Dihadang Massa, Eksekusi Lahan Gagal
Pihak Berperkara Sama-sama Ingin Diatensi Presiden Jokowi
Lie Herman yang menunggu berpuluh tahun untuk bisa mendapatkan haknya juga mengaku sangat kecewa. Ia pun menyebut ada mafia yang bermain dalam kasus yang dialami dan diperjuangkan selama 22 tahun.
MANGUPURA, NusaBali
Eksekusi lahan seluas 56.850 meter persegi di Desa Ungasan, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Rabu (9/2) siang, gagal dilaksanakan. Panitera dan Juru Sita Pengadilan Negeri (PN) Denpasar terpaksa putar balik. Begitu juga Lie Herman, pihak yang memenangkan sengketa lahan yang bergulir sejak awal tahun 1990an ini.
Proses jalannya eksekusi di lokasi yang saat ini juga dipakai sebagai kegiatan paragliding tidak berjalan mulus karena Panitera dan Juru Sita PN Denpasar dihadang puluhan massa, dan sempat membuat situasi tegang di tengah terik matahari. "Untuk saat ini eksekusi saya tunda, tapi akan kami jalankan kembali nanti waktunya kami kasih tahu," kata Panitera PN Denpasar Mathilda Tampubolon.
Mathilda menegaskan, bahwa eksekusi ditunda sementara waktu dan memberikan kesempatan dengan mempersilakan para pihak yang bersengketa dari pemohon dan termohon untuk berkompromi. “Silakan para pengacara saling berhubungan dan apabila nanti perlu difasilitasi kami siap, yang terbaik pasti saya lakukan,” tegas Mathilda.
Tak ayal massa yang turun di lokasi eksekusi bersorak senang. "Ya, saya puas eksekusi ditunda, tapi masih berjuang, proses masih lama perjuangan terus berjalan. Saya harapkan Pengadilan Negeri obyektif menjalankan tugas," ujar Kadek Handiana Putra, cucu dari I Made Rureg selaku pemilik lahan yang berdekatan dengan Pantai Melasti ini.
Sebaliknya Herman mengaku sangat kecewa, lantaran perintah pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap tidak bisa dilaksanakan dan dihalang-halangi oleh massa. “Saya kecewa karena lahan ini sudah saya beli secara sah lewat mekanisme lelang yang sudah diatur oleh negara pada 18 Oktober 2000,” kata Herman.
Herman mengaku mengetahui ada pelelangan dari aset PT Bank Uppindo itu dari sebuah surat kabar. Sayangnya lelang yang dimenangkannya sejak 22 tahun silam tersebut hingga kini belum bisa dikuasainya. “Bagaimana bisa, segala prosedur lelang sudah saya penuhi, namun hingga saat ini selalu dihalang-halangi,” kata Herman kecewa.
Sebaliknya Kadek Handiana Putra ditemui di lokasi sengketa menegaskan bawa prosedur pelelangan tersebut cacat hukum. Disebutkan bahwa selaku pihak pemilik lahan, awal mulanya melakukan transaksi penjualan lahan kepada Bambang Samiyono dengan nilai Rp 2,5 miliar pada tahun 1992.
“Saat itu ternyata baru dibayar Rp 500 juta. Setelah itu Bambang Samijono menghilang hingga sekarang. Lalu tiba-tiba kami mengetahui bahwa lahan tersebut sudah diagunkan di Bank Uppindo,” terang Kadek Handiana Putra.
Karena itulah Kadek Handiana Putra menyebut ada mafia pertanahan yang bermain dalam kasus ini. Beberapa hari lalu, Kadek Handiana pun mengakui sampai mengirim laporan kasus ini ke Presiden Joko Widodo. “Saya minta atensi Pak Jokowi kalau ada mafia tanah di sini,” ungkap Kadek Handiana.
Sementara itu Lie Herman yang menunggu berpuluh tahun bisa mendapatkan haknya juga mengaku sangat kecewa. Ia pun menyebut ada mafia yang bermain dalam kasus yang dialami dan diperjuangkan selama 22 tahun. “Ada apa ini, saya hanya ingin mendapatkan hak saya dan itu pun sesuai dengan perintah pengadilan. Saya curiga ada mafia yang bermain,” kata Herman.
Terkait dengan pihak penguasa lahan yang melakukan transaksi jual beli dan belum dilunasi, disebut Herman sebagai masalah internal dari para pihak. Sedangkan dirinya adalah pembeli beritikad baik yang sudah menjalankan segala proses sebagaimana ketentuan negara. “Saya juga ingin melapor ke Pak Presiden Jokowi. Jadi kalau ada yang melapor ke beliau malah senang, karena biar terbuka kasusnya, dan apa yang menjadi hak saya bisa diberikan sebagaimana mestinya,” tutur Herman lirih.
Sementara itu Mathilda selaku Panitera PN Denpasar menjelaskan bahwa pihaknya hanya menjalankan tugas dari pengadilan."Posisi pengadilan tidak ada membela si A dan si B, posisi kami hanya pihak yang saat ini menjalankan tugas secara ex officio , kalau saya tidak menjalankan perintah ini maka saya menyalahi undang-undang, maka dari itu kami siap fasilitasi, supaya ada penyelesaian," tandasnya.
Mathilda menegaskan, apabila sampai batas waktu yang ditentukan tidak tercapai kesepakatan antara pemohon dan termohon maka pihaknya bakal melaksanakan apa yang menjadi perintah pengadilan.
"Tapi seumpamanya tidak tercapai antara pemohon dan termohon itu juga bukan keinginan saya, perlu dipahami, pada saat komunikasi nanti kalau itu ada kesepakatan monggo, kalau tidak ada kesepakatan secara ex officio kami panitera kejurusitaan harus menjalankan perintah yang ada di dalam putusan," tegas Mathilda. *mao
Eksekusi lahan seluas 56.850 meter persegi di Desa Ungasan, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Rabu (9/2) siang, gagal dilaksanakan. Panitera dan Juru Sita Pengadilan Negeri (PN) Denpasar terpaksa putar balik. Begitu juga Lie Herman, pihak yang memenangkan sengketa lahan yang bergulir sejak awal tahun 1990an ini.
Proses jalannya eksekusi di lokasi yang saat ini juga dipakai sebagai kegiatan paragliding tidak berjalan mulus karena Panitera dan Juru Sita PN Denpasar dihadang puluhan massa, dan sempat membuat situasi tegang di tengah terik matahari. "Untuk saat ini eksekusi saya tunda, tapi akan kami jalankan kembali nanti waktunya kami kasih tahu," kata Panitera PN Denpasar Mathilda Tampubolon.
Mathilda menegaskan, bahwa eksekusi ditunda sementara waktu dan memberikan kesempatan dengan mempersilakan para pihak yang bersengketa dari pemohon dan termohon untuk berkompromi. “Silakan para pengacara saling berhubungan dan apabila nanti perlu difasilitasi kami siap, yang terbaik pasti saya lakukan,” tegas Mathilda.
Tak ayal massa yang turun di lokasi eksekusi bersorak senang. "Ya, saya puas eksekusi ditunda, tapi masih berjuang, proses masih lama perjuangan terus berjalan. Saya harapkan Pengadilan Negeri obyektif menjalankan tugas," ujar Kadek Handiana Putra, cucu dari I Made Rureg selaku pemilik lahan yang berdekatan dengan Pantai Melasti ini.
Sebaliknya Herman mengaku sangat kecewa, lantaran perintah pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap tidak bisa dilaksanakan dan dihalang-halangi oleh massa. “Saya kecewa karena lahan ini sudah saya beli secara sah lewat mekanisme lelang yang sudah diatur oleh negara pada 18 Oktober 2000,” kata Herman.
Herman mengaku mengetahui ada pelelangan dari aset PT Bank Uppindo itu dari sebuah surat kabar. Sayangnya lelang yang dimenangkannya sejak 22 tahun silam tersebut hingga kini belum bisa dikuasainya. “Bagaimana bisa, segala prosedur lelang sudah saya penuhi, namun hingga saat ini selalu dihalang-halangi,” kata Herman kecewa.
Sebaliknya Kadek Handiana Putra ditemui di lokasi sengketa menegaskan bawa prosedur pelelangan tersebut cacat hukum. Disebutkan bahwa selaku pihak pemilik lahan, awal mulanya melakukan transaksi penjualan lahan kepada Bambang Samiyono dengan nilai Rp 2,5 miliar pada tahun 1992.
“Saat itu ternyata baru dibayar Rp 500 juta. Setelah itu Bambang Samijono menghilang hingga sekarang. Lalu tiba-tiba kami mengetahui bahwa lahan tersebut sudah diagunkan di Bank Uppindo,” terang Kadek Handiana Putra.
Karena itulah Kadek Handiana Putra menyebut ada mafia pertanahan yang bermain dalam kasus ini. Beberapa hari lalu, Kadek Handiana pun mengakui sampai mengirim laporan kasus ini ke Presiden Joko Widodo. “Saya minta atensi Pak Jokowi kalau ada mafia tanah di sini,” ungkap Kadek Handiana.
Sementara itu Lie Herman yang menunggu berpuluh tahun bisa mendapatkan haknya juga mengaku sangat kecewa. Ia pun menyebut ada mafia yang bermain dalam kasus yang dialami dan diperjuangkan selama 22 tahun. “Ada apa ini, saya hanya ingin mendapatkan hak saya dan itu pun sesuai dengan perintah pengadilan. Saya curiga ada mafia yang bermain,” kata Herman.
Terkait dengan pihak penguasa lahan yang melakukan transaksi jual beli dan belum dilunasi, disebut Herman sebagai masalah internal dari para pihak. Sedangkan dirinya adalah pembeli beritikad baik yang sudah menjalankan segala proses sebagaimana ketentuan negara. “Saya juga ingin melapor ke Pak Presiden Jokowi. Jadi kalau ada yang melapor ke beliau malah senang, karena biar terbuka kasusnya, dan apa yang menjadi hak saya bisa diberikan sebagaimana mestinya,” tutur Herman lirih.
Sementara itu Mathilda selaku Panitera PN Denpasar menjelaskan bahwa pihaknya hanya menjalankan tugas dari pengadilan."Posisi pengadilan tidak ada membela si A dan si B, posisi kami hanya pihak yang saat ini menjalankan tugas secara ex officio , kalau saya tidak menjalankan perintah ini maka saya menyalahi undang-undang, maka dari itu kami siap fasilitasi, supaya ada penyelesaian," tandasnya.
Mathilda menegaskan, apabila sampai batas waktu yang ditentukan tidak tercapai kesepakatan antara pemohon dan termohon maka pihaknya bakal melaksanakan apa yang menjadi perintah pengadilan.
"Tapi seumpamanya tidak tercapai antara pemohon dan termohon itu juga bukan keinginan saya, perlu dipahami, pada saat komunikasi nanti kalau itu ada kesepakatan monggo, kalau tidak ada kesepakatan secara ex officio kami panitera kejurusitaan harus menjalankan perintah yang ada di dalam putusan," tegas Mathilda. *mao
Komentar