Nyem Lalah
Orang Bali dikenal doyan sama masakan asin.
Aryantha Soethama
Pengarang
Dalam pergaulan sehari-hari, jika mendapat rezeki, orang Bali bilang, “Ada beliang uyah [ada buat pembeli garam]. Padahal rejeki yang diterima bisa buat beli mobil baru. Kalau dibelikan garam, wah, berapa ton tuh dapat? Jika mendapat rezeki bisa buat membeli mobil, tidak apa-apa mobil bekas, tetap saja si penerima rezeki merendah, “Ah, lumayan untung bisnis tanah kali ini, bisa buat beli uyah.” Padahal duit itu bisa untuk beli mobil Mercy keluaran lima tahun terakhir.
Semua orang paham, masakan, gak peduli sayur, soto, lawar, sayur, akan hambar kalau tanpa garam. Maka garam pun menjadi keharusan dalam masakan. Acap muncul perbincangan, “Ah, cerita novel ini hambar, ibarat sayur tapa garam.” Atau, “Bukan main orang itu mendongeng, sayang sekali ceritanya hambar, kurang garam, padahal bumbu-bumbu cerita sudah digarap bagus.”
Berapa takaran garam dalam masakan, tidak semua orang berselera sama. Ada yang ditaburi ala kadar, yang penting tidak hambar. Ada pula, seperti kebanyakan orang Bali, senang dengan banyak garam, biar asin. Jika menyantap lawar, orang Bali khusus membuat sambal bawang putih dan cabai digoreng, disertai cukup garam. Karena mereka suka asin, tersedia lagi garam tersendiri di samping bumbu cabai-bawang putih yang digoreng itu.
Pasti ada kesan dan pendapat tersendiri tentang peran garam dalam masakan, sampai-sampai garam ini bisa meramal kesukaan seseorang dalam aktivitas seksual. Sejak lama muncul tuduhan, mereka yang suka masakan asin, pertanda doyan ciuman. Yang dicium pasti pasangannya, bukan buah atau pohon, apalagi mobil atau motor. Biasanya, di koran-koran sering muncul berita tentang pengendara motor yang mencium sedan. Itu artinya tabrakan. Tidak muncul dalam berita, apakah yang menabrak pantat sedan itu suka masakan asin. Karena orang Bali senang masakan asin, apakah ini bisa dijadikan pertanda orang Bali suka ciuman? Hussss....jangan ngaco!
Selain suka masakan asin, orang Bali juga dikenal suka masakan pedas, orang Bali menyebut masakan lalah. Jika seseorang belanja di warung-warung, beli rujak, tipat santok, soto, pecel, pasti diimbuhi permintaan, “Bikin yang lalah nggih, tidak apa-apa saya tambah harganya Bu, cabai kan sekarang mahal?” Si pedagang senyum-senyum. Dia tahu kebanyakan pelanggannya, gadis-gadis calon ibu dan ibu-ibu senang lalah.
Sehari-hari orang Bali yang suka lalah, mengenal istilah lalah mekebér, yakni masakan yang sangat pedas, super pedas, dan lalah top di antara yang top. Seseorang sesudah menyantap masakan lalah mekebér ini mulutnya akan mangap, nafas tersengal, liur ke luar menggantung dari bibir bawah yang menebal, mata basah dan mendelik, kepala mendongak ke depan disertai desahan huahhh.... huahhh... huahhh berulang. Alangkah tersiksa si dia yang menyantap makanan super lalah ini. Tapi si dia menikmatinya penuh gairah, dan membuat dia terkenang-kenang, sehingga ingin mengulang kembali. Ah, namanya juga suka, tak peduli yang lain, pokoknya suka.
Masakan yang kurang garam, oleh orang Bali disebut masakan nyem. Kalau kurang garam tentu bisa ditaburi garam, agar tidak nyem, tapi rasanya jadi aneh, asin di sebagian hidangan, tetap hambar di bagian lain. Kandungan garam tidak merata, malah jadi tidak karuan rasanya.
Makanan yang sudah dihidangkan, tapi lama tak kunjung disantap, disebut juga makanan nyem. Kalau mau dimakan sebaiknya dihangatkan dulu. Dalam bahasa Bali nyem berarti dingin. Arti lain dari nyem adalah gila, seseorang yang terganggu ingatannya, alias sinting, diserempet gila.
Orang Bali mengenal istilah nyem lalah. Ini tentu berarti masakan yang kurang garam dan pedas. Bagi orang Bali ini jenis masakan salah urus, salah garapan, karena rasa masakan hambar tapi pedas, tidak karuan, aneh, rasa tidak jelas, dan semestinya tak usah disantap. Orang-orang sinting, nyaris full gila, sering disebut orang yang nyem lalah. Tingkahnya mirip masakan yang nyem lalah itu : tidak karuan, aneh, susah dimengerti. Tapi tak pernah tersiar kabar kalau orang sinting suka masakan nyem lalah.
Sesungguhnya banyak orang-orang nyem lalah di sekitar kita. Misalnya, ada seorang teman yang senang tertawa terpingkal-pingkal ketika mendengar cerita lucu, lalu menggerak-gerakkan badannya, bisa jadi disebut mahluk nyem lalah. Kadang dia mengganggu temannya yang lagi suntuk, dia juga usil, senang mengejek temannya dengan gerakan aneh. “Ah, jangan dihiraukan, dia itu mahluk nyem lalah,” komentar orang sekitar.
Orang nyem lalah senantiasa ada. Adakah orang yang korupsi ramai-ramai sampai triliunan rupiah itu tergolong orang-orang nyem lalah? Tidak? Tapi, masyarakat berkomentar, “Gila, mereka menggarong triliunan uang negara yang didapat dari pajak kita.” Tuh, mereka dituding gila, tapi tidak nyem lalah? Tepatnya masuk golongan manusia apa mereka? *
Komentar