Surga Kaum Pemabuk
Gubernur Bali Wayan Koster dikabarkan roadshow menyambangi yowana (sekaa teruna) yang tengah mempersiapkan ogoh-ogoh serangkaian Nyepi ke sejumlah banjar di Denpasar (Minggu, 27/2) malam.
Kepala Daerah datang membawa oleh-oleh arak dan nasi jinggo, yang disambut penuh suka cita oleh anak-anak muda itu. Sudah cukup lama Gubernur Bali mengajak masyarakat kalau minum kopi dicampur sedikit arak. “Agar lebih semangat,” alasannya dengan gembira. Dan arak Bali pun naik daun, yang sebelumnya dijual sembunyi-sembunyi sebagai minuman ilegal, kini dijual bebas dan dilindungi. Sudah tentu kian mudah dan tambah banyak bisa dijumpai di pasaran. Gubernur Bali bisa jadi disebut-sebut sebagai Bapak Arak Bali, karena memberi perlindungan, pasang badan, bagi kemajuan industri kecil dan menengah arak rakyat.
Masyarakat Bali yang doyan minum arak tampaknya memang semakin semangat. NusaBali (Rabu, 9/3) melaporkan tiga pria babak belur dihajar dengan tombak di Denpasar Timur gara-gara salah paham saat pesta miras. Saat kejadian korban dan pelaku dalam keadaan mabuk. Kapolresta Denpasar AKBP Bambang Yugo Pamungkas mengungkapkan, penganiayaan itu dipicu akibat mabuk minuman keras. Tiga korban dan pelaku adalah orang Bali.
NusaBali edisi sama juga mewartakan aksi mabuk, main tikam, perut terburai akibat penusukan saat pangerupukan di Banjar Umasari, Denpasar Utara, ketika pawai ogoh-ogoh. Kapolresta menjelaskan, penusukan itu akibat salah paham, karena dipengaruhi alkohol minuman keras. Korban dan pelaku sama-sama orang Bali.
Orang Bali harus mengakui memang doyan minum miras. Kesan ini juga mudah kita dapatkan di kalangan saudara-saudara kita dari NTT. Mereka yang sering bepergian pasti merasakan benar beda kota-kota di Jawa dengan kota-kota di Bali. Seorang pengusaha kaos oblong yang sering bepergian ke Bandung, Jogjakarta, Jakarta, Semarang, Surabaya, berkisah, kota-kota di Bali sesungguhnya lebih ‘liar’ dan lebih menakutkan. Dia memberi contoh soal perilaku orang yang mabuk di jalan-jalan. “Di Bali gampang sekali beli bir, arak, minuman beralkohol,” ujarnya. “Di Jawa beli sekaleng bir harus di swalayan, tak bisa kita dapatkan di warung-warung. Di Bali bir mudah diperoleh di kaki lima.”
Industri turisme sering dituduh sebagai biang orang mabuk mudah ditemukan di Bali. Pedagang kaos oblong itu, orang Bali dari Singaraja, menjelaskan, bisnis turisme mengajarkan orang-orang hidup senang, dekat dengan kegiatan hiburan. Turisme mengajarkan untuk membangun sebanyak mungkin tempat bersenang-senang. Dan kafe pun tumbuh subur di Bali.
Mereka yang bergiat di kafe menimba pengalaman dari kehidupan pub, kelab malam, di distrik wisata seperti Kuta, Legian, Dalung, Kerobokan. Tempat hiburan malam adalah surga bagi pemabuk, yang tidak sulit ditemui menelusup sampai ke desa-desa.
Orang Bali mabuk bisa dijumpai saban hari, setiap malam. Berita cekcok, adu jotos, saling tikam, karena mabuk, hampir bisa dibaca beritanya saban bulan, setiap minggu, di surat kabar. Kisah-kisah itu bermula dari kehidupan di industri pariwisata, kemudian menular ke anak-anak muda, anak sekolahan, yang suka nongkrong di pinggir jalan malam-malam beli nasi jinggo, tempat mereka bersantap sembari menenggak bir.
Selain kecanduan alkohol, banyak dan mudah dijumpai pecandu narkoba. Tak ada sanggup mencegah, semua terjadi begitu saja. Banyak orang berkomentar, jika Bali tidak menjadi tujuan wisata, pulau ini tak akan menerima masalah narkoba dan miras seriuh sekarang. Turisme menerima banyak pemasukan dari industri miras, namun berdampak gawat: merusak masyarakat, menyebabkan kian banyak orang Bali mamunyah (mabuk) dan baku hantam saling tusuk, saling tebas.
Sudah banyak Bali menerima gelar pemberian dunia, seperti Pulau Kahyangan, Pulau Dewata. Bisa jadi julukan itu akan bertambah: Pulau Mabuk. Harus selalu digalang upaya gigih, dan lantunan doa agar tidak seluruh isi pulau ini sungguh-sungguh mabuk. *
Aryantha Soethama
1
Komentar