Puluhan Tahun Tinggal di Tengah Hutan Mangrove Kawasan Suwung
Kisah Pasangan Suami Istri I Nyoman Badri-Ni Ketut Ariani Bersama Anak dan Cucu Mereka
Pasutri Nyoman Badri dan Ketut Ariani kerap bersitegang dengan oknum warga yang sembarangan membuang sampah di hutan mangrove
MANGUPURA, NusaBali
Tak banyak orang tahu, ada satu keluarga yang selama puluhan tahun tinggal di tengah hutan mangrove kawasan Banjar Suwung, Kelurahan Sesetan, Kecamatan Denpasar Selatan. Mereka adalah keluarga pasangan suami istri I Nyoman Badri, 56, dan Ni Ketut Ariani, 56. Mereka rela tinggal di tengah hutan, semata karena kecintaan dan rasa terpanggil untuk menjaga kawasan mangrove dari ulah oknum tidak bertanggung jawab.
Pasutri I Nyoman Badri dan Ni Ketut Ariani, yang sudah dikaruniai 4 orang anak dan 11 cucu, tinggal tengah hutan mangrove yang berjarak sekitar 1 kilometer arah selatan dari Jalan Bypass Ngurah Rai Suwung. Untuk akses masuk ke tempat tinggal pasutri ini, hanya menggunakan jalan gantung setinggi 2 meter yang terbuat dari kayu, bambu, dan papan bekas. Panjang jalan gantung tersebut mencapai sekitar 600 meter.
Tidak ada pengaman sebelah kiri dan kanan jalan gantung tersebut. Yang ada hanya rimbunnya tanaman mangrove untuk berpegangan. Jalan gantung inilah yang digunakan pasutri Nyoman Badri dan Ketut Ariani bersama anak dan cucu-cucunya selama puluhan tahun. Bahkan, pasutri Nyoman Badra dan Ketut Ariani sudah tinggal di tengah hutan tersebut sejak mereka masih kecil-kecil.
Nyoman Badri sendiri kesehariannya bekerja sebnagai petugas kebersihan di Pasar Suwung Kauh. Sedangkan istrinya, Ketut Ariani yang biasa dipanggil Jro Nasar, adalah ibu rumah tangga yang selama ini jadi pangempon Pura Ketapang Dalem Segara di kawasan hutan mangrove tersebut.
Pasutri Nyoman Badri dan Ketut Ariani memiliki empat orang anak perempuan, masing-masing Ni Putu Martini, 35, Ni Kadek Astuti, 34, Ni Komang Sarianti, 26, dan Ni Ketut Aprialianti, 22. Tiga dari mereka tinggal bersama orangtuanya di tengah hutan mangrove. Sedangkan satunya lagi tinggal terpisah di kawasan Kelurahan Jimbaran, Kecamatan Kuta Selatan, Badung. Keempat anak dari pasutri Nyoman Badri dan Ketut Ariani sudah menikah, hingga memberikan 11 cucu.
Sementara, rumah di tengah hutan mangrove yang ditempati keluarga pasutri Nyoman Badri dan Ketut Ariani seserta anak dan cucunya ini merupakan rumah semi permanen dengan konsep rumah panggung, berdinding asbes. Di dalam rumah sederhana yang dibangun di atas lahan seluas 1 are itu, terdapat 5 kamar yang ditempati anak dan cucu mereka.
Untuk keperluan air bersih dan penerangan, keluarga pasutri Nyoman Badri dan Ketut Ariani mendapat pasokan dari seorang dermawan yang tinggal di Jalan Bypass Ngurah Rai Suwung. Air dan aliran listrik disambung langsung melalui pipa dari rumah sang dermawan. Menurut Ketut Ariani alias Jro Nasar, pasokan air dan listri ini baru diperoleh beberapa tahun terakhir. Sebelumnya, mereka hanya menggunakan air sumur dan penerangan lampu templek.
Saat ditemui NusaBali di rumahnya kawasan hutan mangrove, Sabtu (5/2) lalu, Jro Nasar ini mengaku dirinya sudah tinggal di hutan tersebut secak kecil, jauh sebelum menikah. Perempuan berusia 56 tahun ini menempati rumah semi permanen itu sejak kawasan mangrove masih berupa hamparan tambak udang.
Kemudian, kata Jro Nasar, tambak udang berubah menjadi kawasan konservasi yang ditanami mangrove. Setelah berubah menjadi kawasan hutan mangrove, Jro Nasar tetap tinggal di lokasi. "Saya lupa tahun berapa mulai tinggal di sini. Yang pastik, sudah lama sekali ketika saya masih kecil. Saya ingat ketika keluar kebijakan pemerintah untuk membongkar tambak udang dan diubah menjadi hutan mangrove,” kenang Jro Nasar.
Jro Nasar mengisahkan, selama tinggal di kawasan hutan mangrove ini, dia bersama suami dan anak-anakinya selalu menjaga kawasan. Bahkan, mereka kerap memungut sampah yang dibuang masyarakat. “Kawasan ini kan sering dijadikan TPA liar,” papar Jro Nasar.
Bukan hanya itu, Jro Nasar bersama keluarganya juga terlibat aktif untuk menjaga kawasan dari oknum yang merusak mangrove, utamanya aksi pencarian cacing. Seiring berjalannya waktu, rutinitas menjaga mangrove ini menjadi perhatian serius keluarganya. Mereka hanya ingin kawasan mangrove tetap alami dan asri.
"Kami bahkan beberapa kali bersitegang dengan oknum yang membuang sampah sembarangan di kawasan mangrobe. Pernah juga bersitegang dengan warga yang mencari cacing, karena mereka merusak tanaman mangrove. Cacing itu kan adanya di mangrove,” terang Jro Nasar, yang hari itu didampingi sang suami Nyoman Badri dan cecerapa cucunya.
Menurut Jro Nasarm keberadaan keluarganya yang tinggal di tengah hutan mangrove sudah diketahui oleh Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Bali. Melalui UPTD Tanam Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai, Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Bali kerap meminta keluarga Nyoman Badri-Jro Nasar untuk menjaga kawasan.
Sementara itu, Kepala UPTD Tahura Ngurah Rai, I Ketut Subandi, mengakui keberadaan keluarga Nyoman Badri dan Jro Nasar ikut membantu pihaknya dalam melakukan pengawasan kawasan hutan mangrove. Apalagi, mereka sudah menetap di lokasi. “Keberadaan keluarga ini sangat membantu kami, karena ikut bersama-sama melakukan pengawasan hutan mangrove," ungkap Ketut Subandi saat dikonfirmasi NusaBali secara terpisah, Minggu (6/2).
Ketut Subandi menyebutkan, dulunga kawasan mangrove merupakan areal tambak udang. Kawasan ini diubah menjadi hutan mangrove periode 1992-1993 silam. Menurut Subandi, pihaknya tidak bisa melarang ada satu keluarga tinggal menetap di dalam kawasan mangrove. Apalagi, di sini ada Pura Ketapang Dalem Segara yang perlu ada pangemponnya, yakni Jro Nasar. *dar
Pasutri I Nyoman Badri dan Ni Ketut Ariani, yang sudah dikaruniai 4 orang anak dan 11 cucu, tinggal tengah hutan mangrove yang berjarak sekitar 1 kilometer arah selatan dari Jalan Bypass Ngurah Rai Suwung. Untuk akses masuk ke tempat tinggal pasutri ini, hanya menggunakan jalan gantung setinggi 2 meter yang terbuat dari kayu, bambu, dan papan bekas. Panjang jalan gantung tersebut mencapai sekitar 600 meter.
Tidak ada pengaman sebelah kiri dan kanan jalan gantung tersebut. Yang ada hanya rimbunnya tanaman mangrove untuk berpegangan. Jalan gantung inilah yang digunakan pasutri Nyoman Badri dan Ketut Ariani bersama anak dan cucu-cucunya selama puluhan tahun. Bahkan, pasutri Nyoman Badra dan Ketut Ariani sudah tinggal di tengah hutan tersebut sejak mereka masih kecil-kecil.
Nyoman Badri sendiri kesehariannya bekerja sebnagai petugas kebersihan di Pasar Suwung Kauh. Sedangkan istrinya, Ketut Ariani yang biasa dipanggil Jro Nasar, adalah ibu rumah tangga yang selama ini jadi pangempon Pura Ketapang Dalem Segara di kawasan hutan mangrove tersebut.
Pasutri Nyoman Badri dan Ketut Ariani memiliki empat orang anak perempuan, masing-masing Ni Putu Martini, 35, Ni Kadek Astuti, 34, Ni Komang Sarianti, 26, dan Ni Ketut Aprialianti, 22. Tiga dari mereka tinggal bersama orangtuanya di tengah hutan mangrove. Sedangkan satunya lagi tinggal terpisah di kawasan Kelurahan Jimbaran, Kecamatan Kuta Selatan, Badung. Keempat anak dari pasutri Nyoman Badri dan Ketut Ariani sudah menikah, hingga memberikan 11 cucu.
Sementara, rumah di tengah hutan mangrove yang ditempati keluarga pasutri Nyoman Badri dan Ketut Ariani seserta anak dan cucunya ini merupakan rumah semi permanen dengan konsep rumah panggung, berdinding asbes. Di dalam rumah sederhana yang dibangun di atas lahan seluas 1 are itu, terdapat 5 kamar yang ditempati anak dan cucu mereka.
Untuk keperluan air bersih dan penerangan, keluarga pasutri Nyoman Badri dan Ketut Ariani mendapat pasokan dari seorang dermawan yang tinggal di Jalan Bypass Ngurah Rai Suwung. Air dan aliran listrik disambung langsung melalui pipa dari rumah sang dermawan. Menurut Ketut Ariani alias Jro Nasar, pasokan air dan listri ini baru diperoleh beberapa tahun terakhir. Sebelumnya, mereka hanya menggunakan air sumur dan penerangan lampu templek.
Saat ditemui NusaBali di rumahnya kawasan hutan mangrove, Sabtu (5/2) lalu, Jro Nasar ini mengaku dirinya sudah tinggal di hutan tersebut secak kecil, jauh sebelum menikah. Perempuan berusia 56 tahun ini menempati rumah semi permanen itu sejak kawasan mangrove masih berupa hamparan tambak udang.
Kemudian, kata Jro Nasar, tambak udang berubah menjadi kawasan konservasi yang ditanami mangrove. Setelah berubah menjadi kawasan hutan mangrove, Jro Nasar tetap tinggal di lokasi. "Saya lupa tahun berapa mulai tinggal di sini. Yang pastik, sudah lama sekali ketika saya masih kecil. Saya ingat ketika keluar kebijakan pemerintah untuk membongkar tambak udang dan diubah menjadi hutan mangrove,” kenang Jro Nasar.
Jro Nasar mengisahkan, selama tinggal di kawasan hutan mangrove ini, dia bersama suami dan anak-anakinya selalu menjaga kawasan. Bahkan, mereka kerap memungut sampah yang dibuang masyarakat. “Kawasan ini kan sering dijadikan TPA liar,” papar Jro Nasar.
Bukan hanya itu, Jro Nasar bersama keluarganya juga terlibat aktif untuk menjaga kawasan dari oknum yang merusak mangrove, utamanya aksi pencarian cacing. Seiring berjalannya waktu, rutinitas menjaga mangrove ini menjadi perhatian serius keluarganya. Mereka hanya ingin kawasan mangrove tetap alami dan asri.
"Kami bahkan beberapa kali bersitegang dengan oknum yang membuang sampah sembarangan di kawasan mangrobe. Pernah juga bersitegang dengan warga yang mencari cacing, karena mereka merusak tanaman mangrove. Cacing itu kan adanya di mangrove,” terang Jro Nasar, yang hari itu didampingi sang suami Nyoman Badri dan cecerapa cucunya.
Menurut Jro Nasarm keberadaan keluarganya yang tinggal di tengah hutan mangrove sudah diketahui oleh Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Bali. Melalui UPTD Tanam Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai, Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Bali kerap meminta keluarga Nyoman Badri-Jro Nasar untuk menjaga kawasan.
Sementara itu, Kepala UPTD Tahura Ngurah Rai, I Ketut Subandi, mengakui keberadaan keluarga Nyoman Badri dan Jro Nasar ikut membantu pihaknya dalam melakukan pengawasan kawasan hutan mangrove. Apalagi, mereka sudah menetap di lokasi. “Keberadaan keluarga ini sangat membantu kami, karena ikut bersama-sama melakukan pengawasan hutan mangrove," ungkap Ketut Subandi saat dikonfirmasi NusaBali secara terpisah, Minggu (6/2).
Ketut Subandi menyebutkan, dulunga kawasan mangrove merupakan areal tambak udang. Kawasan ini diubah menjadi hutan mangrove periode 1992-1993 silam. Menurut Subandi, pihaknya tidak bisa melarang ada satu keluarga tinggal menetap di dalam kawasan mangrove. Apalagi, di sini ada Pura Ketapang Dalem Segara yang perlu ada pangemponnya, yakni Jro Nasar. *dar
1
Komentar