KPPU Dapat Bukti Dugaan Kartel Migor
Adanya dugaan kesamaan perilaku antara produsen minyak goreng
JAKARTA, NusaBali
Tim Investigasi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menemukan satu alat bukti dalam proses penegakan hukum terkait penjualan atau distribusi minyak goreng (migor) nasional.
Temuan tersebut terkait dengan dugaan pelanggaran Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, khususnya pasal 5 (penetapan harga), pasal 11 (kartel), dan pasal 19 huruf "c" (penguasaan pasar melalui pembatasan peredaran barang/jasa).
"Melalui temuan tersebut, minggu ini status penegakan hukum telah dapat ditingkatkan pada tahapan Penyelidikan," kata Direktur Investigasi KPPU Gopprera Panggabean dalam keterangan tertulis di Jakarta, seperti dilansir Antara, Senin.
KPPU telah mulai melakukan proses penegakan hukum sejak 26 Januari 2022 guna menemukan alat bukti adanya dugaan pelanggaran UU No. 5 Tahun 1999 dalam permasalahan lonjakan harga minyak goreng sejak akhir tahun 2021 sesuai rekomendasi kajian yang dilaksanakan KPPU.
Dalam proses awal penegakan hukum, Tim Investigasi telah mengundang dan meminta data/keterangan dari sekitar 44 pihak terkait, khususnya produsen, distributor, asosiasi, pemerintah, perusahaan pengemasan dan pelaku ritel.
Melalui proses tersebut, Tim Investigasi pun telah menemukan satu alat bukti yang memperkuat adanya dugaan pelanggaran undang-undang, khususnya atas pasal penetapan harga, kartel, dan penguasaan pasar.
Gopprera menuturkan, proses Penyelidikan dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 60 hari kerja dan dapat diperpanjang.
"Penyelidikan akan difokuskan pada pemenuhan unsur dugaan pasal yang dilanggar, penetapan identitas Terlapor, dan pencarian minimal satu alat bukti tambahan," imbuhnya.
Gopprera menambahkan, proses penyelidikan dapat menyimpulkan dugaan unsur pasal yang dilanggar dan memperoleh minimal dua alat bukti, maka proses penegakan hukum dapat diteruskan ke tahapan Pemeriksaan Pendahuluan oleh Sidang Majelis Komisi.
"Melalui proses Sidang Majelis, KPPU dapat menjatuhkan sanksi administratif berupa denda hingga maksimal 50 persen dari keuntungan yang diperoleh Terlapor dari pelanggaran, atau maksimal 10 persen dari penjualan Terlapor di pasar bersangkutan," ujar Gopprera.
Dugaan kartel sendiri menurut Gopprera terjadi karena adanya dugaan kesamaan perilaku antara produsen minyak goreng. Gopprera menduga kesamaan itu didasari atas sebuah perjanjian antar pengusaha. Hal itu terlihat dari stok minyak goreng yang tiba-tiba hilang di pasar secara bersamaan pada saat aturan HET minyak goreng ditegakkan.
"Kami melihat telah terjadi dugaan perjanjian pengaturan produksi. Barang sempat hilang di masa adanya HET. Bisa dilihat kemarin, hampir semua merek ini menghilang saat ada aturan HET. Laporan dari ritel juga mereka mengaku permintaan barang tidak bisa dipenuhi," ungkap Gopprera melalui sambungan telepon, seperti dikutip detikcom, Senin (28/3).
Namun, ketika HET dicabut barang-barang kembali muncul di pasar secara bersamaan sehari setelahnya. Menurutnya, keterangan dari para peritel biasanya pengadaan barang di ritel tak bisa dilakukan dalam waktu cepat.
"Kemudian paska HET dicabut kok tahu-tahu ada, laporan dari peritel itu langsung hari itu juga. Padahal, sistem pengadaan barang di ritel tidak bisa secepat itu," ujar Gopprera.
Dia mengatakan kondisi ini seperti menyiratkan adanya perjanjian antara para produsen untuk menahan stok minyak gorengnya untuk membuat kestabilan harga. *
1
Komentar