Menabur Teknologi, Menuai Dilema
BALI memiliki keanekaragaman budaya, warisan leluhur yang turun-temurun meniti zaman. Ragam budaya merupakan aset naturam yang disadari mengandung nilai dan norma historis kultural adiluhung.
Keadiluhungannya hanya bisa dipertahankan dengan tidak mendudukkan teknologi digital sebagai panglima. Dewasa ini, semua umur ditengara telah dikomandani oleh teknologi digital. Anak usia dini bergeming bermain secara maya; remaja kreatif menyipta konten di YouTube atau TikTok; krama dewasa bahkan lanjut usia terjerat tali putri media digital yang parasit-membelit genit. Lilitan demikian dipastikan dapat mencabut akar budaya leluhur, atau memarjinalkan kearifan lokal, atau bahkan menggantinya dengan paradogma digital.
Di Pulau Dewata ini, penggunaan media digital diperkirakan amat masif. Ketika anak usia dini iseng atau tidak sengaja mengakses hal-hal yang belum waktunya, maka potensi negatif terhadap pengembangan budi pekerti akan terkendala. Ketika anak remaja sengaja mengaksesnya, maka mereka rentan efek negatif, seperti pergaulan bebas, perkawinan dini, narkoba, miras, tawuran, atau sejenisnya. Ketika orang dewasa menggelutinya, maka konflik rumah tangga menanti, kekerasan rumah tangga menyertai, dan sebagainya.
Menggeluti media digital secara tidak proporsional akan menuai keresahan sosial ringan sampai akut. Keresahan sosial semakin hari, bulan, dan tahun semakin merambat naik. Teknologi digital bukan hanya identik dengan disrupsi, melainkan juga distraksi. Distraksi menjadikan pengguna tidak bisa fokus menyelesaikan tugas dan kewajiban. Akibatnya, ponsel digital yang seharusnya membantu untuk meningkatkan dan mempercepat produktivitas malah menjadi penghambat kinerja. Seharusnya, teknologi digital dimanfaatkan untuk memudahkan urusan menjadi lebih efektif dan efisien, bukan justru melahirkan destruksi maupun distraksi.
Sebaiknya, literasi digital sebagai kemampuan memfungsikan sebagai alat, untuk mengakses, mengelola, mengintegrasikan, menganalisis, mengevaluasi, membangun pengetahuan. Kenyataannya, generasi Z lebih memfungsikannya sebagai alat untuk meraih rekreasi dan hiburan, ketimbang memeroleh pengetahuan dan informasi penting. Yowana Bali sudah terjajah oleh teknologi digital. Dengan kata lain, budaya berparadogma digital semakin digeluti. Kemajuan teknologi dengan pemertahanan aset leluhur, sering paradoksal, tidak dijalani dilindas kemajuan, bila dijalani nilai dan norma leluhur kandas, ketika diselang-selingi akan diintip ironi kehidupan.
Ambil contoh, misalnya kebijakan pendirian lembaga pendidikan anak usia dini ‘satu desa atau bahkan satu banjar satu PAUD’. Kebijakan demikian dilakukan untuk memenuhi akses pendidikan sejak usia dini. Namun ironinya, akses tercapai bahkan melebihi, ekspose teknologi digital sejak usia dini mengandung potensi disrupsi mental dan emosional pada anak usia dini. Pembelajaran yang memanfaatkan teknologi digital pada anak berstatus sosial-ekonomi berbeda akan berbeda proses dan hasilnya. Amat dimengerti, anak-anak dari golongan orang kaya atau menengah mampu mengikuti pendidikan berbudaya teknologi digital dengan baik. Tetapi, mereka yang miskin tidak akan mampu mengikuti program ini. Kebanyakan anak-anak usia dini miskin hanya terakses ke lembaga serba minim atau kurang.
Teknologi digital sudah bertransformasi menjadi panglima dalam segala pri-kehidupan. Ia dalam segala bentuk dan fungsinya telah menghegemoni dan menjajah nilai dan norma berkehidupan tradisional dan konvensional. Untuk menghindari disrupsi di berbagai aspek kehidupan, krama alit maupun yowana Bali harus memeroleh pendidikan yang baik dan benar. Contohnya, Bali Mandara telah mengambil langkah cepat dan berani. Anak-anak berkemampuan ekonomi rendah, kalau tidak mau disebut miskin, dididik di sana. Berbagai pendekatan, metode, dan strategi digunakan. Guru berdedikasi tinggi dikerahkan, sarana dan prasarana pembelajaran dan pendidikan disediakan dan difungsikan. Siswa belajar dan belajar dari subuh sampai larut malam. Walhasil prestasi akademik mereka luar biasa. Simpulannya, teknologi digital tidak akan menjadi panglima, melainkan yowana Bali menjadi panglima perang dalam peperangan meraih prestasi. Semoga. 7
Penulis:
Dewa Komang Tantra
Pemerhati Masalah Sosial Dan Budaya
Komentar