, Red)," kenang Anom Subadra. Selain itu, Anom Subadra juga tidak lagi mendapat arah-arahan.
Menurut Anom Subadra, ketika putranya menikah tahun 2019, tidak mendapat upasaksi dari desa adat. Bahkan, krama yang datang ke rumah Anom Subadra saat pernikahan putranya itu, justru dikenakan denda oleh desa adat sebesar Rp 250.000. Ada puluhan orang yang dikenakan denda sebesar itu, namun sebagian dari mereka tidak mau membayar. "Masa keluarga kami yang datang ke rumah pun dikenai denda?" cerita Anom Subadra.
Atas rentetan kejadian tersebut, Anom Subadra berjuang bahkan hingga ke Polda Bali. Pada 17 Juli 2020, Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kabupaten Bangli memfasilitasi untuk penyelesaian masalah adat yang dialami keluarga Anom Subadra dan anaknya yang baru setahun menikah. Saat itu, ada kesepakatan perdamaian yang berisi beberapa poin penting.
Meski sudah ada kesepakatan perdamaian per 17 Juli 2020, namun hingga kini belum ada titik temu. Menurut Anom Subadra, pihaknya diminta untuk membayar Rp 8,5 juta untuk bisa kembali menjadi krama Desa Adat Peninjoan secara utuh, lengkap dengan ayah-ayahan dan dapat arah-arahan. Hanya saja, Anom Subadra enggan penuhi persyaratan bayar Rp 8,5 juta itu. Kenapa?
Menurut Anom Subadra, pihaknya siap membayar Rp 8,5 juta asalkan dijelaskan oleh desa adat di mana letak kesalahannya. "Kami sebenarnya siap membayar Rp 8,5 juta. Tetapi, kami minta penjelasan di mana letak salah kami. Namun, sampai sekarang tidak ada penjelasan. Saya tanya, Bendesa Adat Peninjoan tidak bisa menjelaskan kesalahan saya," papar Anom Subadra.
Karena persoalan berlarut-larut, Anom Subadra mengaku kembali mendatangi Polsek Tembuku dan Majelius Desa Adat (MDA) Kabupaten Bangli, 3 Februari 2022 lalu. Versi Anom Subadra, pihaknya datang ke Polsek Tembuku untuk memohon petunjuk terkait keputusan Bendesa Adat Peninjoan, 28 Juni 2017, yang membebaskan dirinya dari kewajiban ayah-ayahan dan dapat arah-arahan.
Sementara itu, mantan Bendesa Adat Peninjoan, I Ketut Artawan, mengatakan sesuai dengan awig-awig desa adat, ‘barang siapa yang membeli tanah ayahan desa (AYDS) memiliki kewajiban untuk mekrama adat, baik banjar gede maupun sebagai pengiring. Disebutkan, setelah Sang Anom Subadra diberhentikan menjadi bendesa adat tahun 2016, yang bersangkutan kemudian mengajukan diri mundur sebagai krama pengiring.
"Sekitar 4 bulan setelah berhenti menjadi Bendesa Adat Peninoan, yang bersangkutan (Anom Subadra) mengajukan surat pengunduran diri sebagai pengiring. Berdasarkan usulan tersebut, maka digelar paruman adat dengan keputusan yang bersangkutan disetujui untuk mengundurkan diri," jelas Ketut Artawan sacara terpisah di Desa Peninjoan, Minggu lalu.
Ketut Artawan menegaskan, agar tidak bertentangan dengan HAM, dalam kasus ini Desa Adat Peninjoan tidak sampai mengusir Anom Subadra dan keluarganya dari wewidangan desa adat. Hanya saja, saat sanksi dijatuhkan, Anom Subadra tidak mendapatkan pelayanan adat. “Karena sudah tidak menjadi krama Desa Adat Peninjoan, maka yang bersangkutan tidak mendapat pelayanan adat,” terang Ketut Artawan.
Atas permasalahan tersebut, kata Ketut Artawan, Anom Subadra kemudian sampai melapor ke Polda Bali. Menurut Artawan, dirinya sempat beberapa kali dimintai keterangan oleh petugas kepolisian terkait masalah ini.
Artawan menyebutkan, sekitar tahun 2019 lalu, Anom Subadra tiba-tiba mengungkapkan keinginannya untuk kembali menjadi krama Desa Adat Peninjoan. Pihak desa adat pun kembali menggelar paruman untuk menyikapi keinginan Anom Subadra dan keluarganya.
Dalam parumanan adat tersebut, kata Artawan, dibahas aturan apa yang dikenakan karena Anom Subadra istilahnya berhenti sengaja. Maka, dikenakanlah pamidanda. "Yang bersangkutan (Anom Subadra) dikenakan pamidanda dan penaur petedunan senilai Rp 8,5 juta. Dengan pamidanda ini, diharapkan tidak ada lagi krama yang berhenti ketika ada kegiatan besar, lalu kembali menjadi krama setelah kegiatan selesai," beber Artawan.
Menurut Artawan, hasil paruman tersebut belum sempat disampaikan, Anom Subadra justru kembali melapor. Bahkan, kemudian dilakukan rapat yang dihadiri Kesbangpol Bangli, kepolisian, dan kejaksaan. "Mediasi itu dilakukan tahun 2020 (tepatnya 17 Juli 2020, Red). Dalam mediasi itu muncul kesepakatan damai, di mana yang bersangkutan juga menyampaikan permohonan maaf," kenang Artawan.
Kesepakatan perdamaian itu, kata Artawan, sudah ditandatangani keduabelah pihak. Namun, Anom Subadra justru tidak mau membayar pamidanda Rp 8,5 juta tersebut. Yang bersangkutan maunya disebut mapunia, bukan membayar pamidanda. “Tentu saja berbeda itu antara membayar pamidanda dan mapunia.”
Disinggung mengenai denda Rp 250.000 bagi krama yang menghadiri upacara perkawinan puyra dari Anom Subadra, menurut Artawan, hal itu memang benar adanya. Denda tersebut juga diterapkan sesuai dengan hasil paruman.
Artawan mengatakan, bagi mereka yang tidak mendapat pelayanan adat, maka mereka tidak boleh dapat upasaksi dari krama desa dan prajuru adat saat ada upacara pawiwahan. Selain itu, juga tidak menyangra kelayu sekaran, mereka juga tidak boleh ngangkatan Pamangku Kahyangan Desa. "Barang siapa yang datang ke sana, maka kena mapidanda," tegas Artawan.
Sedangkan Bendesa Adat Peninjoan (saat ini), Sang Nyoman Sineb, mengatakan pihaknya akan meneruskan keputusan yang diambil bendesa adat sebelumnya. Apa yang menjadi kesepakatan perdamaian, tentu hal tersebut yang harus dijalankan. Menurut sang Nyoman Sined, status Sang Anom Subadra bukan lagi krama adat di Desa Adat Peninjoan.
"Tugas saya menerima kembali (Anom Subadra sebagai kramna adat, Red) dengan syarat memenuhi aturan sesuai awig, pararem, dan keputusan desa adat. Maka, sesuai keputusan sebelumnya, dia harus membayar pamidanda sebesar Rp 8,5 juta," terang Sang Nyoman Sineb sembari menunjukan surat kesepakatan perdamaian keduabelah pihak.
Sang Nyoman Sineb menegaskan, jika persyaratan pamidanda tersebut dipenuhi, tentunya Anom Subadra akan diterima kembali sebagai krama adat. “Selama itu, yang bersangkutan dan keluarganya tetap diizinkan sembahyang ke Pura Kahyangan Tiga. Cuma, mereka tidak dapat pelayanan adat,” tegas Sang Nyoman Sineb.
Dikonfirmasi NusaBali terpisah, Bendesa Madya MDA Kabupaten Bangli, Jro Ketut Kayana, mengatakan Tim Kewapadaan Dini Kesbangpol Bangli sebelumhya sudah memediasi kasus Anom Subadra. Kasus ini pun dianggap sudah selesai, setelah ada surat kesepakatan perdamaian. “Bila ada persoalan baru lagi, hendaknya dibicarakan dulu di desa adat,” kata Jro Ketut Kayana.
Jro Ketut Kayana menyebutkan, Anom Subdra belum lama ini kembali mendatangi Kantor MDA Kabupaten Bangli, Jro Ketut Kayana pun menyarankan yang bersangkutan untuk menyelesaikan masalahnya secara adat. “Penyelesaian mulai dari desa adat, yang meliputi kerta desa. Jika tidak ada hasil, dapat dilanjutkan ke MDA Kecamatan. Bila mediasi tidak ada kata sepakat, maka dilanjutkan ke MDA Kabupaten. Jadi, kami harapkan untuk diselesaikan dulu secara baik-baik di desa adat," tegas Jro Ketut Kayana. *esa
Sang Anom Subadra kasepekang dari Desa Adat Peninjaun bersama satu kepala keluarga (KK) lainnya asal Banjar Peninjoan, yang notabene putra kandungnya. Menurut Sang Anom Subadra, persoalan adat ini sudah bergulir selama 5 tahun sejak 2017 silam.
Sang Anom Subadra sendiri sempat selama 10 tahun menjabat sebagai Bendasa Adat Peninjoan periode 2006-2016. Persoalan adat kemudian muncul tahun 2017. Kisahnya, setelah berhendi menjabat Bendesa Adat Peninjoan, Anom Subadra diwajibkan untuk menjadi pengiring sebagai Sekaa Gong.
Susah bagi Anom Subadra menjadi Sekaan Gong, karena tokoh adat yang juga mantan guru ini tidak memiliki kemampuan di bidang seni. Dia juga tak bisa megambel (menabuh gong). "Saya ini tidak bisa menabuh gong atau menari," ujar Anom Subadra kepada NusaBali di Bangli, Minggu (6/2).
Karena itu, Anom Subadra mengaku mundur sebagai pengiring pada Mei 2017. Desa Adat Penjoan pun menggelar paruman untuk menyikapi pengundiran diri sang mantan bendesa sebagai pengiring. Berdasarkan paruman yang diagelar pada 28 Juni 2017 tersebut, diputuskan Anom Subadra dibebaskan dari kewajiban atau ayah-ayahan di Desa Adat Pe-ninjoan. "Maka, ketika ada patedunan, nama saya tidak ada dalam bacakan (catatan). Nama tiyang ten cacakine (nama saya tidak masuk catatat, Red)," kenang Anom Subadra. Selain itu, Anom Subadra juga tidak lagi mendapat arah-arahan.
Menurut Anom Subadra, ketika putranya menikah tahun 2019, tidak mendapat upasaksi dari desa adat. Bahkan, krama yang datang ke rumah Anom Subadra saat pernikahan putranya itu, justru dikenakan denda oleh desa adat sebesar Rp 250.000. Ada puluhan orang yang dikenakan denda sebesar itu, namun sebagian dari mereka tidak mau membayar. "Masa keluarga kami yang datang ke rumah pun dikenai denda?" cerita Anom Subadra.
Atas rentetan kejadian tersebut, Anom Subadra berjuang bahkan hingga ke Polda Bali. Pada 17 Juli 2020, Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kabupaten Bangli memfasilitasi untuk penyelesaian masalah adat yang dialami keluarga Anom Subadra dan anaknya yang baru setahun menikah. Saat itu, ada kesepakatan perdamaian yang berisi beberapa poin penting.
Meski sudah ada kesepakatan perdamaian per 17 Juli 2020, namun hingga kini belum ada titik temu. Menurut Anom Subadra, pihaknya diminta untuk membayar Rp 8,5 juta untuk bisa kembali menjadi krama Desa Adat Peninjoan secara utuh, lengkap dengan ayah-ayahan dan dapat arah-arahan. Hanya saja, Anom Subadra enggan penuhi persyaratan bayar Rp 8,5 juta itu. Kenapa?
Menurut Anom Subadra, pihaknya siap membayar Rp 8,5 juta asalkan dijelaskan oleh desa adat di mana letak kesalahannya. "Kami sebenarnya siap membayar Rp 8,5 juta. Tetapi, kami minta penjelasan di mana letak salah kami. Namun, sampai sekarang tidak ada penjelasan. Saya tanya, Bendesa Adat Peninjoan tidak bisa menjelaskan kesalahan saya," papar Anom Subadra.
Karena persoalan berlarut-larut, Anom Subadra mengaku kembali mendatangi Polsek Tembuku dan Majelius Desa Adat (MDA) Kabupaten Bangli, 3 Februari 2022 lalu. Versi Anom Subadra, pihaknya datang ke Polsek Tembuku untuk memohon petunjuk terkait keputusan Bendesa Adat Peninjoan, 28 Juni 2017, yang membebaskan dirinya dari kewajiban ayah-ayahan dan dapat arah-arahan.
Sementara itu, mantan Bendesa Adat Peninjoan, I Ketut Artawan, mengatakan sesuai dengan awig-awig desa adat, ‘barang siapa yang membeli tanah ayahan desa (AYDS) memiliki kewajiban untuk mekrama adat, baik banjar gede maupun sebagai pengiring. Disebutkan, setelah Sang Anom Subadra diberhentikan menjadi bendesa adat tahun 2016, yang bersangkutan kemudian mengajukan diri mundur sebagai krama pengiring.
"Sekitar 4 bulan setelah berhenti menjadi Bendesa Adat Peninoan, yang bersangkutan (Anom Subadra) mengajukan surat pengunduran diri sebagai pengiring. Berdasarkan usulan tersebut, maka digelar paruman adat dengan keputusan yang bersangkutan disetujui untuk mengundurkan diri," jelas Ketut Artawan sacara terpisah di Desa Peninjoan, Minggu lalu.
Ketut Artawan menegaskan, agar tidak bertentangan dengan HAM, dalam kasus ini Desa Adat Peninjoan tidak sampai mengusir Anom Subadra dan keluarganya dari wewidangan desa adat. Hanya saja, saat sanksi dijatuhkan, Anom Subadra tidak mendapatkan pelayanan adat. “Karena sudah tidak menjadi krama Desa Adat Peninjoan, maka yang bersangkutan tidak mendapat pelayanan adat,” terang Ketut Artawan.
Atas permasalahan tersebut, kata Ketut Artawan, Anom Subadra kemudian sampai melapor ke Polda Bali. Menurut Artawan, dirinya sempat beberapa kali dimintai keterangan oleh petugas kepolisian terkait masalah ini.
Artawan menyebutkan, sekitar tahun 2019 lalu, Anom Subadra tiba-tiba mengungkapkan keinginannya untuk kembali menjadi krama Desa Adat Peninjoan. Pihak desa adat pun kembali menggelar paruman untuk menyikapi keinginan Anom Subadra dan keluarganya.
Dalam parumanan adat tersebut, kata Artawan, dibahas aturan apa yang dikenakan karena Anom Subadra istilahnya berhenti sengaja. Maka, dikenakanlah pamidanda. "Yang bersangkutan (Anom Subadra) dikenakan pamidanda dan penaur petedunan senilai Rp 8,5 juta. Dengan pamidanda ini, diharapkan tidak ada lagi krama yang berhenti ketika ada kegiatan besar, lalu kembali menjadi krama setelah kegiatan selesai," beber Artawan.
Menurut Artawan, hasil paruman tersebut belum sempat disampaikan, Anom Subadra justru kembali melapor. Bahkan, kemudian dilakukan rapat yang dihadiri Kesbangpol Bangli, kepolisian, dan kejaksaan. "Mediasi itu dilakukan tahun 2020 (tepatnya 17 Juli 2020, Red). Dalam mediasi itu muncul kesepakatan damai, di mana yang bersangkutan juga menyampaikan permohonan maaf," kenang Artawan.
Kesepakatan perdamaian itu, kata Artawan, sudah ditandatangani keduabelah pihak. Namun, Anom Subadra justru tidak mau membayar pamidanda Rp 8,5 juta tersebut. Yang bersangkutan maunya disebut mapunia, bukan membayar pamidanda. “Tentu saja berbeda itu antara membayar pamidanda dan mapunia.”
Disinggung mengenai denda Rp 250.000 bagi krama yang menghadiri upacara perkawinan puyra dari Anom Subadra, menurut Artawan, hal itu memang benar adanya. Denda tersebut juga diterapkan sesuai dengan hasil paruman.
Artawan mengatakan, bagi mereka yang tidak mendapat pelayanan adat, maka mereka tidak boleh dapat upasaksi dari krama desa dan prajuru adat saat ada upacara pawiwahan. Selain itu, juga tidak menyangra kelayu sekaran, mereka juga tidak boleh ngangkatan Pamangku Kahyangan Desa. "Barang siapa yang datang ke sana, maka kena mapidanda," tegas Artawan.
Sedangkan Bendesa Adat Peninjoan (saat ini), Sang Nyoman Sineb, mengatakan pihaknya akan meneruskan keputusan yang diambil bendesa adat sebelumnya. Apa yang menjadi kesepakatan perdamaian, tentu hal tersebut yang harus dijalankan. Menurut sang Nyoman Sined, status Sang Anom Subadra bukan lagi krama adat di Desa Adat Peninjoan.
"Tugas saya menerima kembali (Anom Subadra sebagai kramna adat, Red) dengan syarat memenuhi aturan sesuai awig, pararem, dan keputusan desa adat. Maka, sesuai keputusan sebelumnya, dia harus membayar pamidanda sebesar Rp 8,5 juta," terang Sang Nyoman Sineb sembari menunjukan surat kesepakatan perdamaian keduabelah pihak.
Sang Nyoman Sineb menegaskan, jika persyaratan pamidanda tersebut dipenuhi, tentunya Anom Subadra akan diterima kembali sebagai krama adat. “Selama itu, yang bersangkutan dan keluarganya tetap diizinkan sembahyang ke Pura Kahyangan Tiga. Cuma, mereka tidak dapat pelayanan adat,” tegas Sang Nyoman Sineb.
Dikonfirmasi NusaBali terpisah, Bendesa Madya MDA Kabupaten Bangli, Jro Ketut Kayana, mengatakan Tim Kewapadaan Dini Kesbangpol Bangli sebelumhya sudah memediasi kasus Anom Subadra. Kasus ini pun dianggap sudah selesai, setelah ada surat kesepakatan perdamaian. “Bila ada persoalan baru lagi, hendaknya dibicarakan dulu di desa adat,” kata Jro Ketut Kayana.
Jro Ketut Kayana menyebutkan, Anom Subdra belum lama ini kembali mendatangi Kantor MDA Kabupaten Bangli, Jro Ketut Kayana pun menyarankan yang bersangkutan untuk menyelesaikan masalahnya secara adat. “Penyelesaian mulai dari desa adat, yang meliputi kerta desa. Jika tidak ada hasil, dapat dilanjutkan ke MDA Kecamatan. Bila mediasi tidak ada kata sepakat, maka dilanjutkan ke MDA Kabupaten. Jadi, kami harapkan untuk diselesaikan dulu secara baik-baik di desa adat," tegas Jro Ketut Kayana. *esa
1
Komentar