Sepekan Ngungsi di Stasiun Kereta Bawah Tanah Saat Kota Kharkiv Dibombardir
Kisah Ni Ketut Oktariani, PMI asal Gianyar yang Baru Berhasil Dievakuasi dari Ukraina
Okta mengungsi ke stasiun kereta bawah tanah yang jaraknya sekitar 200 meter dari apartemen, kedalamannya setara gedung 3 lantai sehingga suara ledakan tak terdengar.
GIANYAR, NusaBali
Satu lagi Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal Gianyar berhasil dipulangkan dari situasi mencekam perang antara Rusia vs Ukraina. Dia adalah Ni Ketut Oktariani, 32, terapis spa, warga Banjar Bedil, Desa/Kecamatan Sukawati, Gianyar. Okta, demikian dia disapa tiba dalam keadaan selamat tanpa luka sedikitpun di kediamannya, Selasa (22/3) pukul 17.00 Wita. Okta diantar oleh Unit Pelaksana Teknis Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Wilayah Bali didampingi Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Gianyar. Turut menyaksikan kepulangannya unsur Camat Sukawati, Perbekel Sukawati Dewa Gede Dwi Putra, Bhabinkamtibmas, Babinsa dan Kepala Dusun Banjar Bedil.
Okta mengisahkan situasi saat perang sangat mencekam. Tempatnya bekerja, Kharkiv sebagai kota terbesar kedua di Ukraina dibombardir Rusia. "Isu perang sudah saya dengar sejak November 2021 lalu. Saya kira gak parah. Ternyata akhir Februari suara ledakan di mana-mana. Rasanya tiap 15 menit ada ledakan," ungkapnya.
Tepatnya mulai 26 Februari 2022, Okta mulai berlindung di dalam apartemen. "Selama dua hari masih aman. Hari ketiga, keempat mulai mencekam sehingga saya mencari tempat pengungsian yang aman," jelasnya. Ibu dua anak ini pilih mengungsi ke stasiun kereta bawah tanah yang jaraknya sekitar 200 meter dari apartemen. "Kedalamannya mungkin setara gedung 3 lantai. Sehingga suara ledakan tidak terdengar dan terasa. Kecuali bom jatuhnya pas di atas selter," jelasnya.
Selama sepekan dia mengadu nasib di dalam stasiun bawah tanah. Berharap ada kereta yang mengangkutnya ke Polandia. "Stasiun kereta masih buka, tapi tanpa jadwal tanpa jam tanpa kontrol. Makan tak jelas, seadanya. Kalau ada bantuan pasti rebutan. Kan ribuan orang di stasiun. Setiap ada kereta megarang (rebutan) naik," kenangnya.
Syukurnya akses internet masih ada, listrik menyala dan air mengalir. Sehingga Okta bisa berkomunikasi dengan pihak KBRI. Tantangan lain saat itu, setiap kali melihat tentara masyarakat sipil harus tiarap. "Setiap ada militer di dalam metro, kita dikasih info agar masuk semua ke gerbong. Kita ndak tahu itu militer Rusia apa Ukraina. Yang jelas demi aman, kita harus tiarap sekitar 15 menit, takut dibedil. Hari-hari berikutnya, saya sampai terbiasa dengan situasi itu," ungkapnya.
Dua hari sebelum dievakuasi, Okta memberanikan diri kembali ke apartemen dengan maksud mengambil surat maupun barang berharga. Namun situasi saat itu gelap gulita tanpa penerangan listrik. "Saya ambil sekenanya aja, paspor memang dibawa sejak awal. Entah apa yang berhasil saya kemas dalam koper, waktu ngambil itu gelap. Apartemen sudah hancur dibombardir," ungkapnya. Seingatnya, master card-nya tertinggal di apartemen.
"Hampir semua yang evakuasi ndak bisa narik tunai. Duit semua di sana, bawa cash cuma beberapa. Kalaupun ditukar di Polandia harganya jatuh," jelasnya. Setelah cukup mengemas barang, Okta kembali ke tempat pengungsian dan baru berhasil dievakuasi pada 6 Maret 2022. Perjalanan kereta selama 2 hari, dia baru tiba di Polandia 8 Maret 2022. "Konfirmasi KBRI. Fix semua, mereka siap nunggu kita di perbatasan. Komunikasi semua dibantu KBRI. Sampai Polandia semua dibantu. Penerbangan dari Polandia ke Dubai, ke Jakarta sempat karantina karena belum vaksin dua kali. Kemudian baru ke Bali," jelasnya.
Okta bersyukur bisa tiba dengan selamat. Disambut mertuanya Ni Ketut Putri dan kedua buah hatinya. Sementara sang suami, I Kadek Surya Diana Putra, 32, saat Okta sampai di rumah masih bekerja. "Sudah sempat mengabari suami, hanya jam pulangnya memang belum pasti," ujarnya. Saat ini, Okta mengaku masih takut dengan suasana perang. Namun karena tuntutan ekonomi, Okta bertekad kembali bekerja. "Kerja masih pengen. Tapi saat ini istirahat dulu. Evakuasi ke Bali kan cukup panjang dan melelahkan juga," ujarnya.
Sementara itu, Sub Koordinator Perlindungan Unit Pelaksana Teknis Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Wilayah Bali, Anak Agung Indra Hardiawan mengatakan evakuasi Ni Ketut Oktariani ini merupakan kloter keempat. "Hari ini hanya satu orang. Sebelumnya kloter pertama berhasil dipulangkan 26 orang WNI asal Bali, kloter kedua 5 orang, kloter ketiga 4 orang," jelasnya. Adapun kendala evakuasi sejauh informasi yang diterimanya yakni ketiadaan sopir. Sebab setiap warga negara Ukraina laki-laki diharapkan ikut berperang.
"Kendala evakuasi, berdasarkan komunikasi kita dengan pusat bahwa di Ukraina sulit cari sopir. Karena sejauh info yang kita terima warga negara laki-laki diharapkan ikut serta dalam perang," jelasnya. Selain itu, kesulitan juga dialami ketika mencari jalur evakuasi agar terhindar dari serangan bom. Agung Indra mengatakan saat ini masih ada beberapa WNI yang berada di Ukraina.
"Jumlah WNI yang konfirmasi koordinasi ke pusat sekitar 15 orang yang memang menetapkan diri tetap diam di Ukraina, belum terkonfirmasi apakah domisilinya Bali atau luar Bali. Kondisi mereka aman ada di KBRI," jelasnya. Sementara itu, Kepala Bidang Penempatan dan Perluasan Informasi Pasar Kerja dan Penempatan Tenaga Kerja Disnaker Gianyar, Anak Agung Eka Dharma Kusumawati mengatakan satu PMI ini dipulangkan tidak bersamaan dengan 3 PMI sebelumnya karena beda wilayah.
"Prediksi kami mereka di wilayah berbeda. Mungkin yang terakhir ini paling rawan karena di kota besar dan negara hadir untuk memulangkan," jelasnya. Proses kepulangan dilakukan oleh Kementerian Luar Negeri bersama BP2MI Pusat menginformasikan ke BP2MI wilayah Bali dan Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Gianyar. Sebelumnya sudah 3 PMI asal Gianyar dipulangkan dari Ukraina. Di antaranya Kadek Evi Oktaviani asal Banjar Lebih Duur Kaja, Kecamatan Gianyar; Ni Wayan Sukendrayani asal Banjar Badung, Desa Melinggih, Payangan dan Ni Kadek Meta Vitriani asal Banjar Bonnyuh, Desa Petak, Kecamatan Gianyar. *nvi
Okta mengisahkan situasi saat perang sangat mencekam. Tempatnya bekerja, Kharkiv sebagai kota terbesar kedua di Ukraina dibombardir Rusia. "Isu perang sudah saya dengar sejak November 2021 lalu. Saya kira gak parah. Ternyata akhir Februari suara ledakan di mana-mana. Rasanya tiap 15 menit ada ledakan," ungkapnya.
Tepatnya mulai 26 Februari 2022, Okta mulai berlindung di dalam apartemen. "Selama dua hari masih aman. Hari ketiga, keempat mulai mencekam sehingga saya mencari tempat pengungsian yang aman," jelasnya. Ibu dua anak ini pilih mengungsi ke stasiun kereta bawah tanah yang jaraknya sekitar 200 meter dari apartemen. "Kedalamannya mungkin setara gedung 3 lantai. Sehingga suara ledakan tidak terdengar dan terasa. Kecuali bom jatuhnya pas di atas selter," jelasnya.
Selama sepekan dia mengadu nasib di dalam stasiun bawah tanah. Berharap ada kereta yang mengangkutnya ke Polandia. "Stasiun kereta masih buka, tapi tanpa jadwal tanpa jam tanpa kontrol. Makan tak jelas, seadanya. Kalau ada bantuan pasti rebutan. Kan ribuan orang di stasiun. Setiap ada kereta megarang (rebutan) naik," kenangnya.
Syukurnya akses internet masih ada, listrik menyala dan air mengalir. Sehingga Okta bisa berkomunikasi dengan pihak KBRI. Tantangan lain saat itu, setiap kali melihat tentara masyarakat sipil harus tiarap. "Setiap ada militer di dalam metro, kita dikasih info agar masuk semua ke gerbong. Kita ndak tahu itu militer Rusia apa Ukraina. Yang jelas demi aman, kita harus tiarap sekitar 15 menit, takut dibedil. Hari-hari berikutnya, saya sampai terbiasa dengan situasi itu," ungkapnya.
Dua hari sebelum dievakuasi, Okta memberanikan diri kembali ke apartemen dengan maksud mengambil surat maupun barang berharga. Namun situasi saat itu gelap gulita tanpa penerangan listrik. "Saya ambil sekenanya aja, paspor memang dibawa sejak awal. Entah apa yang berhasil saya kemas dalam koper, waktu ngambil itu gelap. Apartemen sudah hancur dibombardir," ungkapnya. Seingatnya, master card-nya tertinggal di apartemen.
"Hampir semua yang evakuasi ndak bisa narik tunai. Duit semua di sana, bawa cash cuma beberapa. Kalaupun ditukar di Polandia harganya jatuh," jelasnya. Setelah cukup mengemas barang, Okta kembali ke tempat pengungsian dan baru berhasil dievakuasi pada 6 Maret 2022. Perjalanan kereta selama 2 hari, dia baru tiba di Polandia 8 Maret 2022. "Konfirmasi KBRI. Fix semua, mereka siap nunggu kita di perbatasan. Komunikasi semua dibantu KBRI. Sampai Polandia semua dibantu. Penerbangan dari Polandia ke Dubai, ke Jakarta sempat karantina karena belum vaksin dua kali. Kemudian baru ke Bali," jelasnya.
Okta bersyukur bisa tiba dengan selamat. Disambut mertuanya Ni Ketut Putri dan kedua buah hatinya. Sementara sang suami, I Kadek Surya Diana Putra, 32, saat Okta sampai di rumah masih bekerja. "Sudah sempat mengabari suami, hanya jam pulangnya memang belum pasti," ujarnya. Saat ini, Okta mengaku masih takut dengan suasana perang. Namun karena tuntutan ekonomi, Okta bertekad kembali bekerja. "Kerja masih pengen. Tapi saat ini istirahat dulu. Evakuasi ke Bali kan cukup panjang dan melelahkan juga," ujarnya.
Sementara itu, Sub Koordinator Perlindungan Unit Pelaksana Teknis Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Wilayah Bali, Anak Agung Indra Hardiawan mengatakan evakuasi Ni Ketut Oktariani ini merupakan kloter keempat. "Hari ini hanya satu orang. Sebelumnya kloter pertama berhasil dipulangkan 26 orang WNI asal Bali, kloter kedua 5 orang, kloter ketiga 4 orang," jelasnya. Adapun kendala evakuasi sejauh informasi yang diterimanya yakni ketiadaan sopir. Sebab setiap warga negara Ukraina laki-laki diharapkan ikut berperang.
"Kendala evakuasi, berdasarkan komunikasi kita dengan pusat bahwa di Ukraina sulit cari sopir. Karena sejauh info yang kita terima warga negara laki-laki diharapkan ikut serta dalam perang," jelasnya. Selain itu, kesulitan juga dialami ketika mencari jalur evakuasi agar terhindar dari serangan bom. Agung Indra mengatakan saat ini masih ada beberapa WNI yang berada di Ukraina.
"Jumlah WNI yang konfirmasi koordinasi ke pusat sekitar 15 orang yang memang menetapkan diri tetap diam di Ukraina, belum terkonfirmasi apakah domisilinya Bali atau luar Bali. Kondisi mereka aman ada di KBRI," jelasnya. Sementara itu, Kepala Bidang Penempatan dan Perluasan Informasi Pasar Kerja dan Penempatan Tenaga Kerja Disnaker Gianyar, Anak Agung Eka Dharma Kusumawati mengatakan satu PMI ini dipulangkan tidak bersamaan dengan 3 PMI sebelumnya karena beda wilayah.
"Prediksi kami mereka di wilayah berbeda. Mungkin yang terakhir ini paling rawan karena di kota besar dan negara hadir untuk memulangkan," jelasnya. Proses kepulangan dilakukan oleh Kementerian Luar Negeri bersama BP2MI Pusat menginformasikan ke BP2MI wilayah Bali dan Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Gianyar. Sebelumnya sudah 3 PMI asal Gianyar dipulangkan dari Ukraina. Di antaranya Kadek Evi Oktaviani asal Banjar Lebih Duur Kaja, Kecamatan Gianyar; Ni Wayan Sukendrayani asal Banjar Badung, Desa Melinggih, Payangan dan Ni Kadek Meta Vitriani asal Banjar Bonnyuh, Desa Petak, Kecamatan Gianyar. *nvi
1
Komentar