Terlalu Banyak Hiburan
DUA tahun lagi lelaki dosen itu pensiun. Dia dikenal dosen matematika dan statistika di fakultas ekonomi yang sangat disegani, ramah, dan dihormati.
Dosen-dosen tua muda yang sedang penelitian, pasti menyambanginya, mengajaknya diskusi tentang metoda riset statistika. Hampir semua rekan-rekannya yang menyelesaikan disertasi tak lepas dari saran-sarannya untuk memperbaiki statistika dan kajiannya.
Tidak cuma untuk pandangan statistika dosen-dosen datang padanya, juga kalau ada yang mengharapkan siraman rohani tatkala mereka gundah dalam studi dan kehidupan sehari-hari. Para mahasiswa juga suka mendatanginya, mengajaknya bergurau, menikmati bagaimana hidup yang rumit, bisa diolah menjadi cerita-cerita lucu. Persis matematika dan statistika: menjelimet, banyak rumus, bertebaran angka-angka, namun bisa diolah menjadi kisah-kisah manusiawi.
Lelaki dosen itu sering berhadapan dengan para mahasiswa yang ogah mengikuti kuliah statistika. Banyak yang bolos, dan itu berakibat mereka pasti tidak lulus, mengulang lagi, bolos lagi, dan pasti tidak lulus lagi. Lelaki dosen itu prihatin, mahasiswa seperti itu sepantasnya tidak kuliah di fakultas ekonomi dan bisnis, karena si mahasiswa alergi pada ilmu statistika. Kepada salah seorang di antara mereka, dia mengajaknya bercakap-cakap, baik-baik, seperti ayah kepada anaknya. Mereka ngobrol di kantin kampus. Si dosen yang mentraktir makan bakso plus lontong.
“Sepertinya kamu gak cocok kuliah di ekonomi,” ujar dosen itu ketika si mahasiswa menyuap pentol bakso.
“Sebenarnya saya senang kuliah, suka belajar, Pak, tapi tidak suka kuliah yang terlalu serius.”
“Bapak tahu, kamu ingin belajar dengan santai. Kalau statistika harus dipelajari dengan tekun dan serius agar bisa lulus.”
“Memangnya ada tempat kuliah yang santai Pak? Dan bisa lulus? Biar gak rugi orangtua membiayai saya.”
“Kuliah saja di ISI. Kamu tahu kan ISI?”
“Institut Seni Indonesia, Pak. Kampus yang mahasiswanya sibuk menari, bermusik, menyanyi, melukis, bikin film.”
“Ya, kuliah di situ saja, saban hari kamu belajar sambil menghibur diri dengan menyanyi dan menari.”
Mahasiswa semester dua itu tercenung. Dia tatap mangkuk di hadapannya yang menyisakan dua pentol dan sekerat lontong. Dia melihat dirinya, orangtua, saudara-saudaranya, dalam bayangan di kuah mangkuk itu. Dia mulai menyadari kalau dia memang senang kegiatan yang menghibur.
“Tapi, saya tidak punya bakat seni, Pak.”
“Seni bisa dipelajari, tak usah cemas. Dari pada kamu kuliah di ekonomi tak kunjung lulus statistika dan matematika. Di prodi kesenian kamu kuliah lebih santai, bebas statistika dan matematika.”
Dosen itu sadar benar, sekarang anak-anak muda suka yang instan, yang encer, langsung melihat hasil. Mereka terbiasa menikmati terlalu banyak hiburan melalui berbagai aplikasi di sosial media. Membuka gadget, mereka langsung disodok oleh konten berbagai hiburan yang tidak habis-habis. Scrolling di HP adalah kesibukan memburu hiburan yang tak ada ujungnya. Hanya segelintir mahasiswa dan anak muda yang sungguh-sungguh memanfaatkan gawai untuk belajar mengisi ilmu buat diri sendiri. Selebihnya, gawai adalah sumber hiburan, sebuah medan yang mengajak penikmatnya untuk selalu santai.
“Mumpung kamu masih semester dua, belum terlambat pindah kuliah.”
“Tapi, apa orangtua saya mengizinkan, Pak?”
“Beri mereka info dan pengertian dengan baik. Ada jurusan televisi dan film di ISI, yang kalau kamu tekun kuliah, kelak bisa jadi sutradara dan film maker hebat. Penghasilannya bisa gede lho, jauh lebih banyak tinimbang penghasilan dosen seperti saya.”
Mahasiswa itu tersenyum, mencium tangan dosennya, menaruhnya di jidat dan ubun-ubun. Kemudian dia menyeruput sisa kuah bakso langsung dari mangkuknya. *
Aryantha Soethama
1
Komentar