Membaca Dahulu, Menulis Kemudian
SEBUAH kitab yang bagus tak cuma memberi pengaruh, tapi juga mengubah dan mengarahkan zaman. Tak heran, kalau kekuasaan otoriter bisa sangat takut pada buku, justru ketika rakyat melek huruf.
Buku-buku tentang komunisme dilarang dibaca di zaman pemerintahan Soeharto. Pembredelan menjadi lumrah, namun sangat dibenci rakyat. Dengan larangan membaca, diktator melenyapkan pikiran-pikiran, mengucilkan lawan-lawan politik, dan bersikukuh mempertahankan dogma-dogma. Perbedaan dianggap sebagai pemberontakan.
Tetapi kebebasan berpikir, mengungkap hal-hal baru – yang sudah lama terpendam – tak pernah surut. Sesungguhnya, perlawanan itu hadir sepanjang waktu. Di zaman orde baru, berkali-kali Kejaksaan Agung melarang peredaran buku-buku, dengan tuduhan hendak membangkitkan komunisme. Pengarang tak pernah diberi kesempatan menjelaskan dan membela diri.
Adakah manfaat untuk melarang seseorang membaca sesuatu? Orang-orang Bali zaman dulu melarang siapapun membaca di hari suci Saraswati, saat ilmu pengetahuan diturunkan. Di hari itu lontar, buku-buku, dikumpulkan untuk diberi sesaji. Koran tidak terbit, para pekerja diliburkan. Orang dilarang melirik huruf, mereka diminta menjauhkan diri dari buku-buku, surat kabar, majalah. Seorang pemimpin redaksi sebuah harian yang terbit di Bali, dan berniat terbit seperti biasa di hari Saraswati, ketika itu, dianggap kafir, ateis, tidak percaya akan keberadaan Hyang Widhi.
Tapi sekarang tidak. Melarang membaca di hari Saraswati dianggap kolot, sama artinya dengan hasrat untuk melanggengkan kebodohan. Orang-orang Bali kemudian sadar, larangan membaca itu dianggap sebagai niat orang-orang tertentu untuk menghalangi orang lain menjadi tahu dan pintar. Larangan membaca itu sebagai upaya agar ilmu pengetahuan dikuasai oleh segelintir orang. Agar mereka gampang menipu dan membodohi orang lain. Tidak keliru jika banyak yang berpendapat, pengetahuan itu kekuasaan.
Dengan membaca seseorang jadi tahu kecurangan-kecurangan, juga pendapat-pendapat yang membodohkan. Dengan membaca kecerdasan ditumbuhkan, sikap kritis berkembang. Jika sebuah kitab memuat sesuatu yang mencurigakan, seyogyanya dilawan dengan menerbitkan buku yang berisi kebenaran. Buku, sepantasnya dilawan dengan buku, tidak dengan melarang orang untuk membacanya, tidak pula dengan menariknya dari peredaran.
Banyak pengarang yakin, kalau hendak menulis seharusnya dimulai dengan membaca. Mereka yang malas membaca, langsung menulis, tak akan pernah menghasilkan karya mumpuni. Para pengarang itu sepakat, siapa saja hendaklah ‘membaca dahulu, menulis kemudian’.
Namun hingga kini di Bali masih tetap berlaku anjuran dan larangan untuk memetik pengetahuan dengan membaca lontar-lontar tertentu (aja wera). Dilarang, karena si pembaca akan mabuk. Misalnya, seseorang dilarang membaca karya-karya sastra kuno, dengan huruf dan bahasa menjelimet, jika seseorang belum siap. Ada lontar-lontar tertentu yang hanya bisa dibaca setelah menyucikan diri. Mereka yang belum melakukan upacara dwi jati (penyucian diri) dilarang membaca lontar-lontar tertentu.
Lontar-lontar ‘sakti’ itu tidak pernah memuat umur beberapa seseorang diperkenankan membacanya. Tidak juga jelas, pengetahuan apa saja harus dimiliki seseorang untuk sampai ke tingkat diperkenankan membaca lontar itu. Yang muncul adalah, larangan-larangan membaca, dan wanti-wanti seseorang bisa gila jika memaksakan kehendak membacanya.
Di Bali, di zaman yang serba terbuka kini, masih tetap berlaku larangan membaca. Lontar-lontar yang dilarang dibaca itu kemudian diterjemahkan oleh ahli bangsa asing dengan bantuan pakar-pakar lokal. Mereka menjadikan terjemahan itu disertasi, dicetak sebagai buku. Dan buku-buku itu dianjurkan untuk dibaca. Hingga kini belum pernah terpetik berita, seseorang menjadi tidak waras karena membaca buku itu. Banyak bahkan yang memburunya, menjadikannya acuan dalam berpendapat dan riset. Tentu menjadi ganjil, sumber buku itu dari Bali, diolah orang asing, dan kita menjadikannya pegangan.
Kini bukan zaman lagi melarang siapa pun yang cukup umur untuk membaca apa pun. Di hari Saraswati, sekarang, orang-orang justru dianjurkan membaca buku sebanyak-banyaknya, karena hari ini ilmu pengetahuan diturunkan, bertebaran di mana-mana, dan mudah menyerapnya. Kini tidak hanya berwujud fisik buku, juga maya, berbentuk e-book, gampang dibaca di gawai. *
Aryantha Soethama
Komentar