GAPKI Minta Larangan Ekspor CPO Dievaluasi
Evaluasi dilakukan jika kebijakan Jokowi terbukti berdampak negatif pada pengusaha
JAKARTA, NusaBali
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengevaluasi larangan ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO).
Evaluasi perlu dilakukan jika kebijakan tersebut terbukti memberikan dampak negatif terhadap pengusaha kelapa sawit.
"Jika kebijakan ini membawa dampak negatif kepada keberlanjutan usaha sektor kelapa sawit, kami akan memohon kepada pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan tersebut," ungkap Ketua Bidang Komunikasi GAPKI Tofan Mahdi dalam keterangan resmi, dikutip CNNIndonesia.com, Sabtu (23/4).
GAPKI meminta seluruh pemangku kepentingan di industri sawit untuk ikut memantau dampak dari kebijakan tersebut di lapangan.
"Kami mengajak seluruh pemangku kepentingan dalam mata rantai industri sawit untuk memantau dampak kebijakan tersebut terhadap sektor kelapa sawit," tutur Tofan.
Meski begitu, ia mengaku, pengusaha CPO akan menghormati keputusan pemerintah terkait larangan ekspor. Pelaku usaha, kata dia, akan ikut memonitor perkembangan di lapangan setelah kebijakan itu keluar.
"Kami sebagai pelaku usaha kelapa sawit mendukung setiap kebijakan pemerintah terkait sektor kelapa sawit," ujar Tofan.
Putera Satria Sambijantoro, ekonom Bahana Sekuritas memperkirakan Indonesia bisa kehilangan US$ 3 miliar atau Rp 42,9 triliun belum dengan pajak ekspor.
"Setiap bulan, CPO dan produk turunannya menyumbang USD3 miliar dari ekspor Indonesia, selain Rp 4 triliun dari pendapatan pajak ekspor," ujar Satria dikutip dari CNBCIndonesia.com.
Dampak dari larangan ekspor ini tak hanya dirasakan oleh Indonesia, tapi juga seluruh dunia. Sebab Indonesia adalah produsen terbesar di dunia dengan cakupan hingga 59% produksi dunia.
Di sisi lain, permintaan CPO bisa meningkat dari wilayah Eropa. Penyebabnya adalah perang di Rusia dan Ukraina menyebabkan bahan pembuat minyak goreng seperti jagung, rape seed, dan kedelai gagal panen.
Sebelumnya, Jokowi melarang ekspor CPO dan minyak goreng mulai Kamis (28/4) mendatang. Kebijakan ini berlaku hingga batas waktu yang belum ditentukan. Ia akan mengevaluasi kebijakan itu secara berkala. Hal ini dilakukan agar ketersediaan minyak goreng di dalam negeri kembali berlimpah dengan harga yang terjangkau.
Pemerintah sebelumnya membuat beragam kebijakan untuk mengatasi lonjakan harga minyak goreng yang terjadi sejak akhir 2021. Harga minyak goreng tembus lebih dari Rp20 ribu per liter sejak akhir tahun lalu sampai sekarang.
Untuk merespons itu, pemerintah sempat menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk minyak goreng kemasan sederhana Rp13.500 per liter, kemasan premium Rp14 ribu per liter, dan curah Rp11.500 per liter.
Setelah itu, stok minyak goreng langsung langka di pasaran. Beberapa perusahaan terbukti enggan melepas ke pasaran karena HET yang ditentukan pemerintah jauh lebih rendah dari keekonomian.
Tak lama kemudian, pemerintah menghapus kebijakan HET untuk minyak goreng kemasan sederhana dan premium. Dengan demikian, minyak goreng kemasan dijual dengan mekanisme pasar. Sebagai gantinya, pemerintah memberikan subsidi untuk penjualan minyak goreng curah. Namun, HET minyak goreng curah naik dari Rp11.500 menjadi Rp14 ribu per liter.
Sayangnya, kebijakan itu pun tak menyelesaikan masalah minyak goreng di pasaran. Pasalnya, beberapa pedagang masih menjual minyak goreng curah lebih dari Rp20 ribu per liter. *
Evaluasi perlu dilakukan jika kebijakan tersebut terbukti memberikan dampak negatif terhadap pengusaha kelapa sawit.
"Jika kebijakan ini membawa dampak negatif kepada keberlanjutan usaha sektor kelapa sawit, kami akan memohon kepada pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan tersebut," ungkap Ketua Bidang Komunikasi GAPKI Tofan Mahdi dalam keterangan resmi, dikutip CNNIndonesia.com, Sabtu (23/4).
GAPKI meminta seluruh pemangku kepentingan di industri sawit untuk ikut memantau dampak dari kebijakan tersebut di lapangan.
"Kami mengajak seluruh pemangku kepentingan dalam mata rantai industri sawit untuk memantau dampak kebijakan tersebut terhadap sektor kelapa sawit," tutur Tofan.
Meski begitu, ia mengaku, pengusaha CPO akan menghormati keputusan pemerintah terkait larangan ekspor. Pelaku usaha, kata dia, akan ikut memonitor perkembangan di lapangan setelah kebijakan itu keluar.
"Kami sebagai pelaku usaha kelapa sawit mendukung setiap kebijakan pemerintah terkait sektor kelapa sawit," ujar Tofan.
Putera Satria Sambijantoro, ekonom Bahana Sekuritas memperkirakan Indonesia bisa kehilangan US$ 3 miliar atau Rp 42,9 triliun belum dengan pajak ekspor.
"Setiap bulan, CPO dan produk turunannya menyumbang USD3 miliar dari ekspor Indonesia, selain Rp 4 triliun dari pendapatan pajak ekspor," ujar Satria dikutip dari CNBCIndonesia.com.
Dampak dari larangan ekspor ini tak hanya dirasakan oleh Indonesia, tapi juga seluruh dunia. Sebab Indonesia adalah produsen terbesar di dunia dengan cakupan hingga 59% produksi dunia.
Di sisi lain, permintaan CPO bisa meningkat dari wilayah Eropa. Penyebabnya adalah perang di Rusia dan Ukraina menyebabkan bahan pembuat minyak goreng seperti jagung, rape seed, dan kedelai gagal panen.
Sebelumnya, Jokowi melarang ekspor CPO dan minyak goreng mulai Kamis (28/4) mendatang. Kebijakan ini berlaku hingga batas waktu yang belum ditentukan. Ia akan mengevaluasi kebijakan itu secara berkala. Hal ini dilakukan agar ketersediaan minyak goreng di dalam negeri kembali berlimpah dengan harga yang terjangkau.
Pemerintah sebelumnya membuat beragam kebijakan untuk mengatasi lonjakan harga minyak goreng yang terjadi sejak akhir 2021. Harga minyak goreng tembus lebih dari Rp20 ribu per liter sejak akhir tahun lalu sampai sekarang.
Untuk merespons itu, pemerintah sempat menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk minyak goreng kemasan sederhana Rp13.500 per liter, kemasan premium Rp14 ribu per liter, dan curah Rp11.500 per liter.
Setelah itu, stok minyak goreng langsung langka di pasaran. Beberapa perusahaan terbukti enggan melepas ke pasaran karena HET yang ditentukan pemerintah jauh lebih rendah dari keekonomian.
Tak lama kemudian, pemerintah menghapus kebijakan HET untuk minyak goreng kemasan sederhana dan premium. Dengan demikian, minyak goreng kemasan dijual dengan mekanisme pasar. Sebagai gantinya, pemerintah memberikan subsidi untuk penjualan minyak goreng curah. Namun, HET minyak goreng curah naik dari Rp11.500 menjadi Rp14 ribu per liter.
Sayangnya, kebijakan itu pun tak menyelesaikan masalah minyak goreng di pasaran. Pasalnya, beberapa pedagang masih menjual minyak goreng curah lebih dari Rp20 ribu per liter. *
1
Komentar