Jelang Eksekusi Lahan Ungasan: Sisi Kemanusiaan dan Potensi Ricuh Diungkit
MANGUPURA, NusaBali.com – Setelah menemui kegagalan pada Rabu (9/2/2022), eksekusi lahan di Ungasan, Kuta Selatan, Kabupaten Badung, dijadwalkan akan dilaksanakan kembali pada Rabu (23/2/2022).
Untuk memuluskan eksekusi lahan sengketa yang berawal dari transaksi jual beli pada tahun 1992 tersebut, Pengadilan Negeri (PN) Denpasar akan melibatkan Polri dan TNI.
“Pelaksanaan eksekusi dijadwalkan 23 Februari mendatang. Surat resmi pemberitahuan eksekusi sudah dikeluarkan kepada semua pihak. Untuk eksekusi lanjutan, pengamanan akan melibatkan Polres dan TNI,” terang Juru Bicara PN Denpasar, Gde Putra Astawa.
Kengototan pihak PN Denpasar untuk mengeksekusi lahan yang dipersengketakan sejak dua dasawarsa lalu itu pun dikecam oleh kuasa hukum ahli waris pemilik lahan, Siswo Sumarto. “Juru bicara PN Denpasar membuat statemen yang mengguncang psikis dari ahli waris dengan mengatakan akan mengerahkan TNI/Polri. Ini mau berperang sama siapa. Ini kan kasus perdata, saya yakin TNI/Polri punya marwah yang tidak bisa dimanfaatkan oleh juru bicara PN,” kata Siswo Sumarto, Minggu (20/2/2022).
Pengacara yang akrab disapa Bowo ini pun mempertanyakan Panitera PN Denpasar Mathilda Tampubolon yang pada eksekusi 9 Februari memberi ruang untuk mediasi. “Faktanya PN bersurat lagi untuk menetapkan eksekusi pada 23 Februari 2022,” tanya Bowo.
Dipilihnya eksekusi pada Rabu (23/2/2022) juga dipertanyakan oleh Bowo, karena pada waktu yang sama sejatinya menjadi agenda persidangan gugatan yang diajukannya para ahli waris terhadap Bambang Samijono, pembeli lahan seluas 5.680 meter persegi pada tahun 1993 yang pelunasannya belum terjadi.
“Pengumuman pemanggilan untuk datang pada sidang tanggal 23 Februari 2022 sudah diterbitkan di media cetak ibukota,” jelas Bowo.
Bambang Samijono adalah sentral dari kasus yang sudah puluhan tahun bergulir. Setelah melakukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli dilakukan di hadapan Notaris I Putu Chandra, Bambang Samijono menghilang dengan hanya memberikan pembayaran Rp 500 juta lebih dari total Rp 2,5 miliar yang disepakati.
Upaya pencarian tak kunjung ada hasil. Justru sertifikat lahan yang berada di dekat Pantai Melasti ini sudah diagunkan di Bank Uppindo. Dan pada tahun 2000, Lie Herman Trisna berhasil memenangkan pelelangan aset di daerah pariwisata tersebut.
Bank Uppindo sendiri ternyata memperoleh tanah milik penggugat berdasarkan atas Pengikatan Jual Beli tanggal 18 Mei 1993 No.37 dan kuasa tanggal 18 Mei 1993 No.38. Ribetnya lagi, Bank Uppindo kemudian dilikuidasi dan berada di bawah BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) pada 2004.
Atas fakta itulah pihak ahli waris melalui kuasa hukum, Bowo dkk, menyatakan tidak seharusnya eksekusi dipaksakan. Bahkan Bowo mengingatkan bahwa potensi ricuh bisa saja terjadi melihat kekecewaan dari para pemilik lahan yang merasa didzolimi. “Saya tidak berharap itu terjadi, tapi saya lepas tangan kalau sampai terjadi kericuhan,” tegas Bowo.
Bowo juga mengungkit soal sisi kemanusiaan yang dihadapi pada kasus ini. Sebagaimana diketahui, salah satu ahli waris atau istri dari almarhum I Made Rureg (pemilik lahan) meninggal dunia pada 12 Februari 2022. Rencananya proses pengabenan akan dilakukan pada Senin (21/2/2022).
“Bayangkan, dalam suasana masih berduka akan dilakukan eksekusi. Jelas sangat tidak bijaksana dan sama sekali tidak memperhatikan unsur kemanusiaannya,” kata Bowo. “Karena itu saya pribadi merasa khawatir jika eksekusi tetap dilakukan,” lanjutnya.
Sisi kemanusiaan ini pula yang sempat mengemuka pada eksekusi pertama yang gagal. Saat itu pihak ahli waris mengingatkan pada Panitera PN Denpasar Mathilda Tampubolon soal kedua pihak sama-sama dirugikan, dan sebaiknya lahan dibagi dua agar pihak ahli waris juga bisa mendapat kemanfaatan dari sisi ekonomi.
“Apalagi pernah terjadi perdamaian di antara kedua belah pihak yang menyepakati pembagian lahan sengketa 50:50,” ungkap Bowo tentang kesepakatan yang dilakukan pada awal tahun 2000an.
Sengketa lahan Ungasan ini memang bukan kali pertama masuk dalam meja hijau. Pada 2001, putusan PN Denpasar membatalkan perjanjian Pengikatan Jual beli Nomor 153 yang dibuat di hadapan Notaris Putu Chandra. Penyebabnya adalah transaksi yang dilakukan oleh pembeli atas nama Bambang Samijono belum lunas.
Tak mau aset yang diperoleh berdasarkan lelang sesuai aturan negara, Lie Herman pun balik mengajukan gugatan bantahan di tahun yang sama, dengan dalil bahwa perolehan hak atas tanah dilakukan berdasarkan hasil lelang 10 Oktober 2000 berdasarkan risalah lelang No.280/2000 tanggal 18 Oktober 2000.
Meja hijau kembali mempertemukan para pihak di tahun 2012, dan tetap tanpa kehadiran Bambang Samijono. "Saya tidak tahu (masalah Bambang Samijono, Red). Itu urusan intern mereka," kata Lie Herman.
“Saya mengikut lelang setelah baca iklan lelang di surat kabar. Pelelangan itu resmi oleh Negara dan saya mengikuti semua prosedurnya,” tegas Lie Herman saat ditemui di lokasi lahan pada 9 Februari 2022.
“Ketika saya mau mengambil hak saya, justru selalu dihalang-halangi. Mari bersama-sama menghormati hukum dan menjalankan putusan dari pengadilan yang sudah berkekuatan tetap,” cetus pria paruh baya berkacamata ini.
Sayangnya, tidak ada titik temu antara pihak ahli waris pemilik lahan maupun dari pemenang lelang yang sudah mengikuti prosedur. Alhasil, eksekusi ‘ulang’ yang dilakukan pada Rabu (23/2/2022), diyakini juga akan kembali memanas.
Pasalnya, kubu yang saat ini menguasai lahan bersikeras menyatakan bahwa lahan seluas 5.680 meter persegi tersebut belum dilunasi pembayarannya. “Pembayaran transaksi tanah milik kakek saya bernama I Made Nureg belum dilunasi oleh pembeli atas nama Bambang Samijono,” kata Kadek Handiana Putra, salah satu ahli waris.
Kadek Handiana Putra adalah salah putra dari Made Suka, salah satu ahli waris I Made Nureg. Selain Made Suka, I Made Nureg memiliki putra I Wayan Rureg, I Nyoman Nuada dan Ketut Sukarta. Sedangkan sang istri, Nyoman Rimpen, meninggal dunia pada 12 Februari 2022 atau tiga hari setelah upaya eksekusi lalu.
“Beliau tentu saja shock dan mengalami tekanan luar biasa karena selama hampir 21 tahun memikirkan tidak ada kepastian hukum tentang haknya,” kata Bowo. “Beliau diaben pada tanggal 21 Februari, rasanya jika eksekusi dipaksakan dua hari kemudian kok tidak elok,” pesan Bowo mengulang fakta kemanusiaan yang terjadi.
1
Komentar