Kejagung Cek Tanah Adat Kubutambahan
Tanah Druwen Pura Disewakan Tanpa Batas Waktu
Tanah milik Desa Adat Yeh Sanih juga dikontrakkan tanpa sepengetahuan bendesa adat dan prajuru lainnya
SINGARAJA, NusaBali
Kejaksaan Agung (Kejagung) terus mengusut dugaan mafia tanah di Desa Adat Kubutambahan, Desa/Kecamatan Kubutambahan, Buleleng. Sehari setelah memeriksa Perbekel Kubutambahan dan sejumlah orang lainnya, Kamis (10/2) pagi Tim Pemberantasan Mafia Tanah Kejagung terjun lakukan pencegekan ke lokasi tanah druwen Pura Desa Adat Kubutambahan seluas 370 hektare, yang telah disewakan kepada investor tanpa batas waktu tersebut.
Tim Pemberantasan Mafia Tanah Kejagung tiba di lokasi tanah druwen Puyra Desa Adat Kubutabahan, Kamis pagi sekitar pukul 10.00 Wita. Mereka didampingi tim dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Buleleng. Pengecekan lahan perbukitan yang dikenal sebagai ‘Bukit Teletubbies’ tersebut dipimpin langsung oleh Koordinator pada Direktorat B Jamintel Kejagung, Teuku Rahman. Kajari Buleleng, I Putu Gede Astawa, juga turut hadir dalam pengecekan lahan ini.
Kedatangan Tim Pemberantasan Mafia tanah Kejagung di lokasi tanah druwen Pura Desa Adat Kubutambahan kemarin pagi disambut dengan bentangan dua baliho berukuran besar dari warga setempat. Salah satu baliho tersebut bertuliskan ‘Kami Masyarakat Desa Kubutambahan Mendukung Pembangunan Bandara Internasional Bali Utara di Desa Kubutambahan’. Sedangkan baliho satunya lagi berisi tulisan ‘Kami Masyarakat Desa Kubutambahan Mendukung Penuh Tim Pemberantasan Mafia Tanah Kejaksaan Agung untuk Memberantas Kasus Mafia Tanah di Kubutambah-an’.
Pengecekan lahan berlangsung selama 15 menit. Tim Kejagung memantau langsung lahan yang disebut-sebut ada indikasi mafia tanah tersebut. Tim Kejagung juga memastikan tidak ada bangunan dari PT Pinang Propertindo (investor) di atas lahan seluas 370 hektare tersebut.
Usai melakukan pengecekan, Tim Pemberantasan Mafia Tanah Kejagung selanjutnya meminta keterangan sejumlah warga yang ada di lokasi. Tak lama berselang, rombongan kembali ke Kantor Kejaari Buleleng, Jalan Dewi Sartika Selatan Singaraja, tanpa memberikan keterangan apa pun.
Koordinator pada Direktorat B Jamintel Kejagung, Teuku Rahman, berdalih belum bisa memberikan keterangan lebih lanjut hasil pengecekan lahan terkait adanya indikasi mafia tanah di Kubutambahan ini. "Nanti dengan masyarakat saja," elak Teuku Rahman sembari berlalu saat dicegat awak media.
Sementara itu, perwakilan warga Desa Kubutambahan, Ketut Ngurah Mahkota, mengatakan sejatinya masyarakat setempat mendukung proyek pembangunan Bandara Internasional di Kubutambahan. Namun sayang, tanah druwen Pura Desa Adat Kubutambahan seluas 370 hektare yang rencananya akan jadi lokasi pembangunan bandara, sudah disewakan ke pihak PT Pinang Propertindo dengan batas waktu yang tidak ditentukan.
Menurut Ngurah Mahkota, perjanjian sewa itu dilakukan sepihak. Hal itulah yang membuat pihaknya keberatan, sehingga mengadukan kasus dugaan mafia tanah ini ke kejaksaan. Lagipula, kata dia, dari PT Pinang Propertindo sama sekali tidak ada membangun apa pun di sana. Itu terjadi sejak tahun 2001 sampai sekarang.
“Kami menolak perpanjangan sewa tahun 2012 yang klaussulnya sampai dengan batas waktu yang tidak ditentukan. Pasalnya, perpanjangan sewa itu tidak berdasarkan paruman (rapat adat). Itu yang kami usulkan kepada pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini," ujar Ngurah Mahkota yang juga Ketua Komite Penyelamat Aset Desa Adat (Kompada) Kubutambahan.
Sedangkan warga Kubutambahan lainnya, Gede Suardana, menilai PT Pinang Propertindo sebagai penipu. Hal itu lantaran hingga saat ini tidak ada bangunan yang dibangun di atas lahan yang disewanya. Suardana menyebutkan, keberadaan perusahaan tersebut juga tidak jelas. "Saya sudah telusuri, perusahaan ini, ternyata tidak ada kantornya di Jakarta. Saya cari ke alamat rumahnya, dikatakan bukan juga. Bagaimana ini?" kata Suardana.
Kejagung sendiri sebelumnya tekah memeriksa sejumlah orang terkait dugaan mafia tanah druwen Pura Desa Adat Kubutambahan ini, Rabu (9/2). Pemeriksaan kala itu dilakukan di Kantor Kejari Buleleng. Mereka yang diperiksa Kejagung termasuk di antaranya Perbekel Kubutambahan, Gede Pariadnyana.
Ketua Kompada Kubutambahan, Ketut Ngurah Mahkota, selaku pihak yang melaporkan kasus dugaan mafia tanah ini, juga ikut diperiksa Kejagung. Seusai pemeriksaan hari itu, Ngurah Mahkota mengatakan pihaknya menyampaikan kepada Kejagung terkait perpanjangan sewa tanah druwen Pura Desa Adat Kubutambahan seluas 370 hektare yang terjadi tahun 2012 kepada pihak PT Pinang Propertindo. Dalam perjanjian sewa itu, kata Ngurah Mahkora, ada klausul ‘perpanjangan waktu selama 30 tahun, 60 tahun, 90 tahun, dan sampai waktu yang tidak terbatas’.
Menurut Ngurah Mahkota, perjanjian itulah yang membuat pihaknya keberatan. Apalagi, keputusan tersebut tidak melalui paruman dan tanpa atas persetujuan masyarakat. Ngurah Mahkota menyebutkan, Bendesa Adat Kubutambahan, Jero Pasek Ketut Warkadea, diduga menggunakan tandatangan dari daftar hadir paruman yang diselenggarakan beberapa waktu sebelumnya.
Ngurah Mahkota mengatakan, sejak tanah druwen Pura Desa Adat Kubutambahan seluas 370 hektare disewa, pihak PT Pinang Propertindo sama sekali tidak melakukan pembangunan di atas lahan tersebut. Karena itu, Ngurah Mahkota menilai PT Pinang Propertindo hanya membutuhkan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB), yang kemudian sertifikatnya dijaminkan ke bank senilai Rp 1,2 triliun.
Sementara itu, di sekitar lahan druwen Pura Desa Adat Kubutambahan tersebut juga terdapat tanah milik Desa Adat Yeh Sanih, Desa Bukti, Kecamatan Kubutambahan, yang lokasinya berdampingan. Tanah adat seluas 58 hektare milik Desa Adat Yeh Sanih itu pun sempat diwacanakan sebagai landasan pacu bandara. Namun, tanah tersebut ternyata telah dikontrakkan oleh seseorang berinisial DKP tanpa sepengetahuan Desa Adat Yeh Sanih.
Hal ini diungkapkan Bendesa Adat Yeh Sanih, Jro Nyoman Sukresna, yang ikut hadir saat Tim Pemberantasan Mafia Tanah Kejagung terjun melakukan cek lokasi tanag druwen Pura Desa Adat Kubutambahan, Kamis kemarin. Jro Nyoman Sukresna mengaku sudah menyampaikan masalah tanah Desa Adat Yeh Sani ini kepada Tim Pemberantasan Mafia Tanah Kejagung.
Menurut Jro Nyoman Sukresna, dalam waktu dekat pihaknya akan dipanggil Kejagung untuk diminta keterangan lebih lengkap. "Tadi (kemarin) sudah kami sampaikan permasalahan tanah yang ada di Desa Adat Yeh Sanih. Masalahnya, tanah Desa Adat Yeh Sanih seluas 58 hektare sudah dikontrak-kan oleh seseorang berinisial DKP tahun 2015, dengan harga Rp 25 miliar. Yang bersangkutan sudah terima uang tahun 2015 sedbanyak Rp 12,5 miliar," jelasnya Jro Nyoman Sukresna.
Jro Nyoman Sukresna menyebutkan, proses sewa menyewa lahan milik Desa Adat Yeh Sanih tersebut sama sekali tidak melibatkan prajuru desa adat. "Kami tidak tahu tanah desa adat itu dikontrakkan sampai kapan? Kami juga tidak tahu kapan dikontrakkan. Yang bersangkutan (DKP, Red) tidak pernah berkoordinasi dengan desa adat," papar Jro Nyoman Sukresna. *mz
Tim Pemberantasan Mafia Tanah Kejagung tiba di lokasi tanah druwen Puyra Desa Adat Kubutabahan, Kamis pagi sekitar pukul 10.00 Wita. Mereka didampingi tim dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Buleleng. Pengecekan lahan perbukitan yang dikenal sebagai ‘Bukit Teletubbies’ tersebut dipimpin langsung oleh Koordinator pada Direktorat B Jamintel Kejagung, Teuku Rahman. Kajari Buleleng, I Putu Gede Astawa, juga turut hadir dalam pengecekan lahan ini.
Kedatangan Tim Pemberantasan Mafia tanah Kejagung di lokasi tanah druwen Pura Desa Adat Kubutambahan kemarin pagi disambut dengan bentangan dua baliho berukuran besar dari warga setempat. Salah satu baliho tersebut bertuliskan ‘Kami Masyarakat Desa Kubutambahan Mendukung Pembangunan Bandara Internasional Bali Utara di Desa Kubutambahan’. Sedangkan baliho satunya lagi berisi tulisan ‘Kami Masyarakat Desa Kubutambahan Mendukung Penuh Tim Pemberantasan Mafia Tanah Kejaksaan Agung untuk Memberantas Kasus Mafia Tanah di Kubutambah-an’.
Pengecekan lahan berlangsung selama 15 menit. Tim Kejagung memantau langsung lahan yang disebut-sebut ada indikasi mafia tanah tersebut. Tim Kejagung juga memastikan tidak ada bangunan dari PT Pinang Propertindo (investor) di atas lahan seluas 370 hektare tersebut.
Usai melakukan pengecekan, Tim Pemberantasan Mafia Tanah Kejagung selanjutnya meminta keterangan sejumlah warga yang ada di lokasi. Tak lama berselang, rombongan kembali ke Kantor Kejaari Buleleng, Jalan Dewi Sartika Selatan Singaraja, tanpa memberikan keterangan apa pun.
Koordinator pada Direktorat B Jamintel Kejagung, Teuku Rahman, berdalih belum bisa memberikan keterangan lebih lanjut hasil pengecekan lahan terkait adanya indikasi mafia tanah di Kubutambahan ini. "Nanti dengan masyarakat saja," elak Teuku Rahman sembari berlalu saat dicegat awak media.
Sementara itu, perwakilan warga Desa Kubutambahan, Ketut Ngurah Mahkota, mengatakan sejatinya masyarakat setempat mendukung proyek pembangunan Bandara Internasional di Kubutambahan. Namun sayang, tanah druwen Pura Desa Adat Kubutambahan seluas 370 hektare yang rencananya akan jadi lokasi pembangunan bandara, sudah disewakan ke pihak PT Pinang Propertindo dengan batas waktu yang tidak ditentukan.
Menurut Ngurah Mahkota, perjanjian sewa itu dilakukan sepihak. Hal itulah yang membuat pihaknya keberatan, sehingga mengadukan kasus dugaan mafia tanah ini ke kejaksaan. Lagipula, kata dia, dari PT Pinang Propertindo sama sekali tidak ada membangun apa pun di sana. Itu terjadi sejak tahun 2001 sampai sekarang.
“Kami menolak perpanjangan sewa tahun 2012 yang klaussulnya sampai dengan batas waktu yang tidak ditentukan. Pasalnya, perpanjangan sewa itu tidak berdasarkan paruman (rapat adat). Itu yang kami usulkan kepada pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini," ujar Ngurah Mahkota yang juga Ketua Komite Penyelamat Aset Desa Adat (Kompada) Kubutambahan.
Sedangkan warga Kubutambahan lainnya, Gede Suardana, menilai PT Pinang Propertindo sebagai penipu. Hal itu lantaran hingga saat ini tidak ada bangunan yang dibangun di atas lahan yang disewanya. Suardana menyebutkan, keberadaan perusahaan tersebut juga tidak jelas. "Saya sudah telusuri, perusahaan ini, ternyata tidak ada kantornya di Jakarta. Saya cari ke alamat rumahnya, dikatakan bukan juga. Bagaimana ini?" kata Suardana.
Kejagung sendiri sebelumnya tekah memeriksa sejumlah orang terkait dugaan mafia tanah druwen Pura Desa Adat Kubutambahan ini, Rabu (9/2). Pemeriksaan kala itu dilakukan di Kantor Kejari Buleleng. Mereka yang diperiksa Kejagung termasuk di antaranya Perbekel Kubutambahan, Gede Pariadnyana.
Ketua Kompada Kubutambahan, Ketut Ngurah Mahkota, selaku pihak yang melaporkan kasus dugaan mafia tanah ini, juga ikut diperiksa Kejagung. Seusai pemeriksaan hari itu, Ngurah Mahkota mengatakan pihaknya menyampaikan kepada Kejagung terkait perpanjangan sewa tanah druwen Pura Desa Adat Kubutambahan seluas 370 hektare yang terjadi tahun 2012 kepada pihak PT Pinang Propertindo. Dalam perjanjian sewa itu, kata Ngurah Mahkora, ada klausul ‘perpanjangan waktu selama 30 tahun, 60 tahun, 90 tahun, dan sampai waktu yang tidak terbatas’.
Menurut Ngurah Mahkota, perjanjian itulah yang membuat pihaknya keberatan. Apalagi, keputusan tersebut tidak melalui paruman dan tanpa atas persetujuan masyarakat. Ngurah Mahkota menyebutkan, Bendesa Adat Kubutambahan, Jero Pasek Ketut Warkadea, diduga menggunakan tandatangan dari daftar hadir paruman yang diselenggarakan beberapa waktu sebelumnya.
Ngurah Mahkota mengatakan, sejak tanah druwen Pura Desa Adat Kubutambahan seluas 370 hektare disewa, pihak PT Pinang Propertindo sama sekali tidak melakukan pembangunan di atas lahan tersebut. Karena itu, Ngurah Mahkota menilai PT Pinang Propertindo hanya membutuhkan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB), yang kemudian sertifikatnya dijaminkan ke bank senilai Rp 1,2 triliun.
Sementara itu, di sekitar lahan druwen Pura Desa Adat Kubutambahan tersebut juga terdapat tanah milik Desa Adat Yeh Sanih, Desa Bukti, Kecamatan Kubutambahan, yang lokasinya berdampingan. Tanah adat seluas 58 hektare milik Desa Adat Yeh Sanih itu pun sempat diwacanakan sebagai landasan pacu bandara. Namun, tanah tersebut ternyata telah dikontrakkan oleh seseorang berinisial DKP tanpa sepengetahuan Desa Adat Yeh Sanih.
Hal ini diungkapkan Bendesa Adat Yeh Sanih, Jro Nyoman Sukresna, yang ikut hadir saat Tim Pemberantasan Mafia Tanah Kejagung terjun melakukan cek lokasi tanag druwen Pura Desa Adat Kubutambahan, Kamis kemarin. Jro Nyoman Sukresna mengaku sudah menyampaikan masalah tanah Desa Adat Yeh Sani ini kepada Tim Pemberantasan Mafia Tanah Kejagung.
Menurut Jro Nyoman Sukresna, dalam waktu dekat pihaknya akan dipanggil Kejagung untuk diminta keterangan lebih lengkap. "Tadi (kemarin) sudah kami sampaikan permasalahan tanah yang ada di Desa Adat Yeh Sanih. Masalahnya, tanah Desa Adat Yeh Sanih seluas 58 hektare sudah dikontrak-kan oleh seseorang berinisial DKP tahun 2015, dengan harga Rp 25 miliar. Yang bersangkutan sudah terima uang tahun 2015 sedbanyak Rp 12,5 miliar," jelasnya Jro Nyoman Sukresna.
Jro Nyoman Sukresna menyebutkan, proses sewa menyewa lahan milik Desa Adat Yeh Sanih tersebut sama sekali tidak melibatkan prajuru desa adat. "Kami tidak tahu tanah desa adat itu dikontrakkan sampai kapan? Kami juga tidak tahu kapan dikontrakkan. Yang bersangkutan (DKP, Red) tidak pernah berkoordinasi dengan desa adat," papar Jro Nyoman Sukresna. *mz
1
Komentar