Pemkab - Panglingsir Puri Gelar Sembahyang di Pamedal Agung
SEMARAPURA, NusaBali
Jajaran Pemkab Klungkung dipimpin Bupati Klungkung I Nyoman Suwirta bersama Ny Ayu Suwirta dan Panglingsir Puri Agung Klungkung, sembahyang bersama di Pamedal Agung Klungkung, pada Wraspati Wage Tolu, Kamis (28/4) malam.
Sembahyang itu bertepatan Hari Puputan Klungkung ke-114 dan HUT Kota Semarapura ke-30 Tahun 2022. Hadir, Panglingsir Puri Agung Klungkung Ida Dalem Semaraputra dan para tokoh Puri Agung Klungkung lainnya. Pamedal Agung merupakan gapura abad ke-17, berfungsi sebagai pintu masuk menuju Puri Agung Klungkung pada zaman Kerajaan Klungkung. Pamedal agung menjadi ‘saksi bisu’ perjuangan masyarakat Klungkung yang dikenal dengan Puputan Klungkung pada 28 April 1908.
Panglingsir Puri Agung Klungkung Ida Dalem Semara Putra mengisahkan Kerajaan Klungkung sebagai pusat kerajaan di Bali, menjadi wilayah yang belum takluk oleh Kolonial Belanda. Kemudian, kolonial mengadakan patroli keamanan di Klungkung. Hal ini tidak diterima petinggi kerajaan dan masyarakat saat itu, karena dianggap melanggar kedaulatan kerajaan. Hingga adanya penyerangan terhadap beberapa tentara kolonial oleh masyarakat di Desa Gelgel, Klungkung. Hal itu tidak diterima kolonial hingga berujung ultimantum kepada Kerajaan Klungkung agar menyerah ke kolonial paling lambat 22 April 1908.
Namun ultimatum itu tidak diperdulikan oleh Ida Dewa Agung Jambe, sebaliknya pasukan dari Kerajaan Klungkung bersiap diri. Bertepatan tanggal 20 April 1908, kolonial Belanda menambah pasukan yang didatangkan dari Batavia (kini Jakarta). Selanjutnya, 21 April 1908, pasukan kolonial Belanda berlabuh di sekitar Pantai Jumpai dan langsung memborbardir wilayah Gelgel, Satra, dan Semarapura. Masyarakat yang bersenjata keris dan tombak dengan berani menghalau serangan meriam dari kolonial. Serangan pasukan Klungkung baru dapat dapat dipatahkan setelah enam hari pertempuran.
Selama pertempuran enam hari berturut-turut, kolonial kehilangan cukup banyak pasukan. Pada 27 April 1908, kolonial kembali mengirim pasukan dan berlabuh Pantai Kusamba dan Jumpai. Masyarakat di dua desa tersebut melakukan perlawanan untuk menghalau pasukan kolonial masuk ke pusat pemerintahan Kerajaan Klungkung di Semarapura. Puncaknya 28 April 1908, Belanda berhasil menembus pertahanan Kerajaan Klungkung, tepatnya di depan Pamedal Agung. Semua rakyat berpakaian putih mengorbankan jiwa raga untuk puputan di depan istana kerajaan.
Bahkan, tidak hanya masyarakat, keluarga kerajaan hingga putra mahkota saat itu yang masih anak-anak, Ida I Dewa Agung Gede Agung, ikut keluar istana untuk bertempur hingga gugur bersama kerabat kerajaan lainnya. "Saat itulah sang raja Ida Dewa Agung Jambe melaksanakan dharmaning ksatria, yaitu kewajiban tertinggi seorang kesatria sejati," ujar Ida Dalem.
Sehingga Pamedal Agung di areal Kerta Gosa merupakan ‘saksi bisu’ perang Puputan Klungkung. Maka, semangat dan rasa nasionalime itulah yang harusnya diwariskan oleh generasi muda saat ini. Menurut Ida Dalem, sosok Ida Dewa Agung Jambe tidak sabatas pemimpin bagi masyarakat saat era Kerajaan Klungkung. Namun bisa menjadi sosok yang semangatnya bisa ditauladani dalam membela tanah air. *wan
Komentar