Gusti Ayu Nyoman Mudiani Sudah 26 Kali Nyuwun Banten Pajegan Setinggi 2,5 Meter
Jalankan Tradisi Turun Temurun Saat Pujawali Ida Bhatara Turun Kabeh di Pura Samuantiga, Bedulu
Gusti Nyoman Mudiani mengatakan ada teknik khusus untuk nyuwun Banten Pajegan ini, yakni harus mengetahui arah angin agar Banten tetap seimbang.
GIANYAR, NusaBali
Gusti Ayu Nyoman Mudiani,48, konsisten menjalankan tradisi turun temurun nyuwun Banten Pajegan setinggi 2,5 meter setiap Pujawali Ida Bhatara Turun Kabeh di Kahyangan Jagat Pura Samuantiga, Desa Pakraman Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar. Seperti tampak pada Redite Pon Kulantir, Minggu (17/4) sekitar pukul 10.00 Wita. Banten seberat 50 kilogram tersebut disuwun atau disandang sejauh hampir 1 kilometer tanpa lepas tangan. Berangkat dari rumahnya di Banjar Batulumbang menuju Pura Samuantiga, waktu tempuh kira-kira 30 menit.
Ada beberapa hal yang menjadi keunikan banten pajegan ini, selain tingginya yang menjulang ke langit. Mulai dari proses pembuatan hingga cara menyandang sampai ke Pura pun sarat akan makna. Istri Bendesa Adat Bedulu Gusti Ngurah Serana ini mencatat sudah 26 kali nyuwun Banten Pajegan dengan ciri khas berisi susunan 9 ayam panggang. Ini berarti Gusti Nyoman Mudiani sudah 26 tahun nyuwun pajegan, sebab pujawali digelar setiap satu tahun sekali.
"Saya sudah 26 kali nyuwun banten pajegan niki. Sejak masih SMA," ujar Gusti Nyoman Mudiani kepada NusaBali, Senin (18/4). Dia menjelaskan Banten Pajegan ini memiliki berat sekitar 50 kilogram. Terdiri dari susunan buah, jajan Bali seperti Satuh, Iwel, Catut, Taluh Kakul. "Di Bedulu yang paling khas itu berisi 9 ayam panggang," jelas Gusti Nyoman Mudiani yang saat ini menjabat Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Bedulu ini. Gusti Nyoman Mudiani menjalankan tradisi ini bersama seorang krama lainnya, yakni Ni Wayan Siki.
Adapun proses pembuatan Banten Pajegan ini sudah mulai dikerjakan H-3 sebelum pujawali. Namun, persiapan bahan-bahan upakaranya sudah mulai dilakukan selama seminggu terakhir. Sebab jajan yang dipakai banten harus dibuat secara tradisional di rumahnya. Terutama untuk jajan yang dinamakan Catut dan jajan Taluh Kakul. Selebihnya, bisa dibeli di pasaran seperti Iwel dan Satuh. Begitupula dengan aneka buah-buahan yang dipasang. Sedangkan untuk pisangnya, khusus dipakai pisang Gancan yang dipetiknya dari kebun.
"Ada 3 ijas biu gancan yang kita pakai," jelasnya. Selain pisang, buah lokal yang dipakai, yakni berupa tebu. Seperti layaknya banten pajegan, buah pisang diletakkan paling bawah atau di atas wanci. Selanjutnya diatur sedemikian rupa penataan aneka buah dan tebu. "Sekitar 1 meter untuk buah, selanjutnya bagian atas diposisikan untuk jajan," jelasnya. Nah, yang tak kalah menarik adalah penataan ayam panggang tepat di depan banten pajegan.
"Maka banyak disebut pajegan ayam panggang tegeh. Karena ayam panggang terlihat mendominasi," jelasnya. Jumlah ayam panggang yang dipergunakan tidak ada keharusan. Disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. "Saya kebetulan pakai 9 ekor ayam panggang. Tidak ada maksud khusus, tapi segitu paling pas. Tahun lalu pernah pasang 11, formasinya kurang bagus. Antara ayam satu dengan yang lain terlalu mepet," jelasnya. Bagian lain dari banten pajegan ini yang tak kalah penting adalah porosnya. Bukan kayu maupun gabus, melainkan berupa pelepah Pohon Enau (Jaka, Red) yang dikeringkan. Proses pengeringan pun memerlukan waktu sekitar 1 tahun.
"Setelah kering, pelepah ini dijadikan poros. Disebut Pupug, tingginya sekitar 2 sampai 3 meter diameter 8-10 cm," jelasnya. Pupug ini pun hanya bisa dipakai sebanyak 5 kali atau 5 tahun. "Tahun ini kebetulan Pupugnya sudah 5 kali pakai. Sehingga segera saya akan cari pelepah Jaka untuk Pupug tahun depan," jelasnya. Hanya saja, diakui untuk mencari pelepah Jaka ini cukup sulit sebab harus mencari ke daerah gunung. "Adanya di Taro Tegallalang, kebetulan ada saudara di sana," ujarnya.
Setelah jadi, Banten terlebih dahulu diangkat oleh beberapa orang kemudian diletakkan di atas kepalanya. Gusti Nyoman Mudiani mengatakan ada teknik khusus untuk nyuwun Banten Pajegan ini, yakni harus mengetahui arah angin agar Banten tetap seimbang. Selain itu, kedua tangan harus kuat memegang wanci selama perjalanan. "Paling penting berdoa," ungkapnya. Astungkara, setiap kali nyuwun, Banten Pajegan tinggi ini tidak pernah sampai jatuh. Sesuai kepercayaan juga, saat nyandang banten ini dipercaya ada kekuatan ekstra yang dirasakan.
"Selama niki Astungkara nggak pernah ada halangan. Tidak pernah jatuh," kenangnya. Namun untuk antisipasi, selama perjalanan menuju pura, Gusti Nyoman Mudiani didampingi oleh anak-anaknya. "Adanya pengawalan, hanya untuk jaga-jaga saja," jelasnya. Pujawali di Kahyangan Jagat Pura Samuantiga, Desa Pakraman Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar sendiri digelar setahun sekali setiap Purnama Jiyesta. Tahun ini puncak Pujawali jatuh pada Saniscara Paing Ukir bertepatan dengan Purnama Jiyesta, Sabtu (16/4) dan nyejer selama 11 hari. *nvi
Ada beberapa hal yang menjadi keunikan banten pajegan ini, selain tingginya yang menjulang ke langit. Mulai dari proses pembuatan hingga cara menyandang sampai ke Pura pun sarat akan makna. Istri Bendesa Adat Bedulu Gusti Ngurah Serana ini mencatat sudah 26 kali nyuwun Banten Pajegan dengan ciri khas berisi susunan 9 ayam panggang. Ini berarti Gusti Nyoman Mudiani sudah 26 tahun nyuwun pajegan, sebab pujawali digelar setiap satu tahun sekali.
"Saya sudah 26 kali nyuwun banten pajegan niki. Sejak masih SMA," ujar Gusti Nyoman Mudiani kepada NusaBali, Senin (18/4). Dia menjelaskan Banten Pajegan ini memiliki berat sekitar 50 kilogram. Terdiri dari susunan buah, jajan Bali seperti Satuh, Iwel, Catut, Taluh Kakul. "Di Bedulu yang paling khas itu berisi 9 ayam panggang," jelas Gusti Nyoman Mudiani yang saat ini menjabat Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Bedulu ini. Gusti Nyoman Mudiani menjalankan tradisi ini bersama seorang krama lainnya, yakni Ni Wayan Siki.
Adapun proses pembuatan Banten Pajegan ini sudah mulai dikerjakan H-3 sebelum pujawali. Namun, persiapan bahan-bahan upakaranya sudah mulai dilakukan selama seminggu terakhir. Sebab jajan yang dipakai banten harus dibuat secara tradisional di rumahnya. Terutama untuk jajan yang dinamakan Catut dan jajan Taluh Kakul. Selebihnya, bisa dibeli di pasaran seperti Iwel dan Satuh. Begitupula dengan aneka buah-buahan yang dipasang. Sedangkan untuk pisangnya, khusus dipakai pisang Gancan yang dipetiknya dari kebun.
"Ada 3 ijas biu gancan yang kita pakai," jelasnya. Selain pisang, buah lokal yang dipakai, yakni berupa tebu. Seperti layaknya banten pajegan, buah pisang diletakkan paling bawah atau di atas wanci. Selanjutnya diatur sedemikian rupa penataan aneka buah dan tebu. "Sekitar 1 meter untuk buah, selanjutnya bagian atas diposisikan untuk jajan," jelasnya. Nah, yang tak kalah menarik adalah penataan ayam panggang tepat di depan banten pajegan.
"Maka banyak disebut pajegan ayam panggang tegeh. Karena ayam panggang terlihat mendominasi," jelasnya. Jumlah ayam panggang yang dipergunakan tidak ada keharusan. Disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. "Saya kebetulan pakai 9 ekor ayam panggang. Tidak ada maksud khusus, tapi segitu paling pas. Tahun lalu pernah pasang 11, formasinya kurang bagus. Antara ayam satu dengan yang lain terlalu mepet," jelasnya. Bagian lain dari banten pajegan ini yang tak kalah penting adalah porosnya. Bukan kayu maupun gabus, melainkan berupa pelepah Pohon Enau (Jaka, Red) yang dikeringkan. Proses pengeringan pun memerlukan waktu sekitar 1 tahun.
"Setelah kering, pelepah ini dijadikan poros. Disebut Pupug, tingginya sekitar 2 sampai 3 meter diameter 8-10 cm," jelasnya. Pupug ini pun hanya bisa dipakai sebanyak 5 kali atau 5 tahun. "Tahun ini kebetulan Pupugnya sudah 5 kali pakai. Sehingga segera saya akan cari pelepah Jaka untuk Pupug tahun depan," jelasnya. Hanya saja, diakui untuk mencari pelepah Jaka ini cukup sulit sebab harus mencari ke daerah gunung. "Adanya di Taro Tegallalang, kebetulan ada saudara di sana," ujarnya.
Setelah jadi, Banten terlebih dahulu diangkat oleh beberapa orang kemudian diletakkan di atas kepalanya. Gusti Nyoman Mudiani mengatakan ada teknik khusus untuk nyuwun Banten Pajegan ini, yakni harus mengetahui arah angin agar Banten tetap seimbang. Selain itu, kedua tangan harus kuat memegang wanci selama perjalanan. "Paling penting berdoa," ungkapnya. Astungkara, setiap kali nyuwun, Banten Pajegan tinggi ini tidak pernah sampai jatuh. Sesuai kepercayaan juga, saat nyandang banten ini dipercaya ada kekuatan ekstra yang dirasakan.
"Selama niki Astungkara nggak pernah ada halangan. Tidak pernah jatuh," kenangnya. Namun untuk antisipasi, selama perjalanan menuju pura, Gusti Nyoman Mudiani didampingi oleh anak-anaknya. "Adanya pengawalan, hanya untuk jaga-jaga saja," jelasnya. Pujawali di Kahyangan Jagat Pura Samuantiga, Desa Pakraman Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar sendiri digelar setahun sekali setiap Purnama Jiyesta. Tahun ini puncak Pujawali jatuh pada Saniscara Paing Ukir bertepatan dengan Purnama Jiyesta, Sabtu (16/4) dan nyejer selama 11 hari. *nvi
1
Komentar