Migor Langka, Beralih ke Lengis Tandusan
Kelangkaan atau ketersediaan minyak goreng dengan harga di atas ketentuan membuat sebagian warga menyiasati dengan minyak kelapa.
NEGARA, NusaBali
Warga sejumlah desa di Kabupaten Jembrana, belakangan mengeluhkan kelangkaan minyak goreng (migor) kemasan pasca ditetapkannya kebijakan migor satu harga Rp 14.000 per liter. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, beberapa warga pun memilih alternatif menggunakan lengis tandusan (minyak kelapa) .
Seperti diungkapkan Ni Komang Sunasih, 48, warga Banjar Dauh Pangkung, Desa/Kecamatan Pekutatan, Jembrana. Ibu rumah tangga (IRT) ini, melihat jika migor masih lebih mudah di temui di daerah kota. Sedangkan di warung-warung pedesaan sulit ditemui. "Kalaupun ada, tetapi sangat jarang. Harganya pun masih tinggi. Bisa sampai Rp 20.000 per liter," ujarnya.
Menurut Sunasih, dalam menghadapi kelangkaan migor tersebut, beberapa warga di desanya terpaksa menggunakan lengis tandusan. Untuk mendapat lengis tandusan itu, sebagian besar warga membuat sendiri agar biaya yang dikeluarkan lebih murah. "Buat untuk kebutuhan sehari-hari. Tapi saat ada yadnya atau rahinan, kebutuhan meningkat, ya harus cari minyak di pasar," ucapnya.
Hal senada juga diungkapkan I Kadek Tastra, 32, warga Banjar Delod Setra, Desa Mendewi, Kecamatan Pekutatan. Untuk memenuhi kebutuhan migor sehari-hari di tengah kelangkaan migor, dirinya juga terpaksa membuat lengis tandusan. “Memang kalau konsumsi keluarga sehari-hari, lengis tandusan bisa jadi alternatif solusi. Karena di warung-warung minyak goreng kemasan sudah sulit. Tapi produksi tergantung ketersediaan buah kelapa, dan proses pembuatannya juga butuh waktu sampai sehari," ujarnya.
Sementara warga lainnya, Ni Made Wirasini, 47, asal Banjar Dauh Pangkung, Desa/Kecamatan Pekutatan, Jembana, mengaku kalau saat ini juga lebih memilih lengis tandusan untuk memenuhi kebutuhan sehari-sehari. Selain untuk memenuhi kebutuhan migor di dapurnya, Wirasini ini juga memasarkan lengis tandusan ke pasar. "Kalau buat sendiri memang lebih hemat. Tetapi ya lebih ribet. Enam butir kelapa, paling dapat satu botol ukuran 600 mililiter. Itu biasa saya jual Rp 17.000. Pas minyak goreng langka seperti sekarang, ada lah tambahan," ujarnya.
Di tengah kelangkaan migor kemasan seperti saat ini, Wirasani juga merasakan kalau minyak tandusan yang biasa dititipkannya di berapa pedagang di pasar tradisional, semakin laku. Namun dampaknya tidak begitu signifikan. Mengingat untuk harga lengis tandusan itu masih lebih tinggi dibanding minyak goreng kemasan. "Ya ada tambahan. Tetapi tidak begitu banyak. Karena orang-orang di desa biasa baut sendiri," ucapnya. *ode
Seperti diungkapkan Ni Komang Sunasih, 48, warga Banjar Dauh Pangkung, Desa/Kecamatan Pekutatan, Jembrana. Ibu rumah tangga (IRT) ini, melihat jika migor masih lebih mudah di temui di daerah kota. Sedangkan di warung-warung pedesaan sulit ditemui. "Kalaupun ada, tetapi sangat jarang. Harganya pun masih tinggi. Bisa sampai Rp 20.000 per liter," ujarnya.
Menurut Sunasih, dalam menghadapi kelangkaan migor tersebut, beberapa warga di desanya terpaksa menggunakan lengis tandusan. Untuk mendapat lengis tandusan itu, sebagian besar warga membuat sendiri agar biaya yang dikeluarkan lebih murah. "Buat untuk kebutuhan sehari-hari. Tapi saat ada yadnya atau rahinan, kebutuhan meningkat, ya harus cari minyak di pasar," ucapnya.
Hal senada juga diungkapkan I Kadek Tastra, 32, warga Banjar Delod Setra, Desa Mendewi, Kecamatan Pekutatan. Untuk memenuhi kebutuhan migor sehari-hari di tengah kelangkaan migor, dirinya juga terpaksa membuat lengis tandusan. “Memang kalau konsumsi keluarga sehari-hari, lengis tandusan bisa jadi alternatif solusi. Karena di warung-warung minyak goreng kemasan sudah sulit. Tapi produksi tergantung ketersediaan buah kelapa, dan proses pembuatannya juga butuh waktu sampai sehari," ujarnya.
Sementara warga lainnya, Ni Made Wirasini, 47, asal Banjar Dauh Pangkung, Desa/Kecamatan Pekutatan, Jembana, mengaku kalau saat ini juga lebih memilih lengis tandusan untuk memenuhi kebutuhan sehari-sehari. Selain untuk memenuhi kebutuhan migor di dapurnya, Wirasini ini juga memasarkan lengis tandusan ke pasar. "Kalau buat sendiri memang lebih hemat. Tetapi ya lebih ribet. Enam butir kelapa, paling dapat satu botol ukuran 600 mililiter. Itu biasa saya jual Rp 17.000. Pas minyak goreng langka seperti sekarang, ada lah tambahan," ujarnya.
Di tengah kelangkaan migor kemasan seperti saat ini, Wirasani juga merasakan kalau minyak tandusan yang biasa dititipkannya di berapa pedagang di pasar tradisional, semakin laku. Namun dampaknya tidak begitu signifikan. Mengingat untuk harga lengis tandusan itu masih lebih tinggi dibanding minyak goreng kemasan. "Ya ada tambahan. Tetapi tidak begitu banyak. Karena orang-orang di desa biasa baut sendiri," ucapnya. *ode
Komentar