HET Migor Diminta Berlaku Lagi
BPKN nyatakan harta migor tak dipengaruhi harga CPO global
JAKARTA, NusaBali
Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) merekomendasikan kepada pemerintah untuk mengembalikan kebijakan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng dan domestic market obligation (DMO) bagi produsen atau eksportir CPO untuk bisa memenuhi pasokan dalam negeri.
Kepala BPKN Rizal E Halim dalam keterangan pers yang dipantau secara daring di Jakarta, Kamis, mengatakan bahwa BPKN merekomendasikan HET minyak goreng curah Rp11.500 per liter, minyak goreng kemasan sederhana Rp13.500 per liter, dan kemasan premium sebesar Rp14.000 per liter.
"Rekomendasi ini kami sudah hitung berdasarkan harga pokok produksi dan keekonomiannya dengan mempertimbangkan input produksi yang digunakan dalam memproduksi minyak goreng sawit, kemudian inflasi yang mempengaruhi daya beli, plus margin yang selama ini diterapkan oleh industri sehingga kami mendapatkan angka sebesar itu. Termasuk harga pupuk yang naik 5 sampai 6 persen," kata Rizal seperti dilansir Antara, Kamis (7/4).
Saat ini harga minyak goreng karena sudah dilepas kepada mekanisme pasar, disusul harga melambung yang dianggap sebagai harga ekonomis saat ini. Sementara harga minyak goreng curah masih diatur oleh pemerintah dengan HET Rp14.000 dengan disokong subsidi Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
"Rekomendasi ini harus jadi orkestrasi kebijakan pemerintah kalau ingin memberi kebijakan yang berpihak pada masyarakat dan tidak merugikan pelaku usaha," kata dia.
Rizal E Halim mengatakan, harga minyak goreng tidak dipengaruhi harga CPO global sehingga harga eceran tertinggi seharusnya bisa dipenuhi pengusaha.
"Harga CPO global tidak mendikte harga CPO domestik, berbeda dengan BBM, karena CPO kita tidak impor beli dari luar. Kita produksi, net eksportir bahkan kita eksportir terbesar idealnya kita adalah price setter," kata Rizal, seperti dikutip dari cnbcindonesia.com, Kamis (7/4).
"Meski ada keterkaitan tapi kita tidak tergantung pada harga CPO global," tambahnya. Dia menjelaskan bahwa rekomendasi tersebut telah disampaikan kepada Presiden RI Joko Widodo.
Menurut Rizal, melepas harga minyak goreng pada mekanisme pasar pada situasi saat ini akan menjadikan masyarakat, khususnya yang berada di rentang garis kemiskinan, bisa jatuh ke bawah garis kemiskinan.
Rekomendasi selanjutnya, kata dia, adalah mengembalikan kebijakan DMO sebesar 30 persen untuk kebutuhan minyak goreng dalam negeri bagi pelaku usaha sebagai syarat izin ekspor industri kelapa sawit. DMO sebesar 30 persen sudah memadai untuk memenuhi pasokan minyak goreng dalam negeri.
"Untuk menjalankan kedua kebijakan itu kami tentu merekomendasikan pengawasan dan pemberian sanksi tegas dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Khususnya kepolisian, satgas pangan, dan kementerian terkait untuk mengawasi dari proses hulu hingga hilir," kata Rizal.
Rizal mengatakan pengawasan harus dilakukan mulai dari produksi tandan buah segar (TBS) kelapa sawit, produksi CPO, produksi minyak goreng, hingga proses pendistribusian. *
Kepala BPKN Rizal E Halim dalam keterangan pers yang dipantau secara daring di Jakarta, Kamis, mengatakan bahwa BPKN merekomendasikan HET minyak goreng curah Rp11.500 per liter, minyak goreng kemasan sederhana Rp13.500 per liter, dan kemasan premium sebesar Rp14.000 per liter.
"Rekomendasi ini kami sudah hitung berdasarkan harga pokok produksi dan keekonomiannya dengan mempertimbangkan input produksi yang digunakan dalam memproduksi minyak goreng sawit, kemudian inflasi yang mempengaruhi daya beli, plus margin yang selama ini diterapkan oleh industri sehingga kami mendapatkan angka sebesar itu. Termasuk harga pupuk yang naik 5 sampai 6 persen," kata Rizal seperti dilansir Antara, Kamis (7/4).
Saat ini harga minyak goreng karena sudah dilepas kepada mekanisme pasar, disusul harga melambung yang dianggap sebagai harga ekonomis saat ini. Sementara harga minyak goreng curah masih diatur oleh pemerintah dengan HET Rp14.000 dengan disokong subsidi Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
"Rekomendasi ini harus jadi orkestrasi kebijakan pemerintah kalau ingin memberi kebijakan yang berpihak pada masyarakat dan tidak merugikan pelaku usaha," kata dia.
Rizal E Halim mengatakan, harga minyak goreng tidak dipengaruhi harga CPO global sehingga harga eceran tertinggi seharusnya bisa dipenuhi pengusaha.
"Harga CPO global tidak mendikte harga CPO domestik, berbeda dengan BBM, karena CPO kita tidak impor beli dari luar. Kita produksi, net eksportir bahkan kita eksportir terbesar idealnya kita adalah price setter," kata Rizal, seperti dikutip dari cnbcindonesia.com, Kamis (7/4).
"Meski ada keterkaitan tapi kita tidak tergantung pada harga CPO global," tambahnya. Dia menjelaskan bahwa rekomendasi tersebut telah disampaikan kepada Presiden RI Joko Widodo.
Menurut Rizal, melepas harga minyak goreng pada mekanisme pasar pada situasi saat ini akan menjadikan masyarakat, khususnya yang berada di rentang garis kemiskinan, bisa jatuh ke bawah garis kemiskinan.
Rekomendasi selanjutnya, kata dia, adalah mengembalikan kebijakan DMO sebesar 30 persen untuk kebutuhan minyak goreng dalam negeri bagi pelaku usaha sebagai syarat izin ekspor industri kelapa sawit. DMO sebesar 30 persen sudah memadai untuk memenuhi pasokan minyak goreng dalam negeri.
"Untuk menjalankan kedua kebijakan itu kami tentu merekomendasikan pengawasan dan pemberian sanksi tegas dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Khususnya kepolisian, satgas pangan, dan kementerian terkait untuk mengawasi dari proses hulu hingga hilir," kata Rizal.
Rizal mengatakan pengawasan harus dilakukan mulai dari produksi tandan buah segar (TBS) kelapa sawit, produksi CPO, produksi minyak goreng, hingga proses pendistribusian. *
Komentar