Krama Desa Adat Bugbug Datangi DPRD Bali
Pertanyakan Masalah Perarem dan Dana Hibah
Menurut Awig-awig Desa Adat Bugbug, perarem sepatutnya dibuat dan ditetapkan Kelihan Desa Adat Bugbug bersama 16 nayaka (perwakilan banjar adat)
DENPASAR, NusaBali
Sekitar 150 orang Krama Desa Adat Bugbug, Kecamatan/Kabupaten Karangasem mendatangi Gedung DPRD Bali di Jalan Dr Kusuma Atmaja, Niti Mandala Denpasar, Rabu (23/3) siang. Mereka menyampaikan aspirasi terkait dengan mekanisme penggunaan dana hibah yang difasilitasi anggota dewan dan pembentukan Perarem (keputusan desa adat sebagai pelaksanaan awig-awig, Red) Desa Adat Bugbug yang dinilai cacat prosedur.
Kedatangan 150 orang krama dari Desa Adat Bugbug dikoordinir Komang Ari Sumartawan dan Putu Arta. Mereka diterima Komisi I DPRD Bali membidangi politik, hukum, keamanan dan ketertiban di Wantilan Gedung DPRD Bali. Hadir Ketua Komisi I Nyoman Budi Utama (Fraksi PDIP) didampingi anggota Komisi I Nyoman Oka Antara (Fraksi PDIP), Anak Agung Gede Agung Suyoga (Fraksi PDIP), I Ketut Juliarta (Fraksi Gerindra).
Juru Bicara Perwakilan Krama Bugbug, Komang Ari Sumartawan menyampaikan adanya perarem panitia pemilihan Kelian Desa Adat Bugbug Nomor 12/Kep/PRM.DAB/VIII/2020 tentang Mekanisme Pencalonan Pemilihan Kelihan Desa Adat Bugbug periode 2020-2025 yang tidak dibentuk berdasarkan mekanisme, karena tidak melibatkan perwakilan nayaka (perwakilan banjar adat). “Perarem tersebut belum kami ketahui keberadaannya, karena belum pernah disosialisasikan. Menurut Awig-awig Desa Adat Bugbug, perarem sepatutnya dibuat dan ditetapkan Kelian Desa Adat Bugbug bersama 16 nayaka (perwakilan banjar adat),” ujar pria yang juga seorang advokat ini.
Perarem yang dibentuk dan ditetapkan pada 31 Agustus 2020 itu, juga tidak pernah didaftarkan di Dinas Pemajuan Masyarakat Adat Provinsi Bali. “Kami juga telah mendatangi Majelis Desa Adat Provinsi Bali dan Dinas Pemajuan Masyarakat Adat Provinsi Bali, perarem ini tidak tercatat, sehingga tidak mendapatkan nomor registrasi. Setelah dibentuk harusnya disampaikan ke Majelis Desa Adat dan Dinas Pemajuan Masyarakat Adat, dapat nomor registrasi dan disosialisasikan ke Krama Desa Adat. Krama Desa Adat tidak pernah tahu keberadaannya,” ujar Ari Sumartawan.
Ari Sumartawan mengatakan dampak dari perarem yang cacat proses itu adalah lahirnya Prajuru Desa Adat Bugbug. Seperti diketahui Prajuru Desa Adat Bugbug yang lahir dari perarem yang dituding cacat proses adalah Bendesa Adat Bugbug I Nyoman Jelantik, Kelihan Desa Adat I Nyoman Purwa Ngurah Arsana, Penyarikan Gede I Wayan Merta dan Petengen Gede I Wayan Segara.
Prajuru Desa Adat Bugbug ini mendapatkan SK dari MDA Bali. Kemudian yang menarik perhatian adalah Kelihan Desa Adat Bugbug Purwa Arsana saat ini menjabat sebagai Anggota Komisi III DPRD Bali dari Fraksi PDIP.
Ari Sumartawan menyebutkan saat ini pihak perwakilan Krama Desa Adat Bugbug telah meminta wicara (penyelesaian adat) ke MDA Bali. “Saat ini kita sudah minta wicara ke Majelis Desa Adat, supaya SK tentang pengakuan Prajuru Desa Adat Bugbug dicabut,” ujar Ari Sumartawan.
Selain masalah perarem, Ari Sumartawan juga menyampaikan aspirasi kepada Komisi I terkait masalah dana hibah yang difasilitasi anggota dewan. Masalah dana hibah yang diperoleh Desa Adat Bugbug dari Pemprov Bali supaya lebih kedepankan transparansi dalam pengggunaannya. Atas aspirasi Krama Desa Adat Bugbug ini, Ketua Komisi I DPRD Bali Budi Utama yang dikonfirmasi usai menerima perwakilan masyarakat menegaskan akan menindaklanjuti masalah ini ke MDA Bali.
“Terutama masalah perarem, kita akan koordinasikan dengan MDA Bali. Proses pembuatan peraremnya kita mau tahu. Karena dituding cacat prosedur. Yang namanya awig-awig dan perarem itu kalau sudah ditetapkan ya harus dilaksanakan dan ditaati krama desa adat,” ujar politisi PDIP asal Desa Sulahan, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli ini.
Sementara terkait dengan masalah dana hibah/bansos, Budi Utama mengakui DPRD Bali memfasilitasi dana hibah untuk masyarakat. Namun prosesnya sangat ketat, baik dari sisi pengajuan proposal maupun pemeriksaan penggunaan anggarannya. “Dana hibah itu kan ketat dan transparan pengawasannya,” ujar Budi Utama.
Sementara Kelihan Desa Adat Bugbug I Nyoman Purwa Ngurah Arsana saat dikonfirmasi NusaBali mengatakan mereka yang hadir ke DPRD Bali mempertanyakan masalah dana hibah dan perarem pemilihan prajuru desa adat, sangat mengada-ngada. “Kok baru sekarang dipersoalkan peraremnya. Apakah karena mau ada pemilihan perbekel? Kok baru sekarang muncul keberatan, sudah ditetapkan tahun 2020 lalu,” ujar Purwa Arsana.
Soal penggunaan dana hibah yang ditanyakan perwakilan Krama Desa Adat Bugbug, menurut Purwa Arsana semuanya berjalan transparan. “Saya berani sumpah tujuh turunan kalau ada menerima keuntungan pribadi dari proses pencairan dana hibah dan kegiatan pembangunan di Desa Adat Bugbug. Boleh tulis itu,” ujar mantan Wakil Ketua DPRD Bali periode 2004-2009 ini. *nat
Kedatangan 150 orang krama dari Desa Adat Bugbug dikoordinir Komang Ari Sumartawan dan Putu Arta. Mereka diterima Komisi I DPRD Bali membidangi politik, hukum, keamanan dan ketertiban di Wantilan Gedung DPRD Bali. Hadir Ketua Komisi I Nyoman Budi Utama (Fraksi PDIP) didampingi anggota Komisi I Nyoman Oka Antara (Fraksi PDIP), Anak Agung Gede Agung Suyoga (Fraksi PDIP), I Ketut Juliarta (Fraksi Gerindra).
Juru Bicara Perwakilan Krama Bugbug, Komang Ari Sumartawan menyampaikan adanya perarem panitia pemilihan Kelian Desa Adat Bugbug Nomor 12/Kep/PRM.DAB/VIII/2020 tentang Mekanisme Pencalonan Pemilihan Kelihan Desa Adat Bugbug periode 2020-2025 yang tidak dibentuk berdasarkan mekanisme, karena tidak melibatkan perwakilan nayaka (perwakilan banjar adat). “Perarem tersebut belum kami ketahui keberadaannya, karena belum pernah disosialisasikan. Menurut Awig-awig Desa Adat Bugbug, perarem sepatutnya dibuat dan ditetapkan Kelian Desa Adat Bugbug bersama 16 nayaka (perwakilan banjar adat),” ujar pria yang juga seorang advokat ini.
Perarem yang dibentuk dan ditetapkan pada 31 Agustus 2020 itu, juga tidak pernah didaftarkan di Dinas Pemajuan Masyarakat Adat Provinsi Bali. “Kami juga telah mendatangi Majelis Desa Adat Provinsi Bali dan Dinas Pemajuan Masyarakat Adat Provinsi Bali, perarem ini tidak tercatat, sehingga tidak mendapatkan nomor registrasi. Setelah dibentuk harusnya disampaikan ke Majelis Desa Adat dan Dinas Pemajuan Masyarakat Adat, dapat nomor registrasi dan disosialisasikan ke Krama Desa Adat. Krama Desa Adat tidak pernah tahu keberadaannya,” ujar Ari Sumartawan.
Ari Sumartawan mengatakan dampak dari perarem yang cacat proses itu adalah lahirnya Prajuru Desa Adat Bugbug. Seperti diketahui Prajuru Desa Adat Bugbug yang lahir dari perarem yang dituding cacat proses adalah Bendesa Adat Bugbug I Nyoman Jelantik, Kelihan Desa Adat I Nyoman Purwa Ngurah Arsana, Penyarikan Gede I Wayan Merta dan Petengen Gede I Wayan Segara.
Prajuru Desa Adat Bugbug ini mendapatkan SK dari MDA Bali. Kemudian yang menarik perhatian adalah Kelihan Desa Adat Bugbug Purwa Arsana saat ini menjabat sebagai Anggota Komisi III DPRD Bali dari Fraksi PDIP.
Ari Sumartawan menyebutkan saat ini pihak perwakilan Krama Desa Adat Bugbug telah meminta wicara (penyelesaian adat) ke MDA Bali. “Saat ini kita sudah minta wicara ke Majelis Desa Adat, supaya SK tentang pengakuan Prajuru Desa Adat Bugbug dicabut,” ujar Ari Sumartawan.
Selain masalah perarem, Ari Sumartawan juga menyampaikan aspirasi kepada Komisi I terkait masalah dana hibah yang difasilitasi anggota dewan. Masalah dana hibah yang diperoleh Desa Adat Bugbug dari Pemprov Bali supaya lebih kedepankan transparansi dalam pengggunaannya. Atas aspirasi Krama Desa Adat Bugbug ini, Ketua Komisi I DPRD Bali Budi Utama yang dikonfirmasi usai menerima perwakilan masyarakat menegaskan akan menindaklanjuti masalah ini ke MDA Bali.
“Terutama masalah perarem, kita akan koordinasikan dengan MDA Bali. Proses pembuatan peraremnya kita mau tahu. Karena dituding cacat prosedur. Yang namanya awig-awig dan perarem itu kalau sudah ditetapkan ya harus dilaksanakan dan ditaati krama desa adat,” ujar politisi PDIP asal Desa Sulahan, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli ini.
Sementara terkait dengan masalah dana hibah/bansos, Budi Utama mengakui DPRD Bali memfasilitasi dana hibah untuk masyarakat. Namun prosesnya sangat ketat, baik dari sisi pengajuan proposal maupun pemeriksaan penggunaan anggarannya. “Dana hibah itu kan ketat dan transparan pengawasannya,” ujar Budi Utama.
Sementara Kelihan Desa Adat Bugbug I Nyoman Purwa Ngurah Arsana saat dikonfirmasi NusaBali mengatakan mereka yang hadir ke DPRD Bali mempertanyakan masalah dana hibah dan perarem pemilihan prajuru desa adat, sangat mengada-ngada. “Kok baru sekarang dipersoalkan peraremnya. Apakah karena mau ada pemilihan perbekel? Kok baru sekarang muncul keberatan, sudah ditetapkan tahun 2020 lalu,” ujar Purwa Arsana.
Soal penggunaan dana hibah yang ditanyakan perwakilan Krama Desa Adat Bugbug, menurut Purwa Arsana semuanya berjalan transparan. “Saya berani sumpah tujuh turunan kalau ada menerima keuntungan pribadi dari proses pencairan dana hibah dan kegiatan pembangunan di Desa Adat Bugbug. Boleh tulis itu,” ujar mantan Wakil Ketua DPRD Bali periode 2004-2009 ini. *nat
1
Komentar