Daa-Teruna Badung Juara Lomba Ngwacen Aksara Bali
DENPASAR, NusaBali
Bulan Bahasa Bali IV Tahun 2022 menggelar berbagai wimbakara (lomba) yang berkaitan dengan bahasa, aksara, dan sastra Bali.
Salah satunya, Wimbakara Ngwacen Aksara Bali (Membaca Aksara Bali) di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Provinsi Bali di Denpasar, Kamis (17/2). Dalam ajang tersebut, Daa – Teruna (Remaja) Badung menyabet gelar juara mengalahkan duta kabupaten/kota lainnya.
Wimbakara ini menunjukkan keseriusan generasi muda dalam mencintai warisan leluhur. Dengan piawai, para daa – teruna membaca aksara Bali dalam lontar. Dalam lomba ini, teks yang dibaca tidak sama antara satu peserta dengan peserta yang lainnya. Bahkan bahan bacaan lomba itu baru diberikan di atas panggung setelah registrasi melalui sistem pengundian. Masing-masing peserta diberikan membaca dua lembar lontar (4 halaman) sesuai pengundian.
Dari sini teruji kemampuan membaca aksara Bali dari para daa – teruna itu. Nyatanya, dari 9 peserta yang merupakan perwakilan dari kabupaten dan kota benar-benar terampil dalam membaca lontar. Bahkan tidak lewat dari waktu 10 menit yang diberikan panitia. Setelah dewan juri menyimak kemudian mempertimbangkan sesuai kriteria, seperti keutuhan baca, ketepatan, intonasi, penampilan, dan menyimak, duta Kabupaten Badung ditetapkan sebagai Jayanti (Juara) I, serta Kabupaten Gianyar dan Kota Denpasar sebagai Juara II dan III.
Salah satu dewan juri, Prof Dr Drs I Made Surada MA, menjelaskan ada beberapa indikator yang bisa dilihat untuk mengetahui seseorang bisa ngwacen lontar Bali dengan baik, termasuk di dalam lomba ini. “Ketika mereka mampu memahami kosa kata, kemudian intonasi dan pemenggalannya dibuat dengan bagus, sehingga menyimak dengan bagus maka secara otomatis geraknya akan menarik,” ujarnya.
Syarat menjadi seorang pembaca lontar, kata Prof Surada, harus mengetahui dan mengerti pemahaman khusus perbendaharaan kata atau kosa kata. Membaca lontar itu diperlukan kemampuan memahami bentuk-bentuk aksara di lontar. Sesungguhnya beda aksara ‘ha’ dengan aksara ‘ta’, tetapi akan hampir mirip ditulis dengan pengrupak, sebab sulit memberikan tulisan itu agak lemuh. Termasuk aksara ‘ba’ dengan aksara ‘nge’ memang hampir mirip. “Di sini lah perlu pemahaman kosa kata. Ngewacen aksara Bali itu harus bisa menyimak seperti yang ada dalam kriteria, seperti lomba,” ungkap Prof Surada.
Prof Surada mengakui, kemampuan para remaja membaca lontar itu ada peningkatan terus dibanding tahun sebelumnya. Dia sendiri mengamati secara langsung karena kebetulan tak pernah absen sebagai juri. Peserta sangat antusias dan terus belajar membaca aksara Bali, utamanya dalam lontar.
“Membaca aksara Bali di lontar dengan ditulis dalam buku itu berbeda. Misalnya dari bentuk huruf, kejelasan aksara, sehingga harus dipelajari untuk dapat melahirkan trik-trik sendiri bagi remaja untuk belajar,” tutur akademisi Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar ini.
Lanjutnya, dalam wimbakara kali ini, para peserta membaca tentang Geguritan Gajah Para, yang menceritakan I Gusti Getas menghadap ke Raja Seleparang Lombok. Di situ terjadi penerimaan percakapan jalan cerita, sampai terjalinnya cerita yang sesungguhnya. Ini membuktikan generasi muda sudah bisa membaca teks aslinya dalam lontar. “Karena sesungguhnya beda membaca tulisan bahasa Bali di lontar dengan di buku. Kalau di lontar itu tidak ada spasi dan terus berlanjut, sehingga anak-anak mesti peka terhadap kosa kata,” bebernya. *ind
1
Komentar