MUTIARA WEDA: Bhakti Yoga
Mayyāvesya mano ye mam nityayuktā upasate Sraddhayā parayopetāste me yuktatamā matāh (Bhagavad-gita, 12.2)
Mereka yang bermeditasi kepada-Ku dengan memfokuskan pikirannya kepada-Ku dengan pengabdian diri yang teguh dan penuh keyakinan, mereka dinyatakan sebagai seorang yogi yang sempurna menurut-Ku.
AGAR terbebas dari riak-riaknya, pikiran memerlukan sadhana yang berkelanjutan. Patanjali memberikan jalan secara sistematis dan metodik untuk itu. Beliau menganjurkan tiga hal, yakni: tapa (hidup sederhana), svadhyaya (mengingat diri), dan ishvarapranidana (penyerahan diri secara total pada Ishvara). Apa yang dinyatakan oleh Krishna di dalam sloka di atas berhubungan dengan prinsip ishvarapranidana. Saat Krishna menyebut ‘kepada-Ku’ artinya: Ishvara dalam wujud Krishna. Dalam konsep Vedanta, Ishvara adalah Tuhan yang tertinggi, yang menciptakan, dan menguasai alam semesta. Dalam tradisi bhakti, Ishvara merupakan Tuhan yang berwujud, Yang Maha Kuasa, Maha Mengetahui, dan Maha Ada.
‘Mereka yang bermeditasi kepada-Ku’ artinya sepadan dengan ‘mereka yang menyerahkan diri secara total kepada Ishvara’. Bagaimana itu dikerjakan? Krishna mengatakan ‘dengan jalan memfokuskan pikiran kepada Ishvara (Tuhan) melalui sraddha (keyakinan) dan bhakti (nitya yuktah). Saat seseorang mampu memfokuskan pikirannya secara terus-menerus dengan penuh keyakinan dan bhakti kepada Ishvara, maka dia menjadi seorang Yogi yang sempurna. Mengapa sraddha dan bhakti diperlukan? Mengapa bukan yang lain? Sraddha diperlukan karena dengannya kita bisa memberikan ruang bagi yang lain memenuhi diri kita. Selama ini, kita selalu berpusat pada ego, apapun yang kita pikirkan, katakan, dan kerjakan. Kita sering mengatakan, ‘saya sedang memikirkan ini dan itu’, ‘saya mengatakan ini dan itu’, saya mengerjakan ini dan itu’. Demikian juga sering mengatakan ‘saya menolong, saya sembahyang, saya malas’, dan yang lainnya.
Semuanya berpusat pada ‘saya’. Tetapi dengan sebuah keyakinan, kita memberikan peluang pada hal atau sesuatu lain yang bekerja di dalam diri kita di luar ‘saya’. Misalnya, ‘saya yakin dengan kehendak Tuhan, biarlah semuanya itu terjadi’, Tuhanlah yang berkehendak bukan ‘saya’. Oleh karena itu, melalui sraddha (keyakinan) kepada Ishvara, secara perlahan kita membiarkan Ishvara yang bekerja di dalam diri, bukan ‘saya’ atau ego kita. Semakin kita mampu memberikan ruang kepada Ishvara di dalam diri, maka semakin kecil ego yang menguasai kita. Melalui sraddha, tingkatan bhakti akan secara natural bisa diraih. Bhakti artinya penyerahan diri secara total kepada Ishvara. Saat sepenuhnya Ishvara yang bekerja di dalam diri, maka ego tidak lagi berfungsi. Saat ego tidak ada lagi, maka ia telah merealisasikan dirinya. Mereka yang ketika egonya telah lenyap, yang telah mampu menyadari Diri Sejati, yang membiarkan Ishvara bekerja sepenuhnya pada diri, disebut sebagai Yogi sejati.
Inilah paradoksnya dalam Yoga. Banyak orang belajar Yoga dengan keinginan tertentu. Mereka ingin menjadi sakti, menjadi penyembuh, menjadi sehat, menjadi cantik, bahkan ingin menjadi Yogi. Jika kita ‘ingin’, itu artinya ada ego. Mengapa? Karena hanya ego yang menginginkan. Oleh karena demikian, menjadi Yogi bukanlah sebuah keinginan, bahkan orang yang ingin menjadi yogi sekalipun bukan seorang Yogi. Krishna dengan tegas mengatakan bahwa seorang yogi yang sejati adalah dia yang telah berada dalam bhakti, yang egonya telah lenyap. Menjadi seorang yogi tidaklah muncul dari keinginan, melainkan muncul dari lenyapnya keinginan. Maka dari itu, kikislah ego dan kemudian menjadilah yogi. Bisa dikatakan bahwa seorang yogi sejati adalah seorang bhakta. Bhakta artinya dia yang telah berada dalam bhakti. Seorang bhakta adalah dia yang menjalankan bhakti yoga.
Seperti inilah proses bagaimana bhakti yoga itu berjalan menurut Krishna. Pernyataan Krishna ini juga diperkuat oleh Patanjali. Untuk mampu total menyerahkan diri kepada Ishvara (Ishvarapranidana), maka tapa (hidup sederhana) dan svadhyaya (mengingat diri) menjadi sangat signifikan. Hidup sederhana artinya menerima keadaan apapun itu. Jika kita mampu menerima kondisi apa adanya, ego kita akan semakin melemah, sebab sifat ego adalah tidak pernah menerima apapun. Ego selalu menginginkan agar sesuatu di luar dirinya menjadi seperti dirinya. Jika tidak sesuai dengan dirinya, maka ia tidak menyukainya. Orang yang egois akan selalu complain terhadap apapun. Jika tapa atau hidup sederhana berhasil, maka svadhyaya menjadi lebih mudah. Pikiran kita akan terpusat pada diri sejati. Dia yang mampu mengenal dirinya yang sejati, tidak lagi dikuasai oleh egonya. Dirinya akan sejalan dengan Ishvara. Dengan demikian penyerahan diri kepada Ishvara menjadi mungkin ketika seseorang mengenal dirinya yang sejati. Dialah Yogi. *
I Gede Suwantana
1
Komentar