Saat Piodalan di Palinggih Taman Wajib Pasang Ayunan Jantra
Ayunan jantra menjadi simbol krama Baliaga. Satu-satunya tradisi yang masih bertahan adalah nunas srosob, terutama saat terjadi keributan dan ketegangan di masyarakat.
Sisi Keunikan Pura Desa Pakraman Beratan Samayaji di Kelurahan Beratan, Kecamatan Buleleng
SINGARAJA, NusaBali
Pelaksanaan upacara piodalan di Pura Desa Pakraman Beratan Samayaji, Kelurahan Beratan, Kecamatan Buleleng, yang dahulu dilakukan nyejer selama delapan bulan itu juga menghadirkan sarana upacara yang unik. Salah satunya saat piodalan di palinggih Ida Batara Taman pada Sasih Kapat, diwajibkan untuk memasang satu ayunan jantra yang merupakan ayunan krama Baliaga yang kini hanya ada di Desa Tenganan, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, dan dua ayunan gantung.
Dalam ritual itu, ayunan jantra dan ayunna gantung diletakkan di jaba tengah pura. Hanya gadis yang baru akil balik (pubertas) dan masih perawan saja yang boleh menaikinya. Tradisi itu yang belakangan menghantarkan krama Beratan Samayaji mencari jati dirinya yang sebenarnya, apakah memang benar keturunan Baliaga.
Adanya sima yang menyebutkan ayunan jantra itu juga menghantarkan Desa Pakraman Beratan Samayaji dikatakan sebagai desa tua Baliaga. Karena ayunan jantra hanya dimiliki oleh desa pakraman yang asli menetap di Bali sebelum keturunan Majapahit dan penjajah datang ke Bali. Bahkan jika dibandingkan dengan salah satu desa tua di Bali, yakni Desa Adat Tenganan Pagringsingan, adat tradisi yang ada di Desa Pakraman Beratan Samayaji sangat mirip dengan adat istiadat desa setempat yang merupakan salah satu desa Baliaga.
Pemaknaan pemakaian ayunan jantra tersebut merupakan salah satu perwujudan sekala niskala perputaran jalan kehidupan. Posisi ayunan yang kadang ada di bawah dan kadang di atas, disebut sebagai gambaran roda kehidupan yang terus berputar setiap saat.
Selain menggunakan ayunan jantra pada piodalan di pura desa, krama setempat juga tidak memberlakukan pengabenan ketika ada kramanya yang meninggal dunia. Krama yang meninggal hanya dikubur di setra.
Selain itu tradisi yang sangat kental yakni tidak memperbolehkan krama mengambil istri atau kawin ke luar desa. Tetapi sejumlah tradisi itu kini sudah mulai terkikis di Desa Pakraman Beratan Samayaji. Bahkan beberapa di antaranya memang benar-benar sudah punah. Tidak ada bukti peninggalan sejarah yang konkret. Bahkan tradisi menghadirkan ayunan jantra saat piodalan itu pun sudah lama tidak dilakukan.
Seorang tokoh masyarakat setempat Ngurah Wedana, mengatakan bahwa dulu saat dia kecil, memang pernah melihat ayunan jantra sama persis seperti di Desa Adat Tenganan. Namun berjalannya waktu, ayunan jantra itu pun dibakar, saat dilaksanakan upacara panerangan di Pura Desa Pakraman Beratan Samayaji.
“Saya dulu memang pernah lihat, termasuk di semua rumah warga di sini yang laki-laki menjadi Pande Emas, yang perempuan sebagai penenun. Sayangnya sekarang alat-alat itu satu pun tidak ada tersisa,” ujar dia.
Tetapi keyakinan bahwa kramanya adalah krama Baliaga juga dibuktikan di dalam buku penelitian seorang Belanda Van Bloemen Waanders, dengan bukunya yang berjudul ‘History Of Bali’, menceritakan secara umum tentang Bali. Namun pada satu bab dia menceritakan desa tua Tenganan. Dalam bab itu juga tercetus nama Beratan yang disebut sebagai keturunan klan Pande asal Tenganan pindah ke Buleleng, yakni ke sebuah desa yang bernama Bratan.
Dalam buku tersebut juga dipaparkan mengenai adat istiadat seperti perkawinan endogami (adalah suatu perkawinan antara etnis, klan, suku, atau kekerabatan dalam lingkungan yang sama, Red) dan hanya mengubur mayat ketika ada kramanya yang meninggal. Hal tersebut pun saat ini semakin membuat penasaran krama setempat untuk menggali jati diri mereka. Krama juga dikatakan sempat melakukan studi banding ke Tenganan terkait data dan informasi yang mereka dapatkan.
Upaya penggalian jati diri itu pun kini masih dilakukan dengan menelisik ratusan lontar yang ada di Desa Pakraman Beratan yang dibantu diidentifikasi oleh penyuluh bahasa Bali yang bertugas di Buleleng. Dengan tergerusnya adat istiadat asli setempat, pihak Desa Pakraman mengaku akan mengembalikannya secara berangsur-angsur.
Sementara itu, satu-satunya tradisi yang masih dilaksanakan hingga saat ini adalah tradisi nunas srosob, saat terjadi keributan dan ketegangan di masyarakat termasuk saat kondisi bumi gonjang-ganjing. Tradisi nunas srosob (salah satu jenis makanan khas Bali, Red), untuk meminta keselamatan.
Tradisi itu memang masih dilakoni hingga saat ini. Tetapi terakhir kali dilakukan pada tahun 1977. Saat itu disebut sedang terjadi ribut-ribut yang disebabkan oleh persaingan politik. Kelian Desa Pakraman Beratan Samayaji Ketut Benny Dirgaariawan mengatakan tradisi nunas srosob biasanya dilakukan di Pura Desa Pakraman Beratan Samayaji.
Srosob itu terbuat dari jeroan babi yang diolah dipadupadankan dengan bumbu dapur. Juga menggunakan darah seperti pembuatan lawar getih. Srosob itu kemudian akan dimakan bersama-sama oleh krama setempat untuk mendapat perlindungan, keselamatan dari keributan dan kegaduhan dunia yang terjadi saat itu.
Sebelum memakan srosob, akan diawali dengan sembahyang bersama, matur piuning kepada penguasa setempat. “Jadi seluruh krama akan berkumpul untuk upacara ini, jika memang dipandang situasi sudah gawat,” ujar Benny.
Dalam pelaksanaan tradisi tersebut seluruh krama turun tangan dan bergotong royong untuk membuat sarana upacara dimaksud. Hingga akhirnya selesai dan bersama akan menyantap srosob sesudah melaksanakan persembahyangan bersama.
Hanya saja yang boleh nunas srosob dalah pria yang sudah dewasa. Benny mengaku tidak mengetahui secara jelas alasan itu. Tetapi jika dikaitkan dengan permasalahan dunia yang sudah darurat, yang boleh terlibat hanyalah lelaki biasa. Sedangkan istri dan anak-anaknya berlindung di belakang kaum pria dewasa. * k23
SINGARAJA, NusaBali
Pelaksanaan upacara piodalan di Pura Desa Pakraman Beratan Samayaji, Kelurahan Beratan, Kecamatan Buleleng, yang dahulu dilakukan nyejer selama delapan bulan itu juga menghadirkan sarana upacara yang unik. Salah satunya saat piodalan di palinggih Ida Batara Taman pada Sasih Kapat, diwajibkan untuk memasang satu ayunan jantra yang merupakan ayunan krama Baliaga yang kini hanya ada di Desa Tenganan, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, dan dua ayunan gantung.
Dalam ritual itu, ayunan jantra dan ayunna gantung diletakkan di jaba tengah pura. Hanya gadis yang baru akil balik (pubertas) dan masih perawan saja yang boleh menaikinya. Tradisi itu yang belakangan menghantarkan krama Beratan Samayaji mencari jati dirinya yang sebenarnya, apakah memang benar keturunan Baliaga.
Adanya sima yang menyebutkan ayunan jantra itu juga menghantarkan Desa Pakraman Beratan Samayaji dikatakan sebagai desa tua Baliaga. Karena ayunan jantra hanya dimiliki oleh desa pakraman yang asli menetap di Bali sebelum keturunan Majapahit dan penjajah datang ke Bali. Bahkan jika dibandingkan dengan salah satu desa tua di Bali, yakni Desa Adat Tenganan Pagringsingan, adat tradisi yang ada di Desa Pakraman Beratan Samayaji sangat mirip dengan adat istiadat desa setempat yang merupakan salah satu desa Baliaga.
Pemaknaan pemakaian ayunan jantra tersebut merupakan salah satu perwujudan sekala niskala perputaran jalan kehidupan. Posisi ayunan yang kadang ada di bawah dan kadang di atas, disebut sebagai gambaran roda kehidupan yang terus berputar setiap saat.
Selain menggunakan ayunan jantra pada piodalan di pura desa, krama setempat juga tidak memberlakukan pengabenan ketika ada kramanya yang meninggal dunia. Krama yang meninggal hanya dikubur di setra.
Selain itu tradisi yang sangat kental yakni tidak memperbolehkan krama mengambil istri atau kawin ke luar desa. Tetapi sejumlah tradisi itu kini sudah mulai terkikis di Desa Pakraman Beratan Samayaji. Bahkan beberapa di antaranya memang benar-benar sudah punah. Tidak ada bukti peninggalan sejarah yang konkret. Bahkan tradisi menghadirkan ayunan jantra saat piodalan itu pun sudah lama tidak dilakukan.
Seorang tokoh masyarakat setempat Ngurah Wedana, mengatakan bahwa dulu saat dia kecil, memang pernah melihat ayunan jantra sama persis seperti di Desa Adat Tenganan. Namun berjalannya waktu, ayunan jantra itu pun dibakar, saat dilaksanakan upacara panerangan di Pura Desa Pakraman Beratan Samayaji.
“Saya dulu memang pernah lihat, termasuk di semua rumah warga di sini yang laki-laki menjadi Pande Emas, yang perempuan sebagai penenun. Sayangnya sekarang alat-alat itu satu pun tidak ada tersisa,” ujar dia.
Tetapi keyakinan bahwa kramanya adalah krama Baliaga juga dibuktikan di dalam buku penelitian seorang Belanda Van Bloemen Waanders, dengan bukunya yang berjudul ‘History Of Bali’, menceritakan secara umum tentang Bali. Namun pada satu bab dia menceritakan desa tua Tenganan. Dalam bab itu juga tercetus nama Beratan yang disebut sebagai keturunan klan Pande asal Tenganan pindah ke Buleleng, yakni ke sebuah desa yang bernama Bratan.
Dalam buku tersebut juga dipaparkan mengenai adat istiadat seperti perkawinan endogami (adalah suatu perkawinan antara etnis, klan, suku, atau kekerabatan dalam lingkungan yang sama, Red) dan hanya mengubur mayat ketika ada kramanya yang meninggal. Hal tersebut pun saat ini semakin membuat penasaran krama setempat untuk menggali jati diri mereka. Krama juga dikatakan sempat melakukan studi banding ke Tenganan terkait data dan informasi yang mereka dapatkan.
Upaya penggalian jati diri itu pun kini masih dilakukan dengan menelisik ratusan lontar yang ada di Desa Pakraman Beratan yang dibantu diidentifikasi oleh penyuluh bahasa Bali yang bertugas di Buleleng. Dengan tergerusnya adat istiadat asli setempat, pihak Desa Pakraman mengaku akan mengembalikannya secara berangsur-angsur.
Sementara itu, satu-satunya tradisi yang masih dilaksanakan hingga saat ini adalah tradisi nunas srosob, saat terjadi keributan dan ketegangan di masyarakat termasuk saat kondisi bumi gonjang-ganjing. Tradisi nunas srosob (salah satu jenis makanan khas Bali, Red), untuk meminta keselamatan.
Tradisi itu memang masih dilakoni hingga saat ini. Tetapi terakhir kali dilakukan pada tahun 1977. Saat itu disebut sedang terjadi ribut-ribut yang disebabkan oleh persaingan politik. Kelian Desa Pakraman Beratan Samayaji Ketut Benny Dirgaariawan mengatakan tradisi nunas srosob biasanya dilakukan di Pura Desa Pakraman Beratan Samayaji.
Srosob itu terbuat dari jeroan babi yang diolah dipadupadankan dengan bumbu dapur. Juga menggunakan darah seperti pembuatan lawar getih. Srosob itu kemudian akan dimakan bersama-sama oleh krama setempat untuk mendapat perlindungan, keselamatan dari keributan dan kegaduhan dunia yang terjadi saat itu.
Sebelum memakan srosob, akan diawali dengan sembahyang bersama, matur piuning kepada penguasa setempat. “Jadi seluruh krama akan berkumpul untuk upacara ini, jika memang dipandang situasi sudah gawat,” ujar Benny.
Dalam pelaksanaan tradisi tersebut seluruh krama turun tangan dan bergotong royong untuk membuat sarana upacara dimaksud. Hingga akhirnya selesai dan bersama akan menyantap srosob sesudah melaksanakan persembahyangan bersama.
Hanya saja yang boleh nunas srosob dalah pria yang sudah dewasa. Benny mengaku tidak mengetahui secara jelas alasan itu. Tetapi jika dikaitkan dengan permasalahan dunia yang sudah darurat, yang boleh terlibat hanyalah lelaki biasa. Sedangkan istri dan anak-anaknya berlindung di belakang kaum pria dewasa. * k23
Komentar