Suara Ledakan hingga Sembunyi di Bunker Bikin Para PMI Trauma
Cerita PMI asal Bali di Ukraina, Bertahan di Tengah Perang hingga Dievakuasi ke Indonesia
Ketika terjadi ledakan seluruh penghuni di gedung KBRI langsung menuju bunker untuk berlindung. Karena banyaknya orang maka saat di bunker harus berdesak-desakan.
GIANYAR, NusaBali
Sebanyak 26 Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal Bali yang bekerja di Negara Ukraina yang kini tengah berkecamuk perang kini bisa bernafas lega setelah berhasil pulang ke daerah asalnya masing-masing. Namun situasi gawat di Ukraina membuat mereka trauma jika diminta balik lagi ke negara tersebut. Betapa tidak, selama beberapa hari mereka berada di tengah kondisi perang. Suara ledakan dan peluru didengar begitu dekat. Bahkan mereka ada yang harus bersembunyi di bunker.
Kepada NusaBali, salah satu PMI Kadek Evi Oktaviani, 25, mengaku bersyukur bisa kembali ke kampung halamannya di Banjar Lebih Duur Kaja, Desa Lebih, Kecamatan Gianyar dalam keadaan selamat. Kadek Evi mengaku trauma jika harus balik lagi bekerja sebagai spa terapis di Ukraina. Kini, gadis kelahiran 1996 ini memilih untuk istirahat dan bekerja di Bali saja. Kalau pun ada kesempatan bekerja ke luar negeri, Evi akan memilih negara lain.
"Sementara istirahat dulu. Cari job freelance atau daily work (DW) di Bali dulu. Kalau ke Ukraina lagi, kayaknya enggak, masih trauma. Mungkin nanti ke negara lain biar banyak pengalaman," ungkapnya saat ditemui, Selasa (8/3) pagi. Didampingi ibunda tercinta Ni Made Sasih, 48, Evi menceritakan suasana yang dia rasakan saat perang Rusia-Ukraina berlangsung. Meskipun tidak melihat langsung serangan rudal, Evi bisa mendengar suara ledakan berkali-kali. Suasana mencekam juga dirasakan karena sekitar apartemen tempatnya tinggal di Kota Odessa, dijaga ketat oleh tentara Ukraina.
Masyarakat sipil hanya bisa keluar membeli bahan makanan. Itupun kebanyakan kalangan perempuan. "Karena kalau laki-laki yang keluar rumah, akan langsung diminta berperang. Maka dalam suasana seperti itu saya memilih untuk tetap diam di apartemen. Syukur stok makanan masih cukup," ungkap alumni SMK Singamandawa Gianyar ini.
Apartemen tempatnya tinggal relatif jauh dari ibukota Ukraina, yakni Kiev. "Dari Odessa ke pusat kota Kiev, naik bus bisa sekitar 7 jam. Cukup jauh, tapi suara ledakan terdengar keras sekali," ujarnya. Evi sudah off bekerja dan diam di apartemen bersama 5 rekan sesama PMI sejak, Rabu (23/2) lalu. Dalam apartemen Evi dkk hanya bisa pasrah menunggu kabar evakuasi dari KBRI (Kedutaan Besar RI).
Selama 3 hari, Evi dkk harus bertahan. Berkomunikasi dengan pihak terkait untuk kepulangan ke Indonesia. Evi dkk juga mengemas barang-barang. Hingga akhirnya pada Minggu (27/2) baru bisa keluar apartemen, naik bus menuju Bandara di Ukraina. Sayangnya, semua barang yang sudah dikemas dalam koper tidak bisa dibawa. "Karena ini evakuasi, kami diminta bawa satu tas. Isi cuma dua potong pakaian. Satu koper saya masih tertinggal di apartemen," jelasnya.
Meski demikian, Evi mencoba ikhlas. Yang terpenting nyawanya bisa selamat. Dari Ukraina, pesawat Garuda yang menjemput para PMI transit di Rumania. Sempat menjalani karantina 3 hari. Sebelum akhirnya mendarat di Bandara Soekarno Hatta Jakarta, pesawat sempat transit di Madinah, Arab Saudi. Di Jakarta karantina lagi beberapa hari. Karena ada salah satu positif Covid-19. Baru kemudian pesawat Garuda yang mengangkut 26 PMI dari Jakarta, tiba di Bandara I Gusti Ngurah Rai Bali pada, Senin (7/3) sekitar Pukul 19.30 Wita.
Anak kedua dari Ni Made Sasih dan I Made Lentor ini bekerja di Ukraina sejak tahun 2018. Evi memberanikan diri demi meningkatkan taraf hidup keluarga. Bisa dikatakan, Evi adalah tulang punggung keluarga. Membiayai kuliah kakak perempuan dan adik laki-lakinya serta memperbaiki rumah. Tempat Evi bekerja bernama Bali Spa milik orang asli Ukraina. Tidak saja penyebutan nama Bali, suasana spa tempatnya bekerja mirip Bali. "Ada patung Ganeshanya juga. Suasana persis di Bali, makanya orang-orang sana suka," jelas alumni SMP Swadarma Sastra Lebih ini.
Hal serupa diungkapkan PMI asal Badung, Ni Wayan Era Rustini, 26. Dia mengaku baru bisa bernafas lega setelah mendarat di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai pada Senin malam. Dia berucap syukur karena selamat dari ketegangan yang terjadi di wilayah Ukraina saat ini. Untuk balik ke negara itu, Era mengaku trauma, meski kontrak kerjanya masih tersisa satu tahun lagi di sana.
Ditemui di kediamannya di Banjar Puseh, Desa Angantaka, Kecamatan Abiansemal, Selasa kemarin, suasana rumah Era Rustini tampak sepi. Didampingi adiknya kepada media, Era menceritakan ketegangan yang terjadi di Ukraina dan bagaimana dia serta warga Bali lainnya bertahan hidup di tengah gempuran kekuatan Rusia yang menyerang Ukraina.
Beruntung bagi Era tempat tinggalnya bukanlah ibukota Ukraina, Kiev yang saat ini bergejolak.
Era bersama lima orang pekerja spa therapist asal Bali tinggal di sebuah apartemen di Odessa, wilayah yang termasuk pinggiran kota di Ukraina. Akan tetapi, meski jaraknya jauh, suara ledakan cukup keras terdengar.
“Masyarakat di sana diizinkan keluar untuk membeli bahan makanan. Tapi itu pun dijaga ketat tentara di sana. Sebenarnya itu (penjagaan ketat, red) yang bikin takut dan trauma,” kata perempuan kelahiran 22 November 1995 ini.
Situasi panik tak hanya dialami oleh Era dkk. Namun juga keluarga di rumah juga tak tenang dan waswas mendengar perang Rusia-Ukraina ini. Era sendiri mengaku terus ditelepon oleh keluarganya setiap hari. “Ya, semua khawatir di rumah. Takut terjadi apa-apa di negara orang. Setiap hari kami kabarkan situasi terkini kepada keluarga masing-masing,” terang anak pertama dari tiga bersaudara pasangan I Wayan Darma dan Ni Luh Meriani ini.
Tak hentinya mereka berdoa. Akhirnya pada Minggu (27/2), Era dkk bisa bernafas lega karena ada kabar baik akan dievakuasi oleh KBRI yang bertugas di sana. “Sebenarnya saya sudah beberapa kali kerja keluar. Dari tahun 2014, saya pernah kerja di Turki dan Bulgaria. Nah, selama pandemi kemarin tidak ada informasi perpanjangan kontrak dari hotel di Bulgaria, sehingga saya mencoba untuk mencari lowongan lain. Ketemu lah lowongan ke Ukraina ini. Saya pikir coba cari pengalaman baru,” jelas Era. Jika pun ada kesempatan bekerja keluar negeri kembali, Era lebih memilih negara lain. “Trauma saya, gak mau balik lagi ke sana. Kalau ada lowongan di negara lain,” imbuhnya.
Kondisi lebih menegangkan diceritakan PMI asal Banjar/Desa Sulahan, Kecamatan Susut, Bangli, Desak Made Yuni, 30. Ditemuinya di rumahnya, Selasa kemarin Desak Made Yuni yang merupakan spa terapis ini mengaku bersyukur sudah bisa di rumah dalam kondisi selamat. Perempuan kelahiran Desa Ketewel, Kecamatan Sukawati, Gianyar ini menyampaikan terima kasih kepada pemerintah karena telah mengevakuasi WNI yang ada di Ukraina.
Desak Made Yuni menuturkan jika kondisi mencekam mulai dirasakan pada 24 Februari dini hari. Ketika itu dirinya berada di apartemen yang berlokasi di Kiev. Posisi saat itu sedang tidur dan terdengar suara ledakan bom. Ledakan tersebut membuat dirinya panik dan ketakutan. "Posisi sedang tidur, tiba-tiba terdengar ledakan. Namun saya tidak melihat posisi/titik ledakan tersebut," ungkapnya.
Pasca terjadi bom pada 24 Februari sekitar pukul 05.00 waktu setempat, Desak Made Yuni mendapat kabar dari group KBRI agar mempersiapkan diri untuk dilakukan evakuasi. Menunggu proses evakuasi, istri dari Dewa Made Budi Hartawan, 31, ini langsung mengemasi barang-barang. Baru pada 24 Februari sore dirinya dijemput oleh pihak KBRI. Sejak sore itu dirinya bersama seratusan orang berlindung di gedung KBRI. Saat berada di gedung KBRI tersebut terdengar suara ledakan bom beberapa kali. Ketika terjadi ledakan bom seluruh penghuni di gedung KBRI langsung menuju bunker untuk berlindung. Karena banyaknya orang maka saat di bunker harus berdesak-desakan.
"Saat di bunker posisi berdesakan. Ada yang duduk dan juga yang berdiri. Kondisi ini membuat semua panik," ujarnya. Lanjutnya, pada 28 Februari WNI mulai meninggalkan gedung KBRI untuk evakuasi bersama ratusan WNI lainnya. Dalam perjalanan tersebut kendaraan pembawa WNI ini sempat dicegat untuk pemeriksaan. Bahkan sampai 7 kali kendaraan diberhentikan. Seluruh penumpang dicek dan dipastikan WNI. *nvi, ind, esa
Kepada NusaBali, salah satu PMI Kadek Evi Oktaviani, 25, mengaku bersyukur bisa kembali ke kampung halamannya di Banjar Lebih Duur Kaja, Desa Lebih, Kecamatan Gianyar dalam keadaan selamat. Kadek Evi mengaku trauma jika harus balik lagi bekerja sebagai spa terapis di Ukraina. Kini, gadis kelahiran 1996 ini memilih untuk istirahat dan bekerja di Bali saja. Kalau pun ada kesempatan bekerja ke luar negeri, Evi akan memilih negara lain.
"Sementara istirahat dulu. Cari job freelance atau daily work (DW) di Bali dulu. Kalau ke Ukraina lagi, kayaknya enggak, masih trauma. Mungkin nanti ke negara lain biar banyak pengalaman," ungkapnya saat ditemui, Selasa (8/3) pagi. Didampingi ibunda tercinta Ni Made Sasih, 48, Evi menceritakan suasana yang dia rasakan saat perang Rusia-Ukraina berlangsung. Meskipun tidak melihat langsung serangan rudal, Evi bisa mendengar suara ledakan berkali-kali. Suasana mencekam juga dirasakan karena sekitar apartemen tempatnya tinggal di Kota Odessa, dijaga ketat oleh tentara Ukraina.
Masyarakat sipil hanya bisa keluar membeli bahan makanan. Itupun kebanyakan kalangan perempuan. "Karena kalau laki-laki yang keluar rumah, akan langsung diminta berperang. Maka dalam suasana seperti itu saya memilih untuk tetap diam di apartemen. Syukur stok makanan masih cukup," ungkap alumni SMK Singamandawa Gianyar ini.
Apartemen tempatnya tinggal relatif jauh dari ibukota Ukraina, yakni Kiev. "Dari Odessa ke pusat kota Kiev, naik bus bisa sekitar 7 jam. Cukup jauh, tapi suara ledakan terdengar keras sekali," ujarnya. Evi sudah off bekerja dan diam di apartemen bersama 5 rekan sesama PMI sejak, Rabu (23/2) lalu. Dalam apartemen Evi dkk hanya bisa pasrah menunggu kabar evakuasi dari KBRI (Kedutaan Besar RI).
Selama 3 hari, Evi dkk harus bertahan. Berkomunikasi dengan pihak terkait untuk kepulangan ke Indonesia. Evi dkk juga mengemas barang-barang. Hingga akhirnya pada Minggu (27/2) baru bisa keluar apartemen, naik bus menuju Bandara di Ukraina. Sayangnya, semua barang yang sudah dikemas dalam koper tidak bisa dibawa. "Karena ini evakuasi, kami diminta bawa satu tas. Isi cuma dua potong pakaian. Satu koper saya masih tertinggal di apartemen," jelasnya.
Meski demikian, Evi mencoba ikhlas. Yang terpenting nyawanya bisa selamat. Dari Ukraina, pesawat Garuda yang menjemput para PMI transit di Rumania. Sempat menjalani karantina 3 hari. Sebelum akhirnya mendarat di Bandara Soekarno Hatta Jakarta, pesawat sempat transit di Madinah, Arab Saudi. Di Jakarta karantina lagi beberapa hari. Karena ada salah satu positif Covid-19. Baru kemudian pesawat Garuda yang mengangkut 26 PMI dari Jakarta, tiba di Bandara I Gusti Ngurah Rai Bali pada, Senin (7/3) sekitar Pukul 19.30 Wita.
Anak kedua dari Ni Made Sasih dan I Made Lentor ini bekerja di Ukraina sejak tahun 2018. Evi memberanikan diri demi meningkatkan taraf hidup keluarga. Bisa dikatakan, Evi adalah tulang punggung keluarga. Membiayai kuliah kakak perempuan dan adik laki-lakinya serta memperbaiki rumah. Tempat Evi bekerja bernama Bali Spa milik orang asli Ukraina. Tidak saja penyebutan nama Bali, suasana spa tempatnya bekerja mirip Bali. "Ada patung Ganeshanya juga. Suasana persis di Bali, makanya orang-orang sana suka," jelas alumni SMP Swadarma Sastra Lebih ini.
Hal serupa diungkapkan PMI asal Badung, Ni Wayan Era Rustini, 26. Dia mengaku baru bisa bernafas lega setelah mendarat di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai pada Senin malam. Dia berucap syukur karena selamat dari ketegangan yang terjadi di wilayah Ukraina saat ini. Untuk balik ke negara itu, Era mengaku trauma, meski kontrak kerjanya masih tersisa satu tahun lagi di sana.
Ditemui di kediamannya di Banjar Puseh, Desa Angantaka, Kecamatan Abiansemal, Selasa kemarin, suasana rumah Era Rustini tampak sepi. Didampingi adiknya kepada media, Era menceritakan ketegangan yang terjadi di Ukraina dan bagaimana dia serta warga Bali lainnya bertahan hidup di tengah gempuran kekuatan Rusia yang menyerang Ukraina.
Beruntung bagi Era tempat tinggalnya bukanlah ibukota Ukraina, Kiev yang saat ini bergejolak.
Era bersama lima orang pekerja spa therapist asal Bali tinggal di sebuah apartemen di Odessa, wilayah yang termasuk pinggiran kota di Ukraina. Akan tetapi, meski jaraknya jauh, suara ledakan cukup keras terdengar.
“Masyarakat di sana diizinkan keluar untuk membeli bahan makanan. Tapi itu pun dijaga ketat tentara di sana. Sebenarnya itu (penjagaan ketat, red) yang bikin takut dan trauma,” kata perempuan kelahiran 22 November 1995 ini.
Situasi panik tak hanya dialami oleh Era dkk. Namun juga keluarga di rumah juga tak tenang dan waswas mendengar perang Rusia-Ukraina ini. Era sendiri mengaku terus ditelepon oleh keluarganya setiap hari. “Ya, semua khawatir di rumah. Takut terjadi apa-apa di negara orang. Setiap hari kami kabarkan situasi terkini kepada keluarga masing-masing,” terang anak pertama dari tiga bersaudara pasangan I Wayan Darma dan Ni Luh Meriani ini.
Tak hentinya mereka berdoa. Akhirnya pada Minggu (27/2), Era dkk bisa bernafas lega karena ada kabar baik akan dievakuasi oleh KBRI yang bertugas di sana. “Sebenarnya saya sudah beberapa kali kerja keluar. Dari tahun 2014, saya pernah kerja di Turki dan Bulgaria. Nah, selama pandemi kemarin tidak ada informasi perpanjangan kontrak dari hotel di Bulgaria, sehingga saya mencoba untuk mencari lowongan lain. Ketemu lah lowongan ke Ukraina ini. Saya pikir coba cari pengalaman baru,” jelas Era. Jika pun ada kesempatan bekerja keluar negeri kembali, Era lebih memilih negara lain. “Trauma saya, gak mau balik lagi ke sana. Kalau ada lowongan di negara lain,” imbuhnya.
Kondisi lebih menegangkan diceritakan PMI asal Banjar/Desa Sulahan, Kecamatan Susut, Bangli, Desak Made Yuni, 30. Ditemuinya di rumahnya, Selasa kemarin Desak Made Yuni yang merupakan spa terapis ini mengaku bersyukur sudah bisa di rumah dalam kondisi selamat. Perempuan kelahiran Desa Ketewel, Kecamatan Sukawati, Gianyar ini menyampaikan terima kasih kepada pemerintah karena telah mengevakuasi WNI yang ada di Ukraina.
Desak Made Yuni menuturkan jika kondisi mencekam mulai dirasakan pada 24 Februari dini hari. Ketika itu dirinya berada di apartemen yang berlokasi di Kiev. Posisi saat itu sedang tidur dan terdengar suara ledakan bom. Ledakan tersebut membuat dirinya panik dan ketakutan. "Posisi sedang tidur, tiba-tiba terdengar ledakan. Namun saya tidak melihat posisi/titik ledakan tersebut," ungkapnya.
Pasca terjadi bom pada 24 Februari sekitar pukul 05.00 waktu setempat, Desak Made Yuni mendapat kabar dari group KBRI agar mempersiapkan diri untuk dilakukan evakuasi. Menunggu proses evakuasi, istri dari Dewa Made Budi Hartawan, 31, ini langsung mengemasi barang-barang. Baru pada 24 Februari sore dirinya dijemput oleh pihak KBRI. Sejak sore itu dirinya bersama seratusan orang berlindung di gedung KBRI. Saat berada di gedung KBRI tersebut terdengar suara ledakan bom beberapa kali. Ketika terjadi ledakan bom seluruh penghuni di gedung KBRI langsung menuju bunker untuk berlindung. Karena banyaknya orang maka saat di bunker harus berdesak-desakan.
"Saat di bunker posisi berdesakan. Ada yang duduk dan juga yang berdiri. Kondisi ini membuat semua panik," ujarnya. Lanjutnya, pada 28 Februari WNI mulai meninggalkan gedung KBRI untuk evakuasi bersama ratusan WNI lainnya. Dalam perjalanan tersebut kendaraan pembawa WNI ini sempat dicegat untuk pemeriksaan. Bahkan sampai 7 kali kendaraan diberhentikan. Seluruh penumpang dicek dan dipastikan WNI. *nvi, ind, esa
1
Komentar