MUTIARA WEDA: Pertarungan Ayam
Rikalaning reya-reya, prang uduwan, masanga kunang wgila, Yamanawunga makantang tlung parahatan saha upakara dena jangkep. (Lontar Yadnya Prakerti)
Pada waktu hari raya diadakan pertarungan, seperti bulan kasanga perlu mengadakan pertarungan ayam tiga sehet lengkap dengan upakaranya.
APA praktiknya dari teks di atas? Masyarakat menerjemahkan ini dengan menyelenggarakan sabung ayam. Mereka yang strik dengan teks di atas hanya melaksanakan tiga sehet atau tiga pertarungan saja, tidak lebih. Mereka menyebut ini sebagai tabuh rah. Namun, tidak sedikit juga mereka menjadikan ini sebagai arena tajen. Bahkan banyak juga dari mereka yang lebih concern dengan ini. Mereka sangat tertarik dengan penyelenggaraan ini. Teks di atas dijadikan sebagai justifikasi bahwa penyelenggaraan tersebut bersifat religius dan perlu dilestarikan keberadaannya.
Mengapa teks di atas menyebutkan tentang pentingnya pertarungan ayam? Apa korelasi antara hari raya dengan pertarungan ayam? Menjawab ini mungkin ada beberapa jawaban. Pertama, bagi para pelestari mungkin menjawab begini; “Itu adalah warisan leluhur. Setiap tindakan yang dilakukan pasti sudah diperhitungkan dengan baik. Kita saat ini hanya mewarisinya dan tidak perlu bertanya tentang itu, sebab tetua kita dipastikan sudah pintar. Kita saat ini hanya melanjutkannya saja dan memperoleh manfaat darinya. Leluhur telah menyiapkan kita sesuatu yang baik.”
Dari jawaban ini kita dapat melihat bahwa karya leluhur dulu itu sangat baik sehingga tidak perlu disangsikan keberadaannya dan kita sebagai pelestari mesti dengan penuh keyakinan dan semangat harus mempertahankannya seperti itu. Warisan itu telah final dan tidak perlu diapa-apakan. Bahkan tidak sedikit yang melihat bahwa orang yang melanggar ini akan terkena kutukan atau kepongor.
Kedua, ada orang yang lebih fleksibel dengan mengatakan bahwa itu adalah tradisi luhur yang kita warisi. Tetapi konteks zaman telah mengalami perubahan sehingga hal seperti itu tidak mutlak. Jika tidak memungkinkan, pelaksanaannya boleh ditunda atau bentuknya disesuaikan dengan kondisi sekarang. Zaman dulu, saat pelaksanaan itu dilakukan pertama kali tetua kita hanya memiliki kelengkapan itu saja sehingga hanya itu yang bisa dilakukannya. Namun, saat ini kondisinya sudah berubah sehingga apa yang ada sekarang, itu saja yang mesti kita lakukan. Tidak ada kata ‘harus’ dalam melaksanakan tradisi karena semuanya mengalami perubahan seiring berjalannya waktu. Tipe orang di sisi ini secara prinsip menghormati warisan leluhur tetapi bentuknya bisa menyesuaikan dengan kondisi terakhir.
Ketiga, ada yang memiliki perspektif bahwa ini adalah simbol. Orang tua membuat peragaan itu sebenarnya mengandung pesan simbolik yang harus dibaca dan kemudian baru diaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari. Pesan itu harus dibaca pertama, kemudian baru dipahami dan dilaksanakan. Jika pesan itu tidak terbaca dan kita hanya mengulang-ulang bentuknya setiap periode, maka kita tidak akan pernah berkembang. Orang dalam perspektif ini melihat bahwa pertarungan ayam adalah simbol yang harus diungkap maknanya sehingga berdampak bagi perkembangan kesadaran. Leluhur dulu memiliki banyak cara dalam menyampaikan pesan esoteric dari kehidupan sehingga masyarakat bisa belajar dengan berbagai cara, termasuk peragaan budaya yang satu ini. Apa makna dari pertarungan ayam tiga sehet tersebut? Orang dalam perspektif ini akan menjawab; “Agar hubungan kita dengan Realitas Absolut terjaga dengan baik (yang disimbolkan dari pelaksanaan hari raya), maka orang harus bertarung dengan tiga aspek prakrti yang mengganggu, yakni tri guna itu sendiri. Hanya dengan seperti itu, gangguan bisa dihilangkan.
Keempat, ada juga orang yang antipati terhadap pelaksanaan tradisi tersebut dan menyatakan bahwa tradisi ini tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan bertentangan dengan ajaran agama. Pembunuhan tidak dibenarkan dalam setiap upacara. Mereka beranggapan bahwa tradisi ini dibentuk oleh mereka yang masih sangat primitif baik dalam berkepercayaan maupun dalam berpikir. Seiring berkembangnya zaman, orang mulai berpikiran cerdas sehingga praktik-praktik seperti ini harus ditinggalkan dan diganti dengan cara-cara baru yang logis serta langsung berhubungan dengan perkembangan kesadaran. Tipe orang yang ini berupaya mengkritisi praktik yang tidak sesuai dengan logika dan konteks zaman sehingga cenderung melakukan perubahan yang radikal. *
I Gede Suwantana
Komentar