nusabali

Mlasti, Karya di Desa Bungaya Semua Krama Tanpa Busana Atas

  • www.nusabali.com-mlasti-karya-di-desa-bungaya-semua-krama-tanpa-busana-atas

AMLAPURA, NusaBali
Mlasti jelang Karya Ngenteg Linggih lan Nubung Daging di Desa Adat Bungaya, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem digelar di Segara Kidul, Banjar Bugbug Kelodan, Desa Bugbug, Kecamatan Karangasem pada Saniscara Kliwon Landep, Sabtu (9/4) pukul 10.00 Wita.

Semua krama yang hadir wajib bertelanjang dada alias tanpa mengenakan busana atas (baju) dan udeng. Sebab sesuai tradisi, dresta, dan adat Desa Adat Bungaya, secara turun temurun, selain mlasti, saat puncak Usaba Dangsil setiap 10 tahun sekali, juga setiap krama wajib tanpa mengenakan busana atas. Aturan ini bukan hanya berlaku untuk krama Desa Adat Bungaya, juga krama dari luar Desa Adat Bungaya, yang terlibat di upacara tersebut, termasuk saat mlasti kali ini.

Pendamping Manggala Karya Ngenteg Linggih lan Nubung Daging I Gede Krisna Adi Widana, mengatakan mengenai krama secara umum tidak gunakan busana atas berlaku hanya saat mlasti dan puncak Karya Usaba Dangsil. Krama pada umumnya hanya diwajibkan mengenakan saput dan kain warna-warni, atau saput ropa.

Khusus untuk krama Desa Adat Bungaya yang telah berstatus sinoman desa (pemuda yang tugasnya ngayah), Nunda, tegak saat, tegak adasa (pemuda senior), We Baan Nyoman, We Baan Wayan, De Kubayan Nyoman, dan puncaknya De Kubayan Wayan, sehari-hari wajib tanpa busana atas dan selalu memakai kain bebali.

Misalnya truna desa dan deha, wajib mengenakan sapuk bebali, atau saput karah, dengan selendang kuning dan kain warna warni atau kain ropa, tanpa pakai udeng. Sedangkan De Kubayan Wayan kenakan kain merah.

Tetapi untuk krama pada umumnya, di rangkaian usai mlasti, tidak wajib  tanpa busana atas. “Rangkaian upacara berikutnya setelah mlasti, krama pada umumnya tidak lagi gunakan busana atas. Berpakaian adat seperti biasa, kecuali yang berstatus sinoman desa (pemuda yang tugasnya ngayah) hingga De Kubayan Wayan,” jelas Krisna Adi Widana.

Krisna Adi Widana menegaskan, tanpa busana atas itu tradisi diwariskan di Desa Adat Bungaya. “Saat Usaba Dangsil tahun 2016, undangan Gubernur Bali, Ketua ISI Bali, dan pejabat lainnya, tanpa menggunakan busana atas, memang tradisinya seperti itu,” tambahnya.

Saat mlasti pada Sabtu kemarin, sepulang dari Segara Kidul, Banjar Bugbug Kelodan, Desa Bugbug, dalam kondisi panas terik krama tetap berjalan kaki sejauh 7,1 kilometer.

Iring-iringan ribuan krama saat mlasti sepanjang 7,1 kilometer, paling terdepan tetamburan (tabuh sakral), dikoordinasikan Manggala Karya De Kubayan Wayan, bersama empat manggala lainnya: De Kubayan Nyoman, De Manten Shanti, De Salah Sutama, dan De Manten Repot. Disusul beragam atribut suci seperti lontek, kober, payung, tombak, dan sebagainya. Kemudian pangayah mundut (mengusung), pratima dan pralingga Ida Bhatara, paling depan Ida Bhatara Bagus Selonding, yang dipundut truna nyomanan, disusul Ida Bhatara Lingsir dipundut panglingsir desa, dilanjutkan di belakangan Ida Bhatara Kabeh yang berasal dari sajebag (seluruh wilayah Desa Adat Bungaya).

Sedangkan pamuspaan di Segara Kidul, dipuput Ida Pedanda Gede Darma Putra Manuaba dari Gria Panggen, Banjar Triwangsa, Desa Bungaya, Kecamatan Bebandem.

Usai muspa, berlanjut upacara mulang pakelem di tengah laut dengan naik jukung, bertujuan untuk mohon tirta dari Ida Bhatara Baruna, sebagai penguasa lautan.

Ida Pedanda Gede Darma Putra Manuaba memaparkan, mlasti adalah ritual menghadirkan simbol-simbol keagamaan, pratama, dan pralingga Ida Bhatara yang disakralkan, yang bertujuan mohon berkah vibrasi ketenangan batin bagi umat manusia dan alam.

Mlasti ke laut juga bertujuan melebur segala kotoran yang melekat dalam diri sendiri. Sebab, laut pelebur kotoran secara niskala.

Mlasti, menurut Ida Pedanda Gede Darma Putra Manuaba, memiliki tiga tujuan penyucian; menyucikan keharmonisan sosial, menyucikan keharmonisan individu, dan menyucikan keharmonisan alam. “Mlasti itu adalah perjalanan spiritual menuju sumber kesucian, juga untuk menyucikan pratima dan pralingga, agar terbebas dari cemar jelang Karya Ngenteg Linggih lan Nubung Daging, melalui persembahan banten dan puja sang sulinggih,” ujarnya.

Laut katanya sebagai salah satu tempat menyucikan diri, selain ke danau, campuhan, dan pusat mata air.  Usai menggelar ritual mlasti di Segara Kidul, ribuan krama Desa Adat Bungaya kembali jalan kaki mengusung pratima dan pralingga Ida Bhatara, serta mundut Ida Bhatara Tirtha yang telah dimohon di laut. Setiba di Pura Penataran Desa Adat Bungaya, iring-iringan Ida Bhatara kapendak (dijemput) dengan ritual khusus, dipuput empat pamangku: De Mangku Puseh, De Mangku Jawa, De Mangku Bukit, dan De Mangku Maspait.

Selanjutnya Ida Bhatara Tirtha kalinggihang (distanakan) di Pura Penataran, Banjar Darma Karya, Desa Adat Bungaya, Kecamatan Bebandem.

Tirtha itu nantinya digunakan untuk jatu utama, Karya Mamungkah lan Nubung Daging. Rangkaian upacara berikutnya, mapepada wewalungan Karya Ngenteg Linggih lan Nubung Daging di Pura Puseh, Sukra Umanis Ukir, Jumat (15/4), dan puncak Karya Ngenteg Linggih lan Nubung Daging, Saniscara Paing Ukir, Sabtu (16/4), di Pura Puseh, Pura Bale Agung dan Pura Pasuwikan.

Sebelumnya digelar upacara, Karya Caru Balik Sumpah di Pura Bale Agung, Banjar Desa, Desa Adat Bungaya, Kecamatan Bebandem, Karangasem, Sukra Paing Sinta, Jumat (1/4), yang bertujuan menyomiakan unsur Bhuta Kala. *k16

Komentar