Gaya Bertutur Ketut Rida
CERITA pendek atau roman yang berkisah tentang rakyat kecil banyak ditulis. Lazimnya cerita-cerita itu tentang orang miskin, kaum buruh tani dengan tanah garapan sempit.
Mereka hidup dari hasil bumi, sering dari jeratan utang para tengkulak. Rusia adalah bangsa yang memiliki banyak cerita menarik buruh tani miskin yang mencengangkan dunia. Dari kisah-kisah itu kita belajar tentang kegetiran mereka yang berkutat hidup sekuat tenaga untuk memutus belenggu kemiskinan.
Indonesia banyak memiliki cerita serupa, terutama dari zaman kolonial. Di zaman kemerdekaan dan kebebasan pun kegetiran itu tetap hadir. Tidak mengherankan jika banyak pengarang terus berulang menulisnya, bahkan menjadi ciri kepengarangan mereka, mengisahkan kesederhanaan dan kepapaan buruh tani di desa.
Ketut Rida seorang di antaranya, adalah pengarang yang paham betul mengolah kehidupan kaum buruh tani di pedesaan menjadi cerpen-cerpen memikat. Dia menuangkan suasana khas pedesaan menggunakan bahasa ibu dalam cerpen-cerpen dengan suasana sungguh-sungguh Bali. Memang, banyak pengarang menulis suasana dan kehidupan Bali, dalam bahasa Indonesia dan Bali, tapi Rida berhasil menggarapnya menjadi sebuah karya yang khas Rida.
Dia lahir di Desa Sulang, 1 September 1939, tentu dekat dan lekat sepanjang hidup dengan suasana dusun. Jika pengarang-pengarang lain menulis tentang kesengsaraan kaum tani untuk semata mengungkap kemiskinan atau ketertindasan, Rida tidak. Dia menulis kegetiran hidup sebagai bagian dari semesta raya. Dia menulis takdir. Rida menceritakan bukan semata peristiwa, dia tekun menyampaikan filosofi kisah itu sendiri.
Banyak komentar muncul, cerpen-cerpen Ketut Rida datar, tanpa gejolak, nyaris tanpa konflik. Jika ditelaah, prosa-prosa karya Rida adalah kisah-kisah yang disampaikan dengan tenang, sabar, perlahan, telaten, sehingga sebagai pembaca kita tak pernah merasakan lompatan atau lonjakan, tiba-tiba sudah sampai di akhir cerita, selesai membaca kisahnya.
Ketut Rida punya kelebihan yang menjadi cirinya: dia tidak cuma bercerita, dia juga bertutur. Cerpen-cerpennya pun menjadi hening, bening, mengalir, dan mengendap di hati pembaca. Dia menyuguhkan konflik tanpa mesti dengan keras dan menuding-nuding. Dia menyuguhkannya nyaris tanpa emosi. Siapa saja yang membaca 16 cerpennya dalam buku Lawar Goak, niscaya menemukan, rasa bahasa menjadi kunci untuk menyuguhkan cerita yang bertutur dengan tenang.
Bisa jadi karena dia seorang guru SD, dia dituntut untuk bercerita dengan rileks, mesti memilih kata yang akrab dalam pergaulan sehari-hari. Tapi, dia juga telaten menempatkan kata-kata yang sederhana itu, menjadi sajian dengan tetap berpeluk dalam keindahan. Sederhana dan indah menjadi kekuatan Rida kala dia bercerita. Maka kian terasa kemampuannya bertutur: pelan, jelas, seksama, dan selalu berupaya meramu menjadi kisah yang ditunggu-tunggu. Beberapa cerpennya mencekam, namun tidak menjadikan kita ngeri atau bergidik. Rida piawai mengendali cerita, sehingga dia berhasil memegang perasaan pembaca untuk mengikuti kisahnya sampai selesai.
Cerpen terbaiknya ‘Lawar Goak’, satu contoh bagaimana Rida gemilang menceritakan kembali kisah yang sering dia dengar di desanya. Tentang keluarga Pan Ngodet, petani yang selalu dihimpit kekurangan, hidup dalam belitan utang. Seorang tetua desa memberi saran untuk mencoba menghapus jerat kemiskinan dan lilitan utang itu dengan menghaturkan lawar goak di ujung desa.
Ngodet mematuhi saran itu, memikul lawar goak tengah malam dan bertemu sosok gaib tinggi besar. Makhluk berbulu ini senang menerima suguhan lawar goak lezat adonan Ngodet, kemudian memberi nasihat agar Ngodet berhenti jadi petani. Dia disarankan jadi pedagang minyak goreng (tandusan) dari kelapa. Hidup Ngodet sekeluarga pun berubah. Ladang dia serahkan orang lain menggarapnya. Hidupnya membaik, utang-utangnya terbayar, bisa beli sawah dan tegal. Pan Ngodet kaya sejak dia menjadi penjual minyak goreng.
Cerpen ini menjadi sangat memikat tidak semata karena ceritanya unik, tapi berkat kemampuan Ketut Rida mengolahnya menjadi cerita yang sungguh-sungguh Bali. Dia menyodorkannya sebagai cerita dengan kekuatan realisme magis, pitutur yang menggabungkan renungan dengan hiburan, menjadi gaya bertutur dengan rasa bahasa khas Rida.
Ketut Rida meninggal 1 April 2022, dalam usia 82 tahun, mewariskan karya yang sepantasnya dikaji dengan seksama oleh para cerpenis. Agar kita menyimak, bagaimana seorang pengarang tak cukup hanya bercerita, tapi juga mesti bertutur. Kelak ‘Lawar Goak’ akan menjadi sastra Bali klasik. Banyak kosa kata baru kita temukan dalam cerpen ini, yang entah kenapa bisa segera akrab dengan pembaca. *
Aryantha Soethama
Komentar