Perajin Arak Tradisional Bali Apresiasi Gebrakan Koster
Setelah Gubernur Bali Minta Hentikan Produksi Arak Gula di Karangasem
Selain diterjang serbuan produk arak gula yang dengan harga murah, perajin arak tradisional Bali di Desa Tri Eka Buwana, Kecamatan Sidemen, Karangasem juga kerap harus hadapi gangguan makhluk siluman
AMLAPURA, NusaBali
Gebrakan Gubernur Bali I Wayan Koster yang perintahkan untuk menutup aktivitas produksi arak gula pasir, diapresiasi segenap perajin arak tradisional Bali di Kabupaten Karangasem. Masalahnya, produksi arak gula pasir tersebut selama ini telah mematikan perajin arak tradisional Bali.
Apresiasi terhadap langkah Gubernur Koster tersebut, antara lain, disampaikan I Ketut Derka, petani arak tradisional Bali dari Banjar Duuran, Desa Tri Eka Bhuana, Kecamatan Sidemen, Karangasem kepada NusaBali, Senin (21/2). "Kami mengapresiasi langkah Gubernur Bali yang perintahkan untuk menutup aktivitas arak gula,” jelas Ketut Derka.
Ketut Derka menyebutkan, selama ini keberadaan arak gula (dibuat dari fermentasi gula pasir) telah mematikan perajin arak tradisional Bali. Apalagi, arak gula tersebut dijual murah dan masuk ke mana-mana. “Dengan instruksi Gubernur Bali untuk tutup produksi arak gula, kami para perajin arak tradisional berharap bisa eksis," tegas perajin arak yang notabene Perbekel Tri Eka Bhuana non aktif ini.
Harapan senada juga disampaikan perajin arak tradisional Bali lainnya, I Wayan Suarma. Perajin arak tradisional asal Banjar Duuran, Desa Tri Eka Bhuana ini berharap perintah Gubernur Koster efektif untuk hentikan produksi arak gula.
Menurut Wayan Suarma, dirinya selaku perajin arak tradisional Bali belakangan harus menghadapi dua masalah. Selain menghadapi produk arak gula yang menjamur dengan harga murah, perajin arak tradisional Bali juga harus menghadapi gangguan makhluk siluman.
Wayan Suama menyebutkan, perajin arak tradisional Bali kerap mendapat gangguan secara gaib, di mana makhluk siluman diduga mengganggu mereka pada malam hari. Karena gangguan non teknis tersebut, produksi arak tradisional Bali sering gagal, terutama dalam proses merendam tuak selama 3 hari agar kualitasnya lebih keras sebelum dimasak menjadi arak. “Saat proses merendam tuak itulah, sari-sari tuak biasanya disedot oleh makhluk gaib, sehingga tuak tidak bisa lagi diproses menjadi arak,” keluh Wayan Suarma.
Proses membuat arak tradisional Bali, kata Wayan Suarma, berlangsung selama empat hari. Dimulai dengan mengumpulkan tuak hingga mampu menampung 110 liter, kemudian dimasak menggunakan kekeg yang terbuat dari bahan stainless.
Tahap memasak tuak membutuhkan waktu selama 8 jam, mulai subuh pukul 05.00 Wita hingga siang pukul 13.00 Wita. Dari situ, 110 liter tuak yang dimasak mampu menghasilkan hanya sekitar 15 liter arak tradisional Bali. “Produksi arak tradisional dijual seharga Rp 50.000 per liter kepada pengepul. Jadi, dalam empat hari berproduksi menggunakan 110 liter tuak, penghasilan mencapai Rp 750.000,” terang Wayan Suarma.
Di Desa Tri Eka Bhuana sendiri saat ini terdapat 470 perajin (petani) arak tradisional Bali. Mereka mempekerjakan 903 tenaga kerja berasal dari 600 kepala keluarga (KK) di Desa Tri Eka Buana. Mereka tinggal tersebar di 3 banjar dinas, yakni Banjar Telun Wayah Duuran, Banjar Telun Wayah Betenan, dan Banjar Pungutan.
Sementara, Gubernur Bali Wayan Koster sebelkumnya meminta Sat Pol PP, Dinas Perindustrian & Perdagangan (Disperindag) Provinsi Bali, dan Disperindag Kabupaten Karangasem untuk menutup produksi arak gula yang semakin menjamur di Karangasem. Masalahnya, arak gula ancam tradisi, kelestarian, dan kesejahteraan petani arak Bali, selain juga membahayakan kesehatan karena berbahan kimia.
Instruksi tersebut disampaikan Gubernur Koster saat menggelar acara sosialisasi implementasi Peraturan Gubernur (Pergub) Bali Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan/atau Destilasi Khas Bali, serta memfasilitasi Peralatan Destilasi kepada Kelompok Perajin Minuman Fermentasi dan/atau Destilasi Khas Bali di Wilayah Karangasem, yang digelar di Objek Wisata Taman Sukasada Ujung ka-wasan Banjar Ujung Pesisi, Desa Tumbu, Kecamatan Karangasem, Ming-gu (20/2) pagi.
Gubernur Koster secara tegas minta untuk menutup produksi arak gula, karena berbagai alasan. Pertama, keberadaan arak gula mengancam tradisi dan kelestarian minuman fermentasi dan/atau destilasi khas Bali dengan bahan baku lokal. Kedua, arak gula mengancam kesejahteraan para petani dan perajin arak, karena merugikan harga pasar.
Ketiga, arak gula mematikan citarasa dan branding arak Bali. Keempat, arak gula membahayakan kesehatan masyarakat, karena di dalam destilasinya mengandung ragi sintetis yang terbuat dari bahan kimia. Kelima, arak gula bertentangan dengan Pergub Bali Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan/atau Destilasi Khas Bali.
“Saya minta Kadis Perindag dan Sat Pol PP Provinsi Bali bersama Kabupaten Karangasem untuk segera menutup produksi arak gula. Jangan takut, datangi saja tempat produksinya, lalu tutup,” pinta Gubernur Koster.
“Sekali lagi, jangan takut, karena kita harus melindungi yang besar dan yang lebih mulia. Apa tega kita merusak warisan leluhur? Apa tega kita merusak produksi tradisional arak kita yang sudah dilakukan secara turun-temurun dan memberikan cita rasa luar biasa sampai dikenal? Di mana letak tanggungjawab kita sebagai pribadi hanya untuk mencari keuntungan dan membahayakan nyawa orang?” lanjut Gubernur yang juga Ketua DPD PDIP Bali ini.
Berdasarkan laporan yang diterima Gubernur Koster, di Karangasem terdapat 50 perajin arak gula. Sedangkan perajin arak tradisional Bali di Karangasem mencapai 1.798 perajin, yang tersebar di 6 kecamatan, yakni Kecamatan Kubu, Kecamatan Abang, Kecamatan Bebandem, Kecamatan Manggis, Kecamatan Selat, dan Kecamatan Sidemen. Maka, lebih baik mengorbankan 50 perajin arak gula demi memajukan 1.798 perajin arak tradisional Bali.
Keberadaan arak gula jelas-jelas telah merusak pasar. Arak gula yang merupakan fermentasi gula pasir, dijual murah dengan harga Rp 10.000 hingga Rp 15.000 per botol isi 600 ml. Padahal, arak tradisional Bali dijual Rp 30.000 hingga Rp 35.000 per botol. *k16
Apresiasi terhadap langkah Gubernur Koster tersebut, antara lain, disampaikan I Ketut Derka, petani arak tradisional Bali dari Banjar Duuran, Desa Tri Eka Bhuana, Kecamatan Sidemen, Karangasem kepada NusaBali, Senin (21/2). "Kami mengapresiasi langkah Gubernur Bali yang perintahkan untuk menutup aktivitas arak gula,” jelas Ketut Derka.
Ketut Derka menyebutkan, selama ini keberadaan arak gula (dibuat dari fermentasi gula pasir) telah mematikan perajin arak tradisional Bali. Apalagi, arak gula tersebut dijual murah dan masuk ke mana-mana. “Dengan instruksi Gubernur Bali untuk tutup produksi arak gula, kami para perajin arak tradisional berharap bisa eksis," tegas perajin arak yang notabene Perbekel Tri Eka Bhuana non aktif ini.
Harapan senada juga disampaikan perajin arak tradisional Bali lainnya, I Wayan Suarma. Perajin arak tradisional asal Banjar Duuran, Desa Tri Eka Bhuana ini berharap perintah Gubernur Koster efektif untuk hentikan produksi arak gula.
Menurut Wayan Suarma, dirinya selaku perajin arak tradisional Bali belakangan harus menghadapi dua masalah. Selain menghadapi produk arak gula yang menjamur dengan harga murah, perajin arak tradisional Bali juga harus menghadapi gangguan makhluk siluman.
Wayan Suama menyebutkan, perajin arak tradisional Bali kerap mendapat gangguan secara gaib, di mana makhluk siluman diduga mengganggu mereka pada malam hari. Karena gangguan non teknis tersebut, produksi arak tradisional Bali sering gagal, terutama dalam proses merendam tuak selama 3 hari agar kualitasnya lebih keras sebelum dimasak menjadi arak. “Saat proses merendam tuak itulah, sari-sari tuak biasanya disedot oleh makhluk gaib, sehingga tuak tidak bisa lagi diproses menjadi arak,” keluh Wayan Suarma.
Proses membuat arak tradisional Bali, kata Wayan Suarma, berlangsung selama empat hari. Dimulai dengan mengumpulkan tuak hingga mampu menampung 110 liter, kemudian dimasak menggunakan kekeg yang terbuat dari bahan stainless.
Tahap memasak tuak membutuhkan waktu selama 8 jam, mulai subuh pukul 05.00 Wita hingga siang pukul 13.00 Wita. Dari situ, 110 liter tuak yang dimasak mampu menghasilkan hanya sekitar 15 liter arak tradisional Bali. “Produksi arak tradisional dijual seharga Rp 50.000 per liter kepada pengepul. Jadi, dalam empat hari berproduksi menggunakan 110 liter tuak, penghasilan mencapai Rp 750.000,” terang Wayan Suarma.
Di Desa Tri Eka Bhuana sendiri saat ini terdapat 470 perajin (petani) arak tradisional Bali. Mereka mempekerjakan 903 tenaga kerja berasal dari 600 kepala keluarga (KK) di Desa Tri Eka Buana. Mereka tinggal tersebar di 3 banjar dinas, yakni Banjar Telun Wayah Duuran, Banjar Telun Wayah Betenan, dan Banjar Pungutan.
Sementara, Gubernur Bali Wayan Koster sebelkumnya meminta Sat Pol PP, Dinas Perindustrian & Perdagangan (Disperindag) Provinsi Bali, dan Disperindag Kabupaten Karangasem untuk menutup produksi arak gula yang semakin menjamur di Karangasem. Masalahnya, arak gula ancam tradisi, kelestarian, dan kesejahteraan petani arak Bali, selain juga membahayakan kesehatan karena berbahan kimia.
Instruksi tersebut disampaikan Gubernur Koster saat menggelar acara sosialisasi implementasi Peraturan Gubernur (Pergub) Bali Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan/atau Destilasi Khas Bali, serta memfasilitasi Peralatan Destilasi kepada Kelompok Perajin Minuman Fermentasi dan/atau Destilasi Khas Bali di Wilayah Karangasem, yang digelar di Objek Wisata Taman Sukasada Ujung ka-wasan Banjar Ujung Pesisi, Desa Tumbu, Kecamatan Karangasem, Ming-gu (20/2) pagi.
Gubernur Koster secara tegas minta untuk menutup produksi arak gula, karena berbagai alasan. Pertama, keberadaan arak gula mengancam tradisi dan kelestarian minuman fermentasi dan/atau destilasi khas Bali dengan bahan baku lokal. Kedua, arak gula mengancam kesejahteraan para petani dan perajin arak, karena merugikan harga pasar.
Ketiga, arak gula mematikan citarasa dan branding arak Bali. Keempat, arak gula membahayakan kesehatan masyarakat, karena di dalam destilasinya mengandung ragi sintetis yang terbuat dari bahan kimia. Kelima, arak gula bertentangan dengan Pergub Bali Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan/atau Destilasi Khas Bali.
“Saya minta Kadis Perindag dan Sat Pol PP Provinsi Bali bersama Kabupaten Karangasem untuk segera menutup produksi arak gula. Jangan takut, datangi saja tempat produksinya, lalu tutup,” pinta Gubernur Koster.
“Sekali lagi, jangan takut, karena kita harus melindungi yang besar dan yang lebih mulia. Apa tega kita merusak warisan leluhur? Apa tega kita merusak produksi tradisional arak kita yang sudah dilakukan secara turun-temurun dan memberikan cita rasa luar biasa sampai dikenal? Di mana letak tanggungjawab kita sebagai pribadi hanya untuk mencari keuntungan dan membahayakan nyawa orang?” lanjut Gubernur yang juga Ketua DPD PDIP Bali ini.
Berdasarkan laporan yang diterima Gubernur Koster, di Karangasem terdapat 50 perajin arak gula. Sedangkan perajin arak tradisional Bali di Karangasem mencapai 1.798 perajin, yang tersebar di 6 kecamatan, yakni Kecamatan Kubu, Kecamatan Abang, Kecamatan Bebandem, Kecamatan Manggis, Kecamatan Selat, dan Kecamatan Sidemen. Maka, lebih baik mengorbankan 50 perajin arak gula demi memajukan 1.798 perajin arak tradisional Bali.
Keberadaan arak gula jelas-jelas telah merusak pasar. Arak gula yang merupakan fermentasi gula pasir, dijual murah dengan harga Rp 10.000 hingga Rp 15.000 per botol isi 600 ml. Padahal, arak tradisional Bali dijual Rp 30.000 hingga Rp 35.000 per botol. *k16
1
Komentar